Chereads / Asih Tanpa Kasih / Chapter 32 - Bertemu dalam Haru

Chapter 32 - Bertemu dalam Haru

"Ya, sudahlah kamu jangan ngarep-ngarep bisa punya istri cantik kayak Asih," gumamnya sendirian.

Di dalam mobil, Bara meledek Asih.

"Itu pacar lo? Hhahaha, cupu banget gayanya. Kampungan, cocok sih sama lo sebenernya."

Asih menoleh.

"Apa? Dia bukan pacar aku, dia juga tidak cupu. Itu namanya sederhana." Asih membela.

"Sandal jepit, kaos biasa, sama celana bahan parasut? Sederhana kamu bilang? Wajahnya yang masih muda jadi terlihat sangat tua. Enggak modis banget."

"Lah terus? Apa urusan kamu?" tanya Asih ketus.

Bara bingung, iya ya apa urusan dia? Terus kalau si Roni pacar Asih apa juga? Bara memutar otak untuk menjawab Asih.

"Ya kalau i-itu pacar lo … berarti selera lo jelek. Terus kalau kalian masih berhubungan, tentunya pasti gue bakal bocorin ke Ayah gue." Bara pun tersenyum, menggoda kemarahan Asih.

"Masih mending Kang Ronilah daripada –"

"Apa? Daripada apa? Lo mau bilang kalau lo mending milih Roni daripada Ayah gue? Gituh?"

"Enggak gitu, aku enggak bilang gituh." Asih takut, kalau sampai Bara bilang ke ayahnya, mungkin si tua keladi itu pasti marah. Asih tidak ingin mencari masalah.

"Sok sok-an sih lo, udah beruntung juga masih bisa sekolah."

Asih tidak ingin lagi meladeni Bara, dia hanya diam dan menengok ke kaca. Menatap jalanan di luar sana yang menyediakan pemandangan yang masih asri.

Terbentang sawah, dan terlihat beberapa rumah warga.

Tapi, ada yang mengganjal. Tiga orang sedang berjalan di pinggir jalan.

"Ayah, ibu?" Asih melihat keluarganya tengah berjalan, ayahnya terlihat menggendong adiknya—Ditto.

Aya Asih sudah tidak punya lagi kendaraan karena semuanya habis dijual.

Bara pun menoleh, dia juga melihat orang tua Asih.

"Berhent! Berhenti, aku mohon!" ucap Asih.

Meskipun Bara sangat malas menghentikan mobilnya, tapi dia pun menurut.

Asih pun dengan cepat membuka pintu mobil dan berlari menghampiri mereka yang sudah terlewat oleh mobil.

Bara menengok jam tangannya, waktu sudah menunjukkan hampir jam tiga sore. Tapi tidak apalah, alasannya juga cukup kuat.

Bara melihat Asih dari kaca spion, terik matahari sangat menyengat –membuat Bara malas untuk keluar dari mobil dan menghampiri mereka.

"Ayah, Ibu!" Asih memeluk ibunya. Keduanya sangat senang bisa bertemu Asih lagi.

"Asih, kamu baru pulang sekolah, Nak?" tanya ibunya--Ani.

"Tadi Asih ke rumah, tapi tidak ada orang jadi Asih pulang lagi. Ayah sama Ibu udah dari mana? Ditto kenapa?" Asih memegang tangan adiknya yang terlihat lunglai digendong di belakang ayahnya.

"Panas. Ditto sakit?" Asih sangat khawatir.

"Iya, kami tadi ke dokter … Asih. cuman demam saja," balas Ani.

Wajah Asih langsung sedih, kasihan sekali Ditto. Semenjak keluarganya tidak punya penghasilan dan kakaknya Nengsih bunuh diri, dan Asih juga dinikaih si Tuan tanah.

Ditto seperti tertekan, dia mungkin banyak syok. Tidak seperti dulu sebelum semuanya terjadi, adik bungsu lelakinya itu sangat ceria dan bahkan nakal.

Tapi sekarang? Jauh sekali, badan Ditto pun jadi kurus kering, matanya belok seperti kurang tidur dan sudah jarang terdengar bicara.

Ditto juga sudah tidak sekolah lagi, karena tidak bersosialisasi dengan teman-temannya dan hanya jadi ledekkan saja. Jadi kedua orang tua Asih memutuskan agar Ditto di rumah saja dulu.

