"Maaf!" Rosie buru-buru membersihkan pecahan gelas kaca yang tidak sengaja dia jatuhkan ke lantai.
Alnitak yang melihatnya langsung membantu Rosie.
Tangan Rosie terlihat gemetar, Alnitak menatapnya lalu berkata saat mereka sudah berjongkok saling berhadapan.
"Rosie, ada apa? Kenapa kamu begitu gugup?" tanya Alnitak.
Rosie membersihkan pecahan kaca gelas di lantai menjawab, "Tidak ada apa-apa aku hanya tersandung tadi."
Alnitak mengerutkan keningnya lalu dia menoleh, tidak ada apa-apa di sana bagaimana mungkin dia bisa tersandung.
Almilan yang bisa membaca pikiran Rosie dengan cepat mendekat lalu dia pun turut berjongkok menatap tajam pada Rosie dan menyeringai.
"Rosie, kamu boleh membohongi adikku ini tapi tidak denganku? Ceritakan pada kami siapa mereka? Aku belum pernah mendengar tentang mereka?"
Rosie langsung menoleh pada Almilan, "Ah, kenapa Yang Mulia Zeus bisa memiliki anak sepertimu. Bahkan aku tidak bisa memiliki privasiku sendiri. Jangan membaca pikiranku."
Almilan tersenyum, Alnitak merengut dan berkata, "Kamu berbohong padaku?"
"Maafkan aku, aku …"
"Ya sudah, sekarang ceritakan pada kami tentang semuanya." Alnitak mengangkat nampan yang berisi pecahan gelas, Almilan membantu Rosie berdiri dengan anggun.
Dengan gerakan cepat Alnitak sudah mengembalikan nampan itu ke dapur lalu dia juga dengan cepat kembali ke ruangan dan melihat Rosie bersama Almilan sudah duduk di sofa saling berhadapan.
Rosie memandang keduanya bergantian sambil menghembuskan napas berat.
"Apa yang ingin kalian dengar dariku?" ucap Rosie.
"Semuanya?" ucap Almilan.
"Iya semuanya, tentang mereka." Ucap Alnitak penasaran.
"Sebenarnya, aku juga tidak terlalu banyak tahu." Ucap Rosie.
"Rosie …" Almilan menggigit bibirnya menatap Rosie lalu perempuan itu tersenyum.
Bagaimana pun dia tidak akan bisa membohongi pemuda berambut coklat di depannya ini, dia bisa membaca siapa pun dengan mudahnya.
"Baiklah … baiklah …" ujar Rosie pada akhirnya.
Kedua kakak adik itu sudah duduk dengan serius ingin mendengar cerita dari Rosie tentang gadis yang baru saja mereka bicarakan dan juga sebelumnya mereka sudah pernah bertemu dengannya.
"Tunggu, Rosie, aku dan Kak Almilan sebelumnya sudah bertemu dengan gadis itu." Ucap Alnitak.
"Benarkah?" mata Rosie melebar saat mendengarnya, "Bagaimana menurut kalian?" lanjut Rosie balik bertanya.
"Apa maksudmu?" tanya Alnitak.
"Hm … tentang gadis itu?" ucap Rosie.
"Dia … memang sangat hm … manis … manis sekali. Aromanya." Ucap Almilan.
"Hah? Bahkan tadi kamu memarahiku dan memukulku atas reaksiku terhadapnya." Mata Alnitak melotot lebih tepatnya menatap dengan kesal pada kakaknya itu.
"Aku hanya tidak ingin terbawa suasana dan tidak bisa mengendalikan diri sepertimu." Seketika wajah Almilan merona.
Rosie tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha … kalian bertiga memang sama saja."
"Kenapa kamu tertawa?" ucap keduanya.
"Ah maafkan aku, Tuan Muda." Ucap Rosie tersenyum lalu dia mengulum bibirnya.
"Cepat ceritakan pada kami, kenapa gadis itu …" Alnitak belum selesai berbicara terdengar suara pintu dibuka.
"Rosie, berhentilah jangan melayani mereka berdua." Mintaka berjalan dengan santai lalu kedua adiknya menarik napas kesal.
"Kakak …" ujar keduanya saat mereka melihat Mintaka datang menginterupsi mereka.
"Rosie, sebaiknya kamu kembali ke tempat Misaki, dia lebih membutuhkanmu saat ini." Ucap Mintaka.
"Baik Tuan." Rosie langsung berdiri saat Mintaka memberinya perintah.
"Kalian berdua jangan coba-coba memaksa Rosie untuk menceritakan sesuatu yang bukan urusan kalian." Ancam Mintaka pada kedua adiknya.
Rosie berjalan lalu melirik keduanya dengan tersenyum.
Almilan yang bisa membaca apa yang dipikirkan Rosie terlihat kesal.
"Rosie, kamu berhutang padaku." Teriak Almilan.
Tapi Rosie mengabaikannya dan pergi meninggalkan mereka berdua.
Meski tempat tinggal Misaki dan mereka bertiga berjauhan tapi bagi mereka tidak bukanlah masalah, mereka bisa dengan sekejap mata bolak balik seperti seolah-olah rumah mereka bertetanggaan satu komplek.
