"Dasar bodoh!"
Seruan seseorang membuat Stevi merenung. Merenung bukan untuk memperbaiki diri, sebaliknya dia penasaran siapa yang sudah menghentikan pestanya itu.
"Siapa kau yang ada di sana?! Tunjukan batang hidungmu, atau nyawa orang-orang di sini yang menjadi pengganti ucapanmu itu!"
DOR ….
Stevi melesatkan tembakannya ke arah langit-langit. Beberapa lampu hancur dan menimpa sebagian orang.
"Hentikan semua kebodohanmu itu. Jangan, hanya karena emosi kau membuat orang-orang yang tidak berdosa menjadi taruhannya," kata dia.
Terdengar ocehan darinya seolah sedang menasehati Stevi. Suara yang menyeruak di antara gelapnya ruangan membuat Stevi sulit untuk mengenalinya
"Keluar kau pecundang! Jangan kau hanya berkata di balik bayangan saja. Jika berani tunjukan wajahmu, atau shotgun-ku yang akan berbicara!"
Stevi mengangkat shotgun miliknya, justru menimbulkan kepanikan yang luar biasa kembali.
Seseorang telah muncul dari cahaya yang terang menuju jalan kegelapan yang sedang Stevi jalani sekarang.
"Siapa kau?" tanya Stevi, yang begitu juga dipertanyakan oleh banyak orang.
Sosok pria yang sudah pasti ganteng, berkulit putih dan tinggi. Rahang pipinya tirus dengan dagu yang lancip seperti kepala pensil.
"Oh, jadi kau yang sudah mengganggu kesenanganku? Siapa dirimu yang sudah seenaknya berkata aku ini bodoh?"
Pria itu menjawab, yang disertai dengan tertawa, "Hahaha, siapa aku? Tentunya bukan orang bodoh yang datang dengan membawa shotgun di tangannya."
Dia berbalik mengejek Stevi. Bukan itu saja, dia juga merupakan pertanyaan yang membuat Stevi terhenyut untuk sejenak.
"Apa dengan membunuh semua orang, akan membuat kedua orang tuamu menjadi senang?"
Pertanyaan yang langsung menembus hati Stevi, dan menusuk sampai ke jantungnya.
"Jelas itu tidak akan membuat kedua orang tuamu menjadi senang. Apakah ajaran yang selama ini mereka tanamkan hanya sampai mereka hidup saja, setelah mereka mati maka anak mereka akan membunuh orang yang tidak berdosa?"
Sungguh kalimat pengingat bagi Stevi. Dia seolah menerima cambukan keras dari perkataan pria itu.
"Mengapa kau diam?" tanya pria itu kembali.
Stevi melepaskan shotgun-nya. Setelah itu dia tersungkur.
"Ibu." Terdengar dirinya yang mendadak sesegukan.
Entah mantra apa yang pria itu sampaikan, sehingga membuat Stevi kembali pada dirinya.
Dia mendatangi Stevi. Tamparan keras tersebut membuat Stevi tak berdaya. Dia teringat kembali bagaimana orang tuanya selalu menanamkan nilai budi pekerti yang baik.
Namun, apa yang terjadi sekarang? Selama 7 hari terakhir dirinya berubah menjadi monster yang tidak memiliki hati.
Apa yang sudah merasuki dirinya, sehingga dia lupa dengan nilai-nilai kebajikan yang selama ini dirinya pegang teguh?
"Bangunlah. Kau tidak pantas untuk menangis. Percuma kau menangis dan menyesali semuanya. Mereka yang sudah kau bunuh tidak akan kembali hidup hanya dengan air matamu saja," kata pria itu, lagi dan lagi.
"Hiks, kau benar. Entah apa yang sudah merasuki diriku, sampai membuatku menjadi monster yang sangat mengerikan."
Bahkan Stevi mengakui bahwa dirinya berubah menjadi jahat hanya karena kematian orang tuanya saja.
"Berdiri lah!"
Pria itu tidak menjauhi Stevi, sebaliknya dia mengulurkan tangannya untuk merangkul gadis tersebut.
Stevi mengangkat wajahnya dengan rasa malu. Tidak ada lagi kebanggan dari dirinya. Selama ini dia selalu mengangkat kepalanya dan berjalan dengan bangga. Tapi, sekarang Stevi bahkan membenci dirinya sendiri.
"Mengapa? Apa kau ragu?" tanya pria itu.