"Kalau begitu, Asih antar ibu sama ayah dan juga Ditto pake mobil ya. Mau ya?"

Tiba-tiba Bara berteriak, "Asih! cepet woy! Jam tiga, nih. Lo mau suami lo marah?"

Kedua orang tua Asih tercengang mendengarnya. Melihat dengan mata kepala mereka sendiri, anak tiri Asih—Bara membentak-bentak anak mereka.

Di depan kedua orang tua Asih saja dia berani apalagi di rumah besar itu? Keduanya sangat iba pada Asih.

"Enggak usah Asih, ayo kamu cepet pulang lagi ke sana. Ayah sama ibu tidak apa-apa. Ayo cepet pulang!" suruh Asep

"Tapi, Yah … kasihan Ditto." Asih tidak tega.

Di bawah sinar matahari yang sangat panas menusuk kulit, mereka harus berjalan pulang. Jalan kaki dari sini ke rumah lumayan sangat jauh, adiknya Ditto pun sedang sakit.

Mungkin saat tiba di rumah, Ditto pasti semakin parah.

"Asih!" teriak Bara lagi dan wajahnya nongol dari kaca mobil.

"Asih, kamu bahagia di sana, Nak?" tanya Ani curiga.

Ditanya seperti itu wajah Asih semakin sedih. Bagaimana Asih bisa bahagia? Asih tidak mencintai suaminya, anak tirinya merendahkannya dan Asih pun belum akrab dengan istri-istrinya yang lain.

Kebahagiaan sangat sulit didapat oleh Asih, dia hanya bisa bersyukur kalau Asih masih bisa hidup sehat.

"Husshhh!" Asep menyelanya. "Sudah, pergi sana Asih. Pergilah!"

Asih pun menurut, dia kembali memeluk ibunya dan pergi meninggalkan ketiganya. Sembari berjalan dia masih menoleh ke belakang, ayah dan ibunya mematung di sisi jalan dan melempar senyuman getir.

Berpura-pura baik-baik saja pun Asih tahu, begitu pula dengan kedua orang tuanya. Mereka juga tahu kalau Asih sangat tersiksa hidup di rumah besar itu.

Asih harusnya masih menikmati masa muda. Dia tidak seharusnya cepat-cepat menikah dan punya anak tiri lebih tua darinya.

Nasib orang miskin terkadang memang diombang ambing ditelunjuk para orang kaya yang seenaknya. Apalah daya, takdir juga sudah berkata.

Tidak ada yang harus dikeluh kesah, mereka harus menerimanya dengan lapang dada dan berusaha tetap waras.

Asih pun membuka pintu mobil.

"Lama banget sih lo, kita harus cepet pulang. Udahkan urusannya?" Bara meninggikan suaranya dan langsung tancap gas.

Asih masih menoleh keluar jendela kaca mobil. Orang tuanya pun juga sudah kembali meneruskan perjalanan mereka bersamaan dengan laju mobil Bara yang cepat.

Asih langsung menangis, air matanya turun seketika.

Bara yang melihatnya pun tidak ingin berkomentar. Dia paling tidak suka melihat seorang perempuan menangis.

Dari kecil Bara selalu melihat Kirani—ibunya selalu menangis di kamar dan penyebabnya pasti karena ayahnya dan istri-istrinya yang lain.

Perasaan kasihan itulah yang membuat Bara pasti teringat masa-masa dulu. Masa di mana Kirani masih selemah Asih tanpa bisa melawan.

***

Jajaka Purwa berjalan dengan penuh emosi, di belakang—Dadang membuntutinya. Mereka pergi ke rumah belakang di mana para selir tinggal.

"Juragan! Mereka sudah kami ikat di dalam," seru Ucup mendekati majikkannya yang baru saja datang. Jajaka Purwa tidak menjawab dan terus berjalan.

Dibukakannya pintu oleh Nanang dan semua istri-istrinya yang sudah berada di dalam pun menoleh pada suaminya yang baru saja datang.

Mata belotot, bibir menggeram, dan kedua tangan yang mengepal, kulit lebih hitam dari sawo matang dan lumayan cukup berbadan tinggi itu melihat dua pengkhianat, si pelaku perselingkuhan di hadapannya.

Di samping-sampingnya istri-istrinya menampakkan ketakutan dan juga rasa puas di dada karena jika ada selir yang mengkhianat berarti saingan mereka akan berkurang.