Namun, Rani menolaknya dengan menatap Bara tegas.
"Enggak apa, Kak Bara. Aku bisa pulang bareng Kak Miftah. Orang tuaku sudah kenal sama Kak Miftah. Jadi, mereka enggak bakalan banyak tanya juga. Mereka gak baka curiga dengan apa yang sudah terjadi," ucap Rani.
Rani menghela napas panjang. Dia pun menatap semua orang dan kemudian tertuju pada Bara sepenuhnya.
"Sebelumnya terima kasih karena udah pada ngebebasin aku. Kalau kalian gak dateng, aku gak tahu bakal disekap sampai kapan sama Kak Alfred," ucap Rani lagi.
Semua orang bisa merasakan getir dalam ucapan Rani barusan. Dan mereka hanya diam.
Miftah pun berjalan menuju pintu keluar sesudah mengangguk pada Rani. Isyarat agar Rani mengikutinya.
Bara juga tak bisa berbuat apa-apa. Dia pasrah. Dia tidak bisa mencegah kemauan Rani.
Dan para anggota gengs Bara pun membiarkan Miftah, Rani dan para anggota Miftah keluar dengan aman.
Setelah Miftah, Rani dan para anggota gengs Miftah pergi.
Bara pun mengamuk. Die menendang benda di sekitarnya dengan brutal.
Dan juga megamuk pada beberapa anggota gengs-nya yang berdiri dekat dengan Bara. Dia mendorong mereka sampai terjatuh. Dan para anggotanya itu, yang terkena amukan Bara. Mereka hanya bisa pasrah dan merasakan kesakitan yang mereka rasakan dari dorongan Bara tersebut.
Hilman dan Tobi saling memandang satu sama lain.
"Kacau," gumam Tobi.
"Kayaknya, bakal perang dunia ketiga deh," timpal Hilman.
Dan Feri, kembali tersenyum.
***
Asih dan Jajaka Purwa sekarang dalam perjalanan pulang menuju rumah.
Asih tak peduli dengan gelagat sang suami yang tampak senang setelah membahas beragam hal dengan Pak Hanantyo dan juga Dandi.
Sekarang, dia terlihat sibuk dengan handphone-nya sendiri. Tersenyum-senyum sendiri, dan tangannya sesekali sibuk mengetik.
Sedangkan Asih, sejak keluar dari Villa. Dia seperti orang yang kehilangan rohnya.
Sampai sekarang pun, pikiran Asih terlempar pada kenangan-kenangannya bersama Dandi dahulu.
Berikut kebersamaannya tadi dengan Dandi di Villa.
Jujur saja, hati Asih sangat sakit mengingatnya sebab tadi dia dan Dandi seperti dua orang yang tidak saling kenal.
Setelah cukup lama, keduanya tidak saling berkomunikasi satu sama lain dan kembali dipertemukan di situasi yang menurut Asih sama sekali tidak menguntungkan mereka.
Dan di tengah lamunan Asih masih berfokus pada Dandi, tiba-tiba Jajaka Purwa melayangkan pertanyaan yang membuat Asih menohok.
Dan tenggorokkannya pun terasa tercekat seketika. Asih susah payah menelan salivanya.
Dan kini, dia menatap pada Jajaka Purwa dengan sedikit rasa takut. Jajaka Purwa tidak menatap Asih dengan intens, dia membagi fokusnya dengan layar handphone-nya sendiri yang dia pegang.
"Asih, bagaimana menurutmu soal Dandi?" tanya Jajaka Purwa pada Asih. Tampangnya begitu serius.
Dengan sedikit terbata-bata, Asih pun bertanya balik pada sang suaminya itu. Karena Asih tidak paham dengan apa yang dikatakan Jajaka Purwa padanya.
"Ba-ba, bagaimana gimana?" tanya Asih.
Debar di dadanya sudah tak karuan. Ritmenya menjadi lebih cepat dari sebelumnya.
Dan Jajaka Purwa pun mengacuhkan sebentar hanpdhone-nya dan kembali menatap pada Asih.
"Kau sudah tahu soal anak perempuanku, kan?" Jajaka Purwa menatap Asih lamat-lamat.
Dia mencoba mengingatkan Asih kembali soal Hani—anak perempuannya yang tengah menempuh pendidikan di luar negeri.
Dan Asih terdiam sesaat. Dia teringat obrolan waktu itu. Saat pertama kali dia tinggal di rumah besar milik Jajaka Purwa.
