"Lelahnya." Karina menghempaskan tubuhnya yang sudah segar di sofa kamar.
Ia tadi sempat tertidur sehingga baru sempat mandi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Saat ini dirinya berada di kamar Ken. Pria yang begitu menyebalkan.
Selama seminggu ini, ia harus tinggal di sini untuk sementara atas permintaan Mamanya Ken.
Karina yang tidak tegaan akhirnya mau tak mau menyetujuinya.
Dirinya disuruh untuk tidur di kamar Ken. Karena tidak ada lagi kamar di sini. Kamar tamu sedang direnovasi.
Untuk Ken. Pria itu tidur di luar tentunya. Tidak mungkin mereka tidur bersama mengingat mereka belum resmi menjadi suami istri.
"Baru kali ini, aku selelah ini." Karina menghembuskan nafas kasar.
Bagaimana tidak lelah coba. Dirinya menjadi sopir dadakan selama hampir seharian. Mereka berkeliling menyusuri seluruh isi kota.
Ken terus memintanya pergi ke berbagai toko setelah mencoba gaun pengantin mereka.
Karina memijat bahunya yang begitu pegal. Di waktu seperti ini. Pasti sang Mama akan memijiti tubuhnya.
"Aku jadi kangen Mama," lirihnya.
Karina memang begitu dekat dengan kedua orang tuanya. Sedari kecil, ia tidak pernah kekurangan kasih sayang. Bisa dikatakan orang tuanya telah berhasil mendidiknya menjadi manusia seutuhnya.
Hingga ketukan pintu terdengar dari luar.
"Masuk," ujar Karina sopan.
Ia pun beranjak dan berjalan ke arah pintu.
"Tuan Ken?" Karina begitu kaget.
Ken tidak berkata apa-apa. Dirinya melangkah masuk dan langsung membaringkan tubuhnya di kasur empuknya.
"Tuan," panggil Karina. Karina kini berdiri sambil memandangi Ken heran.
"Aku ingin tidur. Jangan ganggu aku!" tegasnya.
"Tapi Tuan, bukannya Anda harus tidur di luar ya?"
"Tidak. Badanku sakit semua." Ken merentangkan tangannya.
"Jadi, Tuan ingin tidur di sini malam ini? Bagaimana dengan saya?"
Karina begitu kebingungan. Di malam hari begini dia harus tidur di luar? Bagaimanapun, ia adalah seorang gadis.
"Ya sudah, kamu bisa tidur di sofa. Sedangkan aku tidur di sini," ujarnya santai.
Karina mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Kamu jangan khawatir. Tenang saja, aku tidak akan macam-macam dengan tubuh kerempengmu itu," ledeknya.
Karina menggeram kesal. "Kerempeng katanya? Enak saja! Tubuhku bagus tahu," kata Karina dalam hati.
"Jangan coba-coba mengadu kepada Mama!" peringatkan Ken.
Tadi, dirinya sudah sempat tertidur di luar hanya beralaskan karpet saja. Baru beberapa jam, dirinya sudah begitu pegal.
Karena itu dirinya menyelinap di kamarnya sendiri. Tanpa sepengetahuan sang Mama tentunya. Jika sampai tahu, alamat dirinya akan diceramahi tujuh hari tujuh malam oleh wanita yang paling berarti di hidupnya itu.
Ken pun langsung menarik selimut. Dirinya begitu mengantuk sekali. Ken tak mempedulikan sosok Karina yang mungkin sedang kesal karena ulahnya.
Karina hanya bisa menghembuskan nafas pasrah. Daripada dirinya harus tidur di luar, lebih baik ia tidur di sini walaupun di sofa.
"Sudahlah. Aku yakin dirinya tak akan macam-macam. Lagipula, dirinya tidak bisa melihat," ujar Karina dalam hati.
***
Pagi harinya.
Linda begitu bersemangat menyiapkan sarapan karena calon mantunya itu sedang berada di sini.
Ia menyiapkan makanan terbaik. Surya yang sudah duduk manis hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Dia begitu bahagia melihat sang istri yang tersenyum senang seperti itu.
"Sudah selesai," ujar Linda antusias sambil melihat hidangan yang tersusun rapi di meja makan.
"Pa, Mama bangunkan Karina dulu ya," pamitnya pada sang suami.
"Iya Ma," sahut Surya seadanya.
Linda pun langsung melangkahkan kakinya cepat menaiki anak tangganya. Kebiasaan unik di keluarga mereka adalah sarapan di jam enam pagi. Sangat berbeda dengan keluarga lainnya.
Ia pun kini sudah berdiri di depan pintu kamar anaknya yang sedang dipakai oleh sang menantu.
"Cklek."
"Eh, pintunya tidak dikunci ternyata," katanya sedikit terkejut.
Kemudian dirinya geleng-geleng kepala. Ternyata, calon mantunya itu tipe yang kurang waspada.
Tak ingin berlama-lama lagi. Ia pun masuk.
"Astaga!" Linda menutup mulutnya tak percaya.
"Ken!" teriaknya.
"Ma, ini tidak seperti yang Mama lihat. Semua ini salah paham. Ken bisa jelaskan," kata Ken panik.
