"Huahhhh, lelahnya! Akhirnya aku bisa beristirahat dengan tenang!" teriak Yurisa saat ia membuang dirinya di atas rsofa yang sangat lembut di salah satu kamar hotel. Atau lebih tepatnya, sebuah suite mewah yang terletak di lantai paling atas gedung hotel itu.
Suite itu terletak di lantai teratas The Greyson Hotel, salah satu hotel berbintang yang bisa dibilang cukup mewah.
Nadine melepas jaket hitam yang ia kenakan dan menggantungnya di penggantung pakaian. Ia melihat ke sekeliling suite dengan cukup takjub. "Kenapa jadi kau yang lelah? Aku yang mengemudi puluhan kilometer sedangkan yang kau lakukan hanyalah tertidur di sampingku."
Kayla mengangguk setuju dengan apa yang Nadine katakan. "Dan juga, kau adalah penghancur gendang telinga sepanjang jalan. Meski aku duduk di kursi belakang, namun suara teriakanmu benar-benar mencemari indera pendengaran."
"Ya, ya, ya. Kalian berdua bisa terus mengeluh, namun aku tahu, di hati kalian aku adalah orang yang paling manis dan lovely."
Kayla dan Nadine hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar apa yang Yurisa katakan.
Clack!~ ...
Suara pintu yang tertutup membuat mereka bertiga menoleh ke arah sumber suara itu. Kevan dan Rea adalah yang terakhir memasuki suite itu. Kedua mata Rea tak bisa berhenti memandangi suite yang mewah ini.
Tak hanya Rea yang takjub, namun Kayla, Nadine dan Yurisa juga. Mereka semua tak menyangka di tengah-tengah bencana seperti ini, mereka masih bisa menikmati kemewahan seperti ini.
Meski begitu, bagi Kevan yang terpenting hanyalah air dan listrik. Tak peduli seberapa mewah tempat mereka tinggal, jika tak ada air dan listrik tentu akan sulit untuk melakukan segala sesuatu.
Karena hotel ini memakai sistem perairan mandiri, yaitu dengan menyuling air laut, selama mesin penyuling air laut itu belum hancur maka tak akan ada masalah. Dan juga hotel ini memiliki generator listrik mandiri.
Jika memang mereka ingin tinggal di tempat ini dalam waktu yang sedikit lebih lama, sepertinya Kevan harus sering pergi mengecek generator listrik dan mesin penyuling air.
Meski suite ini cukup bagus dan mewah, ada satu kelemahannya. "Tak ada dapur." gumam Kevan yang terdengar oleh Rea.
"Tenang saja, kita memiliki kompor kecil dan beberapa tabung gas yang kita dapatkan dari minimarket sebelumnya." ucap Kayla.
Kevan pun mengedarkan pandangannya dan mulai berpikir bahwa bertahan hidup di tempat ini mungkin akan lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Rea menyadari eksperi wajah Kevan yang berubah, "Ada apa?"
"Tidak. Tidak ada apa-apa." balas Kevan yang berbalik ke arah pintu. "Di lantai dasar hotel ini ada toko pakaian. Aku akan membawakan kalian beberapa.
Yurisa mengacungkan tangannya, "Aku ingin warna pink! Kalau bisa—"
Kevan sudah membuka pintu dan melangkahkan kakinya.
"Tunggu, aku akan ikut denganmu!" teriak Kayla yang langsung berlari mengejar Kevan. Ia juga menutup kembali pintu suite.
"Hmph, dasar! Memiliki wajah tampan tapi tak pernah bersikap lembut pada wanita. Kini aku mengerti kenapa Kevan tak begitu populer di kalangan wanita di kampus." Yurisa kembali mengeluh.
Brakk~ ... "Hey, perhatikan ke mana kau melempar!" protes Yurisa saat sebuah handuk kecil dilempar tepat ke wajahnya oleh Nadine.
Nadine menatap Yurisa dengan tatapan serius, "Jangan membicarakan hal buruk lagi tentang Kevan. Jika bukan karena dia, kita mungkin sudah mati sejak awal."
"Iya, aku tahu. Lagi pula, aku juga hanya bercanda. Kenapa kau sangat sensitif terhadap hal ini? Apa kau menyukai Kevan juga?"
Nadine mengerutkan keningnya, "Juga? Maksudmu, kau—"
"Tentu saja. Sejak awal Kevan adalah tipeku. Dia tampan, tinggi, bertubuh bagus dan sexy. Terlebih, dialah yang menyelamatkan kita dan bertarung sendirian untuk kita selama ini. Tak mungkin aku tak jatuh cinta kepadanya." ucap Yurisa terang-terangan yang lalu menoleh ke arah Rea, "Kau setuju kan, Rea?"
"Huh? Eh ... I-Iya ... " Rea mengangguk dan semburat kemerahan tercetak di pipinya.
Nadine melihat hal itu dengan jelas dan menghampiri Rea. "Kenapa wajahmu memerah? Apa kau sakit?" Nadine menyentuh pipi Rea dengan lembut, "Suhu tubuhmu lumayan hangat. Kau tak tergigit oleh zombie di suatu tempat, bukan?"