Saat itu, mereka membicarakan soal kursi yang kosong. Yang di mana kursi tersebut adalah kursi milik Hani. Dan katanya, tidak boleh ada yang menempati kursi itu meskipun Hani tidak ada karena kalau Hani tahu … dia akan marah.
Asih tidak tahu bagaimana sifat Hani. Yang Asih pikirkan, pasti sifat dia tidak jauh dengan kedua saudara tirinya—Adrian dan Bara.
Sama-sama menyebalkan. Dugaan Asih seperti itu.
Tapi Asih sangat berharap, Hani sedikit berbeda dari Adrian dan Bara.
Hani, dia adalah seorang perempuan, sama seperti Asih. Semoga saja Hani bisa menerima keberadaan Asih dan memahami apa yang Asih rasakan.
Asih mengangguk. Dia memang tahu soal Hani. Masyarakat pun juga sudah tahu. Hanya saja, Asih tidak tahu bagaimana wajah Hani sekarang karena dia sudah cukup lama tinggal di luar negeri.
"Aku berencana untuk menjodohkan Dandi dengan Hana. Bagaimana menurutmu?" Jajaka Purwa tersenyum.
Dia merasa idenya tersebut itu sangat cemerlang, dan Jajaka Purwa pikir tidak ada salahnya dia meminta pendapat Asih. Meskipun mau setuju atau tidak, pendapat Asih juga tidak berguna baginya.
Jajaka Purwa hanya senang saja memberi tahu Asih soal itu.
Sekarang, dia sangat bahagia karena Jajaka Purwa merasa sudah menemukan orang yang tepat. Yang bisa bergabung menjadi keluarga besarnya, yang nantinya akan menjadi menantu laki-lakinya yang bisa dia bangga-banggakan.
Dan napas Asih seperti berhenti seketika. Asih sungguh terkejut dengan rencana Jajaka Purwa yang akan menjodohkan Hani dengan Dandi.
Dandi, yang masih berstatus sebagai pacar Asih. yang pernah berjanji akan membebaskan Asih dari belenggu Jajaka Purwa. Yang sampai sekarang, Asih tidak tahu apa lelaki itu akan menepati janjinya atau tidak.
Yang jelas, Asih masih sangat mencintainya. Dan Asih sangat tidak rela jika Dandi bersama dengan perempuan lain. Apalagi, sampai bersanding dengan anak tirinya sendiri.
Apakah takdir memang mengharuskan Asih menerima semua ini? Menjadi istri dari Jajaka Purwa, punya anak darinya … sampai maut menjemputnya nanti?
Membayangkannya saja, Asih sungguh muak. Dia ingin sekali muntah.
Dan sekarang, keringat dingin sudah bercucuran di pelipisnya.
Asih tidak bisa menerima semua ini.
Langit seperti ambruk begitu saja.
Dan Jajaka Purwa yang tak kunjung mendapatkan jawaban dari Asih, menyadari kalau sekarang istrinya itu malah terdiam.
Wajah Asih pucat. Dia terlihat seperti mayat hidup, dan dipegangnya tangan Asih olehnya. Dingin.
"Asih, kau sakit? Kenapa?" tanya Jajaka Purwa.
Lelaki itu lebih khawatir soal kondisi kesehatan Asih yang sekarang terlihat tidak baik-baik saja, ketimbang peduli dengan pertanyaannya tadi yang meminta pendapat dari Asih soal perjodohan yang akan dia rencanakan untuk putrinya—Hani dan Dandi.
Asih juga belum kunjung menjawab.
Dia masih belum bisa mengatur perasaan tidak enak yang sekarang tengah menyerang dirinya.
"Asih?" Jajaka Purwa kembali bertanya. Lalu, dipegangnya kening Asih.
Asih kemudian menggeleng. "Aku baik-baik saja. Tapi entah mengapa, aku merasa sedikit tidak enak badan. Sesudah pulang nanti, aku mau tidur." Asih berasalan.
Asih pikir, hanya dengan cara itulah dia bisa memanipulasi ketegangan yang menyergap dirinya saat ini.
Juga agar Jajaka Purwa tidak curiga dan agar dia tidak menganggu Asih. Asih ingin memiliki waktu untuk dirinya sendiri.
Jajaka Purwa pun mendekap Asih.
Asih tidak suka. Tapi di saat seperti ini, Asih membiarkan pelukan lelaki itu menghangati tubuh Asih.
Ingin sekali Asih menangis. Namun dia tetap berusaha menahannya.
Sampai mereka tiba di rumah besar yang menurut Asih merupakan penjara baginya.
Jajaka Purwa memapah langkah Asih keluar dari mobil.