"Aku jemput kamu besok! Kita tunjukkin ke orang-orang kalau kita sudah balikan," bisik Alfred tersenyum.
Senyuman jahat, menurut Bella. Baru kali ini Bella merasa sangat terancam olehnya.
Biasanya Bella yang mengatur-ngatur Alfred dengan telunjuk. Tetapi Alfred sekarang lebih berkuasa dan Bella sudah berada di bawah kakinya.
Ingin sekali Bella menyumpal mulut Alfred, tapi dia tidak bisa melakukannya
Bella hanya bisa mengangguk manis, dia hanya berpura-pura biar Alfred senang dan orang tua mereka tidak curiga.
"Iya, Sayang," balas Bella sembari tersenyum pada orang tua mereka yang sedang memerhatikan.
Keduanya terkekeh-kekeh, berusaha menutupi kesepakatan yang mereka sembunyikan.
"Hati-hati di jalan!" ucap Alfred sembari melambaikan tangannya. Mobil Bella sudah melaju keluar gerbang rumahnya.
Setelah Bella dan ibunya tidak terlihat lagi, orang tua Alfred kini menatap anaknya.
"Kamu pura-pura sakit?" tanya ibunya dengan wajah seperti polisi yang meminta jawaban si pelaku.
Alfred kemudian berdrama. "Aduh, perutku sakit. Badanku juga rasanya dingin, aku ke kamar ya." Alfred mencoba menghindar tapi kerah bajunya kemudian ditarik oleh sang ayah.
Karena keduanya tahu Alfred ternyata pura-pura sakit, menurut mereka anak keduanya itu perlu dihukum.
"Mau ke mana anak ayah ini?" tanya ayahnya--Robbins.
Gaya bicara mereka masih kental dengan aksen British..
Jika mereka mengobrol memakai Bahasa Indonesia tentunya Bahasa mereka masih di bawah standar mahir juga.
Kadang kebanyakan mereka lebih sering mencampur-campurnya, berbeda dengan paman Alfred--Antonio yang sudah tinggal lama di Indonesia dan bahasanya juga hampir sempurna.
"Yah, Alfred mau tidur. Alfred cape." Alfred beralasan.
Ibunya--Margaret tertawa melihat anaknya yang sekarang akan mendapat hukuman.
"Mama gak mau ikut campur ah, mau tidur." Margaret kemudian pergi sambil cekikikan. "Buat Alfred jera, Sayang!" ucapnya pada suaminya sambil berlalu naik ke kamar.
Alfred sekarang beradu pandang dengan mata ayahnya yang melotot.
"Yah, ampun!" Alfred memelas.
Tapi Robbins tidak akan melepaskan anaknya yang nakal itu. Robbins masih menarik kerah baju anaknya.
"Ayo, ikut! Kita main game sama minum bir sepuasnya."
"Apa?" Alfred terkejut, dia kira akan mendapat hukuman yang parah.
Tapi itu justru seakan mengajak dia untuk berpesata malam.
"Asik dong, yuhuuu ayahku memang baik," ucapnya memuji sembari kegirangan.
"Kalau kamu kalah, uang jajanmu ayah kurangin."
Alfred ciut.
"Yah, itu curang. Sejak kapan Alfred menang dari Ayah? Ah curang banget." Alfred sebal, karena memang ayahnya sangat mahir dalam bermain game.
Di tengah kondisi mabuk pun dia akan selalu menang dari Alfred, makanya Alfred selalu menolak jika bertanding dengan ayahnya.
Rasanya percuma saja, sekeras apa pun Alfred berusaha dia akan tetap kalah dan tidak bisa melawan ayahnya dalam permainan teknologi itu.
***
Setelah makan malam pun, Jajaka Purwa meninggalkan kedua istri dan kedua anaknya.
Dia menarik tangan Asih seperti memanas-manasi kedua istrinya yang sekarang bak debu yang tidak terlihat.
Adrian juga kemudian pergi tanpa kata, disusul oleh Bara yang selalu menguntit kakaknya itu. Sebenarnya Adrian selalu terluka ketika ayahnya memerlakukan ibunya tidak hormat.
Dia selalu ingin membawa ibunya pergi dari rumah besar itu. Tapi apalah daya, Adrian tidak sekaya ayahnya.
Dia harus serius kuliah dan sukses agar kelak ibunya bisa hidup dengan nyaman menikmati hasil jerih payahnya. Meskipun Adrian tidak tahu apa ibunya mau dibawa pergi olehnya atau tidak.
Adrian juga selalu menasihati Bara untuk serius belajar agar dia nantinya punya bisnis sendiri dan tidak bergantung pada kekayaan ayahnya.
Tapi Bara tidak seserius Adrian walaupun otaknya encer. Meskipun begitu, Adrian masih memaklumi karena Bara masih SMA, menurutnya wajar jika Bara masih ingin menikmati masa muda.