Rea menggeleng dan menundukkan kepalanya, "Tidak ... A-aku ingin ke kamar mandi."
Rea berjalan meninggalkan Nadine dan Yurisa dan masuk ke kamar mandi. Nadine menatapnya dengan tatapan khawatir, sedangkan Yurisa menatapnya dengan senyuman lebar yang cukup menyebalkan untuk dilihat.
Yurisa menggelengkan kepalanya, "Sepertinya dunia ini memang benar-benar sudah kiamat. Bahkan seorang adik bisa jatuh cinta terhadap kakaknya sendiri."
Nadine kembali menatap tajam ke arah Yurisa, "Serius, kau harus berhenti dengan pikiran konyolmu itu jika kau ingin bertahan hidup lebih lama."
Yurisa menatap balik ke arah Nadine dengan tampang memelas yang sepertinya jelas dibuat-buat, "Kenapa kau begitu kasar kepadaku? Aku kan hanya mengatakan apa yang kulihat. Apa kau tak melihatnya? Tadi Rea benar-benar tersipu malu saat aku memuji Kevan dengan terang-terangan."
"Sudah kubilang hentikan pemikiran konyolmu." balas Nadine yang kini pergi ke arah jendela dan mulai memandangi laut malam yang tak terlihat ujungnya.
Yurisa terdiam sejenak, dan kini ia memasang ekspresi wajah cukup serius. "Menurutmu, apa kita akan bisa bertahan selamanya di tempat ini? Apa kita akan menghabiskan seluruh hidup kita dengan berlari?"
Nadine mengembuskan napas panjang secara perlahan, "Entahlah. Tak ada tempat yang benar-benar aman di situasi seperti ini. Aku tak masalah jika memang harus terus hidup dalam pelarian."
"Hmm, kau benar. Aku juga tak masalah selama aku memiliki kalian. Semenjak aku sadar bahwa mungkin aku tak akan bisa bertemu lagi dengan keluargaku, kalian adalah keluargaku sekarang." Yurisa membalas dan mulai memejamkan matanya, masih berbaring di atas sofa.
Nadine terus memandang ke arah laut malam yang tak berujung, seakan sedang memandangi secercah harapan semu yang terus diharapkan oleh semua insan yang bisa bertahan hidup di dunia ini.
Dan saat ia terus memandang jauh ke kegelapan malam, sebuah bayangan terlintas di benaknya.
Bayangan tentang punggung seorang pria, pria yang menjadi penyelamat hidupnya, satu-satunya pria yang ia rasa paling bisa ia andalkan.
Dan pria itu sedang pergi bertarung dengan para zombie, membahayakan nyawanya hanya untuk membawakan yang lainnya pakaian.
Hanya dengan memikirkan punggung Kevan saja membuat sebuah senyuman terlukis di bibir Nadine. Dan Nadine pun mulai terkekeh pelan. "Sepertinya dunia ini memang sudah benar-benar kiamat."
***
Slassshhh!~ ... Bruakkk!~ ...
Kevan merendahkan tubuhnya dan menebas perut salah satu zombie yang ada di hadapannya, membuat tubuh zombie itu terbelah dua. Memutar pedangnya sehingga mata pedangnya menghadap ke bawah dan menusuk ke belakang, tepat di dada kiri zombie lain yang ia hadapi.
Ia menarik pedang itu dengan ganas. Zombie di belakangnya tadi tumbang dengan lubang di dada kirinya.
Kevan pun menjejak zombie terakhir yang ada di tempatnya berada saat ini. Punggung zombie itu terbentur ke dinding, dengan alas sepatu yang Kevan kenakan menjejak perutnya dengan sangat keras.
"Graaaaaawr!~ ... " zombie terakhir itu seakan berteriak kesakitan.
Slassshhh!~ ...
Kevan menghabisinya dengan satu tebasan cepat yang membuat kepalanya jatuh menggeleinding di lantai.
Kayla yang berdiri beberapa meter di belakang Kevan, masih saja merasa takjub dengan pertarungan Kevan melawan zombie-zombie itu. Meski ini bukan pertama kalinya ia melihat Kevan bertarung melawan zombie, namun tetap saja, menurutnya, Kevan bukanlah manusia biasa.
Kevan menoleh, "Cepatlah. Kita tak tahu kapan gerombolan zombie lain akan datang ke tempat ini."
Kayla mengangguk dan mulai memasukkan pakaian ke dalam tas belanja yang ia temukan di pintu depan toko ini.
Selagi Kayla sibuk memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas benjanya, Kevan mengedarkan pandangannya melihat mayat-mayat zombie yang tergeletak di lantai.
Ia menyadari satu hal.
Di antara belasan zombie yang telah ia bunuh, ada dua zombie yang ia tebas kepalanya dan membuat bagian dalam otak mereka tercecer di lantai. Dan kedua zombie yang isi otaknya tercecer di lantai, terdapat sebuah batu aneh berukuran sebesar kuku tangan jari kelingking manusia.