Linda terlihat begitu marah. "Selama ini kamu membohongi Mama? Lantas apa yang kamu lakukan kepada Karina?" tanyanya penuh kekecewaan.
"Tidak seperti itu Ma. Ken, tidak berbohong. Hanya belum berani jujur saja. Dan lagi, Ken tidak melakukan apapun."
Hembusan nafas lolos begitu saja. "Sudahlah, segera turun ke bawah!" titahnya.
"Ma, Ken mohon. Rahasiakan hal ini ya."
"Baiklah." Linda pun keluar dari kamar itu dengan perasaan campur aduk. Marah dan kesal tentunya begitu mendominasi.
Ibu mana yang tak kecewa dibohongi oleh sang anak. Padahalkan, seorang Ibu itu biasanya tempat keluh kesah semua anak pada umumnya.
***
Karina sudah berada di kantor. Ia merasa tubuhnya sakit semua. Bagaimana tidak sakit coba, semalaman ia harus tidur di sofa.
Untungnya, perutnya sudah kenyang karena bekal yang disiapkan oleh Mama mertuanya.
Tadi, Karina tidak sempat sarapan karena kesiangan. Untungnya sang mertua begitu baik hati dan pengertian.
Namun, lagi-lagi dirinya harus dibuat kesal oleh Ken. Pria itu tiba-tiba saja memasuki kamar ketika dirinya sedang berganti baju.
Untungnya, fakta Ken tidak bisa melihat membuat Karina lega. Jika tidak, mungkin dirinya sudah menghajar sosok Ken saat itu juga.
"Tok, tok." Terdengar suara ketukan pintu.
"Masuk," sahut Karina dari dalam.
Pintu pun terbuka. Tampaklah sosok sahabat yang begitu ia rindukan.
"Indry?" ujar Karina berbinar.
Indry berlari memeluk sang sahabat. Sudah beberapa hari keduanya tidak bertemu. Paling, hanya menelepon itu pun hanya sesekali saja.
Keduanya berpelukan dengan begitu erat.
"Aku kangen banget tau!" ujar Indry melepaskan pelukannya.
"Sama aku juga," sahut Karina.
Karina pun mempersilahkan sang sahabat untuk duduk di sofa panjang yang ada di ruangannya itu.
Ia duduk di samping Indry.
"Ada urusan apa kamu ke mari? Tumben," tanya Karina lembut.
Kekehan lolos dari bibir Indry. "Haha. Aku cuma kangen sama sahabat aku yang cantik ini."
"Bisa aja kamu."
Mereka pun bercerita hal-hal kecil seperti biasa. Di tengah percakapan mereka. Ponsel Karina tiba-tiba berdering.
"Sebentar ya. Aku mengangkat telepon dulu," pamitnya.
Indry mengangguk kecil. Gadis cantik berambut bergelombang itu terlihat tengah memperhatikan ruangan sang sahabat yang tak pernah berubah sedari dulu.
Sangat berbeda dengan ruangannya yang sebulan sekali selalu berganti desain.
"Dia ini hemat atau pelit sich?" Indry tertawa kecil.
Ia tahu jika Karina adalah orang yang sederhana dan tak pernah menghabiskan sembarang uang untuk keperluan yang menurutnya tidak perlu.
Karina mengangkat telepon itu. Ia sebenarnya malas mengangkatnya. Karena ternyata, Kenlah yang menelepon.
"Halo," ucapnya berusaha tenang. Sebab, kepalanya mulai mendidih hanya dengan melihat nama itu saja.
"Ke kantorku sekarang. Penting!" titahnya.
"Tidak bisa Tuan. Aku begitu sibuk saat ini," tolak Karina.
"Kamu yang ke sini. Atau aku yang akan menyusulmu!" ancam Ken tak main-main.
Karina mendengus sebal. Ingin sekali ponselnya ia lemparkan saat ini juga. Apa sich mau pria itu? Kenapa pria itu selalu mengganggu hidupnya?
"Katakan dulu hal penting apa."
"Tidak. Nanti, kamu juga akan tahu. Cepat! Waktumu hanya satu jam dari sekarang. Aku tidak suka dengan orang yang tidak tepat waktu."
"Tut.."
Sambungan telepon terputus secara sepihak. Karina membuka mulutnya tak percaya. Pria yang akan menjadi suaminya itu benar-benar tidak waras sama sekali.
Dengan perasaan dongkol, ia pun menghampiri Indry untuk berpamitan.
Indry sedikit kebingungan melihat ekspresi sahabatnya saat ini.
"Kamu kenapa Karina? Tadi, telepon dari siapa?" tanyanya pelan.
"Dari orang tidak waras. In, aku pamit ya. Maaf banget." Karina menyentuh lengan Indry dan langsung pergi.
"Eh, Karina..."
Namun terlambat. Karina sudah pergi. Indry hanya bisa mendengus sebal.
"Dia mau ke mana sich?" Indry mengerutkan bibirnya.
Padahal, dirinya sudah jauh-jauh hanya untuk menemui sang sahabat saja. Namun, dirinya malah ditinggal seperti ini. Benar-benar. Untung saja dia sayang.