Adrian tahu kalau sebenarnya Bara juga tidak ingin mempunyai keluarga seperti ini.
Punya harta banyak, apa pun bisa dibeli asal mereka tunduk patuh pada ayah mereka dan tidak membangkang.
Tapi, tidak pernah mereka rasakan kasih sayang dari ayahnya. Jajaka Purwa hanya berpikir kalau mereka bisa hidup bahagia hanya dengan uang dan masalah kedekatan dengan sang ayah dia abaikan karena Jajaka Purwa lebih menyerahkan anak-anaknya untuk diurusi ibu mereka saja.
"Gue gak ngerti kenapa Ibu sanggup bertahan sampai sekarang," ucap Bara sambil berjalan di belakang kakaknya.
Adrian langsung berhenti, membuat tubuh Bara dan tubuhnya bertubrukan.
"Lo kenapasih Kak, berhenti tanpa aba-aba," ucap Bara lagi. Kesal.
Adrian membalik badannya.
"Ibu bertahan hanya untuk kita. Kalau dia pergi dan bawa kita keluar, mau makan apa kita nanti? Makanya lo yang bener sekolah biar sukses. Pake tuh otak lo," tegas Adrian seperti sosok seorang ayah dan menunjuk kepalanya seperti todongan pistol.
Bara pun kaget.
"Wah, perfect sekali Abang gue."
"Gue serius, Bar. Lo kan tahu dulu nasib Ibu kita sama kaya si Asih. Kakek dan Nenek kelilit hutang. Dulu Ibu juga kayak si Asih, dia masih lugu." Adrian bercerita, sebenarnya Bara juga tahu itu.
Adrian pun terdiam, dia seperti tergelincir dengan perkataannya sendiri kalau penderitaan ibunya dulu juga sama dengan Asih.
Adrian seperti terlibat di dalamnya, tidak ada rasa menghargai Asih yang datang masuk ke dalam kehidupan keluarganya.
Padahal tanpa pernah Asih ingin juga. Adrian seakan sadar jika dia tidak berbeda dengan ayahnya. Adrian sudah merendahkan Asih dan bersikap tidak pantas sebagai manusia.
'Tapi kenapa gue jadi mellow gini sih? Lagi pula Asih bukan siapa-siapa gue, kok gue jadi berlaga so suci gini. Ah bodo ah,' gumamnya dalam hati.
Berdebat dengan pemikirannya sendiri dan gejolak amarah hidup bertahun-tahun di rumah yang tidak pernah memberinya kenyamanan.
Bara pun masih terdiam. Bara juga merasakan apa yang dirasakan kakaknya--Adrian.
Adrian kemudian membalik badannya dan kembali melangkahkan kaki. Bara juga menepis hatinya yang kini seperti teriris.
Jika ibunya sekarang berubah drastis menjadi lebih berani karena dia bergelut dengan kehidupannya dulu yang pahit, sama halnya dengan Asih.
Jika Bara juga empati dengan kehidupan ibunya yang pahit, tapi mengapa dia bisa menjadi orang yang menambah beban hidup Asih?
Di saat Bara asik bercinta, menikmati kehidupan mewah, lain halnya dengan Asih yang harus menaruhkan masa depannya.
Walaupun dia masih berkesempatan sekolah rasanya hidup Asih sangat tidak beruntung dari Bara.
Pikiran Bara terasa sangat penuh memikirkan hidupnya sendiri yang dia rasa lebih mending daripada Asih.
'Apa gue selama ini juga sama kayak Ayah?' batin Bara meragu.
Dia tidak mau sejahat ayahnya.
***
Setelah Asih berganti baju dan sekarang memakai baju tidur yang sudah diberikan Jajaka Purwa, Asih menguntit suaminya yang meminta Asih untuk mengikuti dirinya ke ruangan kerja.
Jajaka Purwa tidak membiarkan Asih untuk tidur lebih siang dan menyuruhnya menemani dirinya untuk mengurus berkas-berkas yang harus diperiksa dan ditanda tangani.
Setelah masuk, dirinya duduk di kursi kewibaannya. Bukan karena mewah tapi karena itu adalah kursi putar biasa, hanya saja tidak ada yang boleh masuk ke ruangannya tanpa izinnya apalagi untuk duduk di kursinya itu.
Asih sekarang mematung karena belum ada perintah apa pun dari sang suami.
Setelah Jajaka Purwa duduk, dia menatap Asih dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Baju tidur yang dia berikan pada Asih berwarna merah, sangat cocok dengan warna putih kulit Asih.
Walaupun Asih sangat risih mengenakkannya karena terlalu seksi.
"Kamu tidak mau duduk, Asih?" tanya Jajaka Purwa sembari menyeruput kopi yang sudah dibuatkan pelayannya tadi dan dia menyuruhnya untuk menyimpannya di meja kerjanya.
Tentunya pelayan dapur pun diantar oleh pengawal pribadinya untuk dapat masuk ke sana.