Karina kini kembali ke rumahnya dengan diantarkan oleh Indry. Sahabatnya itu menawarkan diri untuk menemani namun, dengan halus ia menolaknya.
Karina tidak ingin membuat sahabatnya repot. Terlebih, pekerjaan sahabatnya sempat terganggu karena dirinya yang tiba-tiba saja datang tadi.
"Eh, kenapa di rumah ramai ya? Ada apa?" ujarnya sedikit penasaran.
Karina pun akhirnya melangkah masuk.
"Sore Pa, Ma. Karina pulang." Karina menyalam dua orang yang begitu berarti di hidupnya.
"Eh, anak Mama sudah pulang ternyata. Kenalin, ini Om Surya dan istrinya."
"Sore Om, tante." Karina juga menyalam keduanya sebagai bentuk rasa hormat.
Padahal, Karina itu seorang CEO, tapi diriya memang selalu bersikap santun dan rendah diri ke siapa saja, apalagi orang yang lebih tua darinya.
"Wah, Burhan. Anak kamu cantik sekali ya," ujar Surya kagum.
"Tentu dong! Anak siapa dulu," sahut Burhan bangga.
Para istri hanya bisa terkekeh geli melihat tingkah para suami mereka.
Karina hanya bisa tersenyum simpul. Dirinya begitu bahagia melihat keharmonisan yang terjalin diantara kedua pasutri itu.
"Karina pamit dulu ya Pa, Ma, Om, Tan," ujarnya sopan.
Semuanya mengangguk kecil.
Karina pun langsung melangkahkan kakinya menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya. Ia begitu lelah. Lelah fisik dan juga jasmani tentunya.
Hari ini benar-benar penuh dengan kejutan yang tak pernah diduga-duga sama sekali.
Syukurnya tadi, dirinya sudah sempat mandi dan berganti baju di kantor Indry. Jika tidak, Karina sangat yakin jika orang tuanya nanti akan keheranan dan cemas.
Perlahan, dirinya langsung merebahkan tubuhnya di kasur empuk itu. Matanya menatap langit-langit kamar yang bernuansa hijau itu.
"Kenapa mereka tega melakukan ini kepadaku? Sebenarnya apa salahku?" lirih Karina tertahan.
Dirinya masih tak habis pikir dengan dua orang yang ia sayangi ternyata tega mengkhianatinya kali ini.
Air matanya kembali menetes tanpa seizinnya. Ia pun langsung merogoh sapu tangan hijau pemberian orang asing.
"Siapa pria tunanetra tadi? Aku bahkan tidak mengucapkan rasa terima kasih dengan benar."
Karina terus memperhatikan sapu tangan hijau yang menurutnya begitu cantik. Di sana, terdapat ukiran nama berinisial 'K'.
"Apakah ini inisial namanya? Huruf 'K' ya?"
Karina terlihat sedang berpikir. Bagaimanapun caranya, dia harus bisa bertemu dengan pemilik sapu tangan ini lagi.
Ia ingin mengembalikannya dan mengucapkan terima kasih dengan benar.
Di tempat lain.
Terlihat seorang pria sedang duduk di ruangan bernuansa gelap itu. Wajahnya terlihat begitu tampan.
"Bagaimana Louis? Kamu sudah menemukan data gadis itu?" tanyanya.
"Sudah Tuan. Saya sudah membaca dan merekamnya," jawabnya sopan.
Pria yang dipanggil Tuan itu tersenyum senang. "Terima kasih Louis. Maaf selalu merepotkanmu. Seandainya saja aku ini tidak buta," ujarnya lirih.
"Sudah menjadi kewajiban saya untuk selalu bisa mengabdi kepada Tuan. Dan saya ucapkan selamat atas pernikahan anda yang akan diadakan bulan depan."
Terdengar kekehan dari pria itu. "Haha, aku saja tidak yakin jika gadis itu mau menerima perjodohan dengan seorang pria buta sepertiku. Jika dia mau, berarti ada maksud dan tujuan lain seperti yang sudah-sudah."
"Percayalah Tuan. Gadis ini pasti akan menerimamu apa adanya. Dia adalah anak yang penurut dan terkenal dengan sikap ramah tamahnya kepada siapa saja," jelas Louis.
"Benarkah? Paling dia hanya anak orang kaya yang bisanya hanya menghabiskan harta orang tuanya saja."
"Anda salah Tuan. Gadis ini begitu hebat dan mandiri. Dia bahkan bisa mendirikan perusahaannya tanpa bantuan siapapun. Dari informasi yang saya dapatkan. Dia dikhianati oleh pacar dan sepupunya."
"Sepertinya menarik. Aku tidak sabar ingin bertemu dengan gadis yang kau agung-agungkan itu."