Kevan menghampiri salah satunya. Ia berjongkok dan mengambil batu permata itu.
Batu permata yang kini ada di tangannya berbentuk zamrud. Sangat mirip dengan berlian emerald-cut berwarna hijau terang. Dan hal itu tentu saja membuat Kevan penasaran. Kevan pun berdiri dan mengayunkan kembali pedangnya.
Slasshhh!~ ... Crattt!~ ...
Ia membelah kepala zombie yang masih utuh, membuat Kayla berbalik karena mendengar suara itu, berpikir mungkin ada gerombolan zombie lain yang datang menghampiri mereka.
"Apakah orang-orang ini memakan berlian sebelum berubah menjadi zombie? Untuk apa? Apa mereka pikir bisa menyimpan harta mereka di dalam tubuh? Dasar konyol." gumam Kevan saat melihat ada berlian yang sama di kepala zombie yang baru saja ia belah menggunakan pedangnya.
Slasshhh!~ ... Slassshhh!~ ... Slassshhh!~ ...
Kevan terus membelah kepala zombie-zombie yang terbaring tak bergerak di lantai itu. Mereka semua memiliki kristal hijau zamrud kecil di dalam otak mereka. Kayla penasaran dengan apa yang Kevan lakukan. Setelah merasa selesai memilih pakaian untuk semua orang, Kayla pun berjalan menghampiri Kevan.
"Apa itu?"
Kayla bisa melihat ada enam belas kristal zamrud hijau berukuran kecil di tangan Kevan. "Dari mana kau mendapatkan berlian-berlian itu?"
"Dari dalam otak mereka." ucap Kevan santai yang membuat Kayla terkejut. "Apa kau mau?"
Secara naluriah, Kayla melangkah mundur menjauhi Kevan. Atau lebih tepatnya, menjauhi apa yang sedang dipegang Kevan saat ini. "Ti-tidak. Kau bisa memilikinya jika kau mau."
"Begitukah? Baiklah."
Kayla pun mengerutkan keningnya, "Lagi pula, bagaimana bisa kau memiliki pemikiran untuk mengumpulkan benda itu? Bukankah kau bilang bahwa batu-batu itu berasal dari dalam otak para zombie? Apakah batu itu bisa menginfeksi orang juga?"
"Tidak, aku tak merasakan apapun saat menyentuhnya." balas Kevan yang lalu memasukkannya ke dalam sebuah kantung kain berukuran kecil yang ia dapatkan dari meja kasir toko ini.
"Lalu, kenapa kau mengumpulkannya? Bukankah batu-batu itu bisa saja berbahaya?"
Kevan tak menjawab pertanyaan Kayla dan melangkahkan kakinya lebih dulu keluar dari toko pakaian tempat mereka berada. "Jika kau sudah selesai, kita akan langsung kembali ke suite."
"Eh, jangan tinggalkan aku sendiri! Tunggu aku!"
Alasan mengapa Kevan tak ingin menjawab pertanyaan terakhir Kayla adalah, karena alasannya akan terdengar konyol. Alasan kenapa Kevan mengumpulkan batu-batu yang ia dapatkan dari dalam kepala zombie itu adalah, karena dari komik dan novel yang pernah ia baca tentang kiamat zombie, bahwa batu-batu yang ada di dalam kepala zombie adalah fermentasi dari virus yang mengubah manusia menjadi zombie.
Batu-batu itu bisa dibilang adalah sisa-sisa kemampuan indera yang dimiliki oleh manusia sebelum mereka berubah menjadi zombie. Di dalam komik dikatakan bahwa mengonsumsi batu-batu itu akan bisa meningkatkan kekuatan indera mereka. Mulai dari kelima panca indera yang akan meningkat, hingga ke kekuatan fisik seperti penguatan tulang, otot dan kulit.
Tentu saja itu semua hanya fiksi belaka.
Dan karena itu Kevan tak ingin mengatakan alasannya mengumpulkan batu-batu itu kepada Kayla.
Walau Kevan tak tahu bahwa penulis novel dan komik zombie yang pernah ia baca, adalah orang yang sama yang melakukan penelitian tentang peningkatan evolusi manusia sedari awal. Dia adalah orang yang sama dengan yang menciptakan virus yang mengubah manusia menjadi mayat hidup dan menyebabkan kekacauan di seluruh dunia.
Ya.
Kevan tak tahu bahwa semua yang ada di komik dan novel zombie yang pernah ia baca, semuanya berdasarkan kenyataan yang ditambahkan prediksi ilmiah serta imajinasi sang peneliti. Dikemas secara menarik menjadi sebuah bahan bacaan untuk khalayak umum.
Dan sebenarnya, sang peneliti yang sekaligus penulis cerita novel dan komik itu, sedang memperingati manusia di seluruh dunia lewat karyanya.
Bahwa apa yang ia tulis, akan menjadi kenyataan.
Dan sekarang, semua itu telah benar-benar menjadi kenyataan.