"Kalian berdua berhati-hatilah." Kata Mintaka memperingatkan kedua adiknya.
"Kakak, ada apa?" tanya Alnitak penasaran.
Untuk pertama kalinya Mintaka memberi peringatan kepada kedua adiknya dan itu membuat keduanya langsung mengerutkan dahi dan bertanya-tanya, wajah mereka sekarang lebih serius dari sebelumnya.
"Aku tahu kalian penasaran dengan gadis itu tapi saranku pada kalian jangan mencoba mendekatinya. Dia bukan urusan kita. Dan, perlu kalian tahu ada banyak kawanan serigala saat ini. Alnitak mulai besok kamu sudah mulai masuk kuliah, kamu tahu apa artinya? Jangan bersikap yang mencolok di depan semua orang dan pandai-pandailah mengendalikan diri. Aku juga sudah menyelidiki semuanya. Gadis itu akan satu kampus denganmu juga Regan, si kepala kawanan Alfa itu."
Saat Mintaka menjelaskan dengan detail kedua adiknya hanya bisa bengong, mulut mereka terbuka lebar.
"Aku tidak bisa menjaga kalian berdua setiap hari karena aku juga punya urusan yang harus aku selesaikan. Satu hal lagi, kalian akan bertemu dengan Pheuto bersaudara."
"Hah, mereka masih hidup?" ujar Alnitak hampir tidak mempercayainya.
"Hm, mereka bereinkarnasi dan masih memiliki tubuh dan jiwa yang sama seperti dulu. Tapi mereka tidak akan mengenal kita di masa sekarang. Aku hanya ingin kamu bisa menjaga diri, di kampusmu sekarang ini akan ada banyak vampir, tujuan mereka hanya satu Veeneta Shu."
"Aku penasaran kenapa semua vampir menginginkan gadis itu?" tanya Almilan pada Mintaka saat dia mulai menyadari kalau mulutnya terbuka lebar.
"Kalian sudah pernah bertemu dengannya, kan?"
"Bagaimana Kakak tahu?" ujar Alnitak.
"Aduh!" teriaknya lagi mengelus kepalanya.
"Kak Milan … kenapa kamu memukulku?"
"Karena kamu ini bodoh atau apa sih, kamu nggak tahu siapa kakak kita ini." Almilan menunjuk ke Mintaka yang berdiri dengan posisi tegas dan bijaksana di depan mereka, dari penampilannya Mintaka sangat mirip dengan ayah mereka, Raja Zeus.
Alnitak menoleh ke Mintaka lalu dia menyeringai, "Aku tahulah, apa yang tidak dia ketahui tentang semua hal di dunia ini."
"Dasar bodoh!" ujar Almilan.
"Kamu …" Alnitak langsung menoleh dan mendelik pada Almilan.
"Sudah, kalian berdua dengarkan aku. Pokoknya untuk kali ini yang kalian perlu lakukan adalah selalu mengawasi Misaki."
"Misaki? Ada apa dengannya?" tanya Almilan.
"Kak, bagaimana denganku, aku sibuk ditambah aku harus kuliah, apa tidak boleh aku tidak kuliah?"
"Alnitak, kalau kamu ingin menjadi manusia normal, ya kamu harus kuliah seperti manusia yang lainnya, mereka pasti mempertanyakanmu apa yang kamu lakukan selain menjadi bintang star di sini. Apa kamu tidak mempelajarinya setelah sekian tahun hidup di negeri ini. Semua orang di negeri ini mengejar pendidikan, bagi mereka seseorang akan terpandang jika memiliki pendidikan yang tinggi, ini sudah tahun ketiga kamu menundanya apa kamu mau mereka menggunjing dan mempertanyakan kepintaranmu itu."
Mendengar itu Alnitak bibirnya manyun.
Sementara Almilan hanya tersenyum melihat adiknya yang dimarahi oleh Mintaka.
Meski mereka kembar, tapi dalam hal belajar Alnitak memang orang yang paling malas dalam urusan itu.
"Aku akan membantumu, percayalah." Bisik Almilan pada Alnitak.
Seketika Alnitak menyeringai mendongak menatap kakaknya dan berkata, "Benarkah?"
"Hm …" Almilan mengangguk, "Asal ada syaratnya."
"Syarat? Ayo katakan, aku pasti bisa memberikannya padamu." Alnitak bersemangat lagi.
Almilan memajukan posisi badannya lalu mendekatkan wajahnya dan membisikkan sesuatu pada Alnitak di telinganya.
"Berikan satu mobil sport kesayanganmu kepadaku. Aku akan memilih si bungsu, bagaimana?"
Mendengar itu seketika mata Alnitak melotot, "Tidak mungkin."
Almilan mengedipkan mata kanannya saat Alnitak menatapnya dengan cemberut.
"Ka-kamu … sudah memikirkannya lama kan?" ucap Alnitak.
"Begitulah, kalau tidak mau ya sudah, belajar yang giat ya." Seru Almilan.