Louis tertawa kecil. "Saya tidak mengagung-agungkannya Tuan. Tapi, itu kenyataannya."
Pria itu hanya bisa menghela nafas. Ia malas berdebat dengan Louis William yang notabenya adalah sahabat juga tangan kanannya.
"Sudahlah. Kau boleh pergi," usirnya.
Louis berdecak kesal. "Baiklah." Ia pun melangkahkan kakinya ke luar ruangan sang Bos yang kadang suka seenaknya.
Kini, hanya pria itu saja yang tersisa. Dirinya masih asyik duduk di kursi kebanggaannya. Ya, dialah Kenny Aksara Pratama. Seorang CEO perusahaan yang bergerak di bidang properti.
Dirinya mengalami kebutaan karena kecelakaan dua tahun silam. Buta tidak menghalanginya untuk bisa menjalankan perusahaan dengan baik.
Pria tampan berusia tiga puluh dua tahun itu masih sendiri alias singgle. Sebelum kecelakaan, dia hampir menikah. Tapi, kekasihnya itu malah pergi meninggalkannya karena dirinya yang menjadi buta.
Saat ini, Kenny atau yang biasa dipanggil Ken tidak percaya lagi dengan yang namanya cinta. Cinta bisa berubah karena suatu keadaan. Dirinya sudah mengalaminya sendiri.
Perlahan, Ken melepas kacamata hitam yang senantiasa dipakainya selama dua tahun terakhir.
Disaat dirinya terpuruk, orang yang paling dicintainya malah pergi meninggalkannya begitu saja. Padahal, dirinya butuh seseorang yang menguatkan dirinya kala itu.
"Aku yakin jika wanita ini sama saja dengan wanita-wanita lainnya. Cinta apa adanya hanya omong kosong belaka!" Ken meremas kedua tangannya sendiri.
Seketika bayangan sang mantan yang berhasil menorehkan luka untuknya tiba-tiba saja muncul.
"Arghhh! Brengsek!"
***
Karina memperhatikan kedua orang tuanya lekat. Ia sedikit keheranan dengan mereka yang tiba-tiba saja menghampiri dirinya di kamar sepagi ini.
"Tumben sekali mereka masuk ke kamarku seperti ini. Pasti ada hal penting," batinnya menduga-duga.
"Sayang, Papa sama Mama tidak mengganggu kan," ujar Lidya selaku Mama Karina.
Karina menggeleng kecil. "Tidak kok Ma, Pa. Ada apa?" tanyanya sambil tersenyum lembut.
Keduanya langsung duduk di pinggiran ranjang. Mereka memperhatikan anak semata wayangnya itu lekat.
"Ada hal penting yang ingin kami sampaikan kepadamu, Nak!" ujar Burhan to the point.
Sontak, Karina mengerutkan alisnya. "Ada hal penting apa Pa."
Lidya menggenggam tangan anaknya itu dengan erat. "Kamu akan menikah bulan depan Nak," jelasnya.
"Benar, kamu akan menikah dengan anaknya Om Surya," tambah Burhan.
Deg.
Karina terdiam sempurna saking kagetnya. Kenapa begitu tiba-tiba sekali? Baru kemarin dirinya memergoki sang kekasih dan bulan depan dirinya akan menikah? Lelucon macam apa ini.
Hatinya bahkan belum sembuh dan masih terluka. Terlebih lagi dirinya akan menikah dengan orang yang tidak pernah dikenalnya sama sekali.
Lidya tahu jika sang anak begitu terkejut. "Maafkan kami Nak. Kami tidak bisa menolak permintaan Om Surya. Bagaimanapun, kami punya hutang budi kepada beliau," katanya merasa bersalah.
"Iya. Maafkan kami Nak. Sebenarnya aku tidak rela menikahkanmu dengan anak Om Surya yang buta itu." Burhan menundukkan kepalanya.
Karina masih diam, belum memberikan respon sama sekali. Hal itu membuat keduanya semakin bersalah saja.
Mereka ragu jika anaknya akan bahagia dengan pernikahannya nanti. Terlebih calon suaminya itu buta.
Karina menghela nafas panjang. Dirinya tidak boleh egois. Bagaimanapun, orang tuanya tidak bersalah di sini. Mungkin, semua ini adalah takdir yang digariskan Tuhan untuknya.
"Tidak perlu meminta maaf Pa, Ma. Karina siap menerima pernikahan ini dengan lapang dada," ujarnya sambil tersenyum simpul.
"Benarkah?" tanya keduanya memastikan.
Karina mengangguk mantap. Ia sangat yakin.
"Terima kasih." Burhan dan Lidya memeluk anaknya itu dengan erat.
Mereka benar-benar beruntung sekali memiliki anak seperti Karina.
"Apapun akan Karina lakukan demi kebahagiaan kalian," ucap Karina dalam hati.