Stevi tidak ragu untuk meraih tangan tersebut. Hanya saja hatinya mengatakan apakah dirinya pantas menerima uluran tangan itu dan mendapatkan kesempatan kedua?
"Kenapa? Apa kau berpikir, jika kau tidak pantas untuk mendapatkan kesempatan kedua?" Dia mengatakan hal sama, seperti yang Stevi pikirkan.
"Semua manusia sama di mata Sang Pencipta. Semuanya pasti memiliki hak untuk kesempatan kedua. Kesempatan yang digunakan untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi," tambahnya.
Stevi semakin takjub kepada pria itu. Bukan hanya parasnya saja yang tampan, tetapi dirinya juga memiliki hati yang murni. Bisa menerima kekurangan setiap orang.
Pemikirannya luas. Aura yang dipancarkan pula sangat positif terlebih lagi ketika berbicara. Dia bahkan sampai membuat Stevi tersadar kembali.
"Ayo!" ajak dia kembali.
Pria yang belum diketahui namanya tersebut, terus membujuk Stevi untuk mau meraih tangannya.
Dengan yakin dan mantap. Akhirnya Stevi menerima uluran tangan tersebut. Dia kembali berdiri dengan bangga, meski ada sedikit rasa bersalah di dalam hatinya.
Stevi telah bangkit. Tidak ada lagi dendam yang menggerogoti hatinya. Semuanya terhempas oleh kata-kata mutiara yang pria itu utarakan.
"Lalu, siapa namamu?" tanya Stevi.
Mereka belum sempat berkenalan secara langsung. Ini kali pertama Stevi melihat pria itu di klub malam ini.
"Perkenalkan namaku Galaxy Adi Putra. Panggil saja aku Galaxy," kata pria berparas rupawan itu.
"Oh, nama yang keren. Sekeren orangnya," bisik Stevi.
Namun, dia segera mengganti perkataannya itu, sebelum Galaxy sadar.
"Maksudnya, namaku Stevi Anjali Putri," tutur Stevi, mengganti topik sebelumnya.
"Baik, Stevi," balas Galaxy demikian.
Keduanya langsung akrab. Ada kecocokan dari mereka. Baik Galaxy maupun Stevi.
Dari pertemuan itu Stevi bisa belajar tentang kehidupan lebih jauh dari Galaxy. Pria itu dapat dikatakan teman curhat yang pas untuk mengutarakan keluh kesah.
Stevi tidak sungkan-sungkan untuk menceritakan masa lalunya dan semua tentang dirinya kepada Galaxy.
Pertemuan yang singkat, namun sangat berkesan bagi Stevi. Dia tidak tahu, kenapa dirinya merasa nyaman saat di dekat Galaxy?
Ada tarikan kuat yang Galaxy pancarkan, membuat Stevi selalu menempel padanya.
"Setelah ini kau akan kemana?" tanya Galaxy, ketika keduanya sedang bersantai di salah satu restoran.
"Hmm, aku tidak tahu," balas Stevi seraya berpikir.
"Bagaimana jika kau ikut denganku saja," usul Galaxy.
Ada ajakan untuk Stevi, sebab gadis itu tinggal di kota ini seorang diri. Kedua orang tuanya sudah meninggal pula beberapa bulan yang lalu.
Hidup sebatang kara membuat Stevi sering kali merasa kesepian dan bosan. Tidak memiliki teman, sebab semua temannya menjauhi dirinya akibat kejadian beberapa bulan lalu.
"Boleh saja. Tapi, kita akan pergi kemana?" balik Stevi bertanya.
"Amerika."
Singkat padat dan jelas. Galaxy tidak basa basi. Dia langsung masuk pada intinya saja.
"Amerika?" ulang Stevi.
"Kenapa harus Amerika? Mengapa tidak negara yang lain?"
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin Amerika saja." Galaxy membalasnya dengan santai, seperti biasanya.
"Hm … Boleh saja, tapi aku tidak ingin pergi jika tujuannya tidak jelas," kata Stevi.
Hal yang belum pasti, tidak bisa Stevi terima begitu saja. Terutama luar negeri. Mereka akan melakukan apa di luar negeri, harus jelas. Tuntut Stevi.
"Ya, aku pastikan kau akan senang di sana," ungkap Galaxy menambahkan.
Dia berkelakar bahkan ada hal yang seru jika Stevi mau ikut dengannya.
Kesenangan apa itu?
Benak Stevi penuh tanda tanya.
Apa yang akan diperbuat?
JANGAN LUPA BACA BAB SELANJUTNYA!