"Apa yang kalian bicarakan?" Mintaka menatap keduanya penuh selidik.
"Almilan, jangan coba-coba berani membantunya kali ini." Ancam Mintaka pada Almilan.
"Apa kamu tidak mampu membelinya sendiri." Lanjut Mintaka.
Almilan menyeringai lalu berkata, "Aku hanya suka milik Alnitak."
"Heh?" Mata Alnitak mendelik, "Uangmu banyak."
"Tapi aku suka mobilmu itu."
"Aku tidak akan memberikannya padamu."
Kedua kakak adik itu terus berdebat.
Sementara di tempat Misaki.
Dia masih penasaran dengan sosok yang dilihatnya, wajahnya terlihat senang lalu berubah murung saat dia mengingat percakapannya dengan Mintaka sebelumnya.
"Aku akan membawamu ke makam kedua orang tuamu tapi dengan syarat jangan pernah peduli dengan gadis yang baru saja kamu lihat. Kalau tidak aku tidak akan memberi tahu kamu di mana makam ayah dan ibumu."
Bagaimana pun Misaki tidak pernah bisa melawan Mintaka.
Pemuda itu sangat kuat sangat berbeda dengan kedua adik kembarnya.
Mintaka bisa dengan mudah membuat Misaki tidak berdaya seperti yang pernah dia alami sebelumnya saat Mintaka dengan murka membuat Misaki tersiksa dan itu tidak akan pernah dia lupakan sepanjang hidupnya.
"Apa aku bisa mengalahkannya suatu saat nanti?" ujar Misaki pada dirinya sendiri.
Saat bersamaan, di tempat lain.
"Apa kalian sudah menemukannya?"
"Misaki berada di lantai yang sama dengan kita saat ini."
"Bagus. Kalau begitu jangan menundanya, aku menginginkan isi kepalanya."
"Tuan, apa tidak terlalu terburu-buru, bahkan …"
"Apa kamu ingin kita berlama-lama di negeri ini. Aku sudah berusaha mengejarnya selama ratusan tahun dan saat ini adalah waktunya, kalau aku tidak bisa membunuhnya lebih dulu aku tidak akan bisa mendapatkan gadis itu." Ucap pemuda bermata tajam, berwajah segitiga itu dengan geram, kedua tangannya sudah mencekik leher pelayan setianya.
"Tu-tuan …" pekik si gadis berambut pirang wajahnya seketika pucat saat tenggorokannya terasa tercekat.
Mata pemuda itu berapi-api saat dia dengan keras masih mencekik leher gadis berambut pirang itu.
"Tuan Yamada, tolong jangan!" sebuah teriakan menghentikan cengkraman tangan pemuda itu.
"Jangan lagi berkata sembarangan di hadapanku." Ancam Haru Yamada matanya melotot tajam, dia adalah tuan muda dari keluarga Yamada, dia adalah anak pertama klan vampir keluarga Yamada.
….
"Apa kamu yang bernama Misaki Himura?" tanya seorang bocah berusia sembilan tahun pada Misaki.
Misaki tengah bermain di tepi danau selepas kembali membantu ayahnya di ladang.
Pemuda bertubuh kurus dan tinggi dengan mata celong itu hanya mengangguk.
"Haik!" jawab Misaki pada akhirnya saat dia melihat pemuda di depannya adalah sosok yang harus dia hormati.
Haru Yamada, siapa yang tidak mengenal putra pewaris klan Yamada di kampung halamannya.
BUK!
Tiba-tiba Haru menendang kaki kanan Misaki.
"Auw …" Misaki mengerang memegangi lutut kakinya yang terasa sakit dan panas, wajahnya seketika merah menahan sakit yang luar biasa.
Detik berikutnya …
BUK!
Kedua kalinya Haru menendang perut Misaki.
Tubuh Misaki yang lebih kecil jatuh terduduk di tanah basah, dia mengerang lagi menatap Haru dengan kesal dan merasa bingung, ada apa dengannya tapi meski dia seorang putra keluarga terpandang Misaki tidak terima diperlakukan seperti ini.
"Tuan Muda Haru jangan memukulnya nanti …" seorang pelayan setia keluarga Yamada memberi peringatan pada Haru.
"Jangan ikut campur." Haru mendorong peleyan itu sehingga dia pun terjatuh.
Sebelum Haru menjatuhkan pukulan berikutnya, Misaki sudah lebih dulu menerjangnya.
BAK BIK BUK!
Misaki seperti orang kesurupan menghajar Haru yang tubuhnya lebih besar dari dirinya.
Si pelayan tidak bisa berbuat apa-apa saking terkejutnya saat Misaki sudah menghajar Haru sampai babak belur dan Haru terbaring di tanah dengan wajah bengkak, merah dan biru di bagian pelipisnya, ada darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
Setelah itu Misaki melarikan diri dengan berlari sangat cepat meninggalkan mereka tidak pernah lagi menoleh.
"Sialan … kamu kejar dia." Teriak Haru tapi si pelayan tidak berdaya saking terkejutnya dia hanya bisa duduk dengan tangan gemetar melihat wajah tuannya yang sudah babak belur.