Hiruk-pikuk teriakan penonton memenuhi ruangan kelab malam. Aroma alkohol bercampur dengan nikotin disertai tensi yang meningkat membuat suasana benar-benar meledak.
Semua orang bersorak sembari mengelilingi panggung yang berada di tengah-tengah ruangan kelab itu.
"Apakah kalian sudah siap?!" teriak seseorang yang berada di samping DJ dengan mikrofon berwarna emas-nya. Semua orang menanggapinya dengan teriakan antusias. Uang taruhan juga sudah terkumpul. "Baiklah. Untuk penantang kita hari ini, adalah tamu terhormat yang datang jauh-jauh dari dari Negeri Gajah Putih, Thailand. Petarung yang tak gentar dengan apapun yang ada di hadapannya."
Sorakan beserta tepuk tangan penuh semangat terus bersahutan.
"Kita sambut, A-Wut Anurak!"
Sang DJ yang berada di atas panggung berbeda dari panggung pertarungan mulai memutar lagu Despacito dari Luis Fonsi. Alunan beat yang berdentum membuat para penonton mulai menari mengikuti irama. Seorang lelaki pun terlihat berjalan ke arah panggung dengan celana pendek boxer berwarna putih dan kedua kepalan tangannya yang telah dibalut menggunakan perban.
Dengan bandana berwarna biru muda yang melilit di kepalanya, ia melangkahkan kakinya sembari ikut menari dengan kerumunan penonton.
Bahkan ia sempat menepuk bokong seorang wanita yang ia lewati.
Dan kini, orang bernama A-Wut Anurak itu sudah berdiri di tengah-tengah panggung, masih menari mengikuti lagu yang diputar oleh DJ.
Tentu saja, goyangan yang penuh semangat itu akan membuat penonton semakin terhibur, hingga mereka lupa bahwa saat ini bukanlah saat untuk menari.
"Dan sekarang, kita akan menyambut juara bertahan selama empat minggu berturut-turut!" ucap sang MC yang bahkan membuat sorakan penonton menjadi berkali-kali lebih keras.
Secara perlahan, lampu di ruangan kelab malam itu menjadi semakin redup. Hingga akhirnya, seluruh lampu pun mati. Hampir tak ada pencahayaan sedikitpun.
Dari langit-langit ruangan, sebuah lampu sorot diarahkan ke sudut ruangan di mana seorang lelaki berdiri tanpa ekspresi. Tentu saja hal itu membuat perhatian penonton seratus persen tertuju ke arahnya.
Sang DJ pun menghentikan lagi Despacito yang tadi ia mainkan. Kini lagu itu berganti dengan sesuatu yang terdengar seperti lonceng pemakaman, lengkap dengan suara orkestra yang membuat suasana menjadi semakin mencekam.
Skan & Krale – No Glory.
Diiringi dengan alunan musik yang memiliki intro yang cukup menakutkan, lelaki itu pun melangkahkan kakinya ke arah panggung pertarungan. Tanpa berdansa maupun menyapa penonton yang ia lewati. Kedua matanya begitu tajam menatap orang yang sudah berada di atas panggung terlebih dahulu.
Lelaki yang hanya mengenakan celana legging panjang berwarna hitam yang cukup menunjukkan bentuk tubuhnya, tanpa penutup tubuh bagian atas. Disamping wajahnya yang dinilai terlalu tampan untuk seorang petarung, bentuk tubuh yang memiliki otot-otot yang bukan dalam kategori otot yang besar namun terkesan sangat keras, ada satu hal yang menarik darinya.
Yaitu sebuah tato bergambar bunga mawar berwarna hitam di leher kirinya. Kuntum bunga mawar hitam itu memang berada di leher kirinya, namun tangkainya melilit lehernya, berputar sebelum akhirnya dasar dari tangkai tato bunga mawar hitam itu berhenti di dada kirinya. Dan dasar tangkai tato bunga mawar berwarna hitam itu adalah sebuah belati.
Tak ada yang tahu apa arti dari tato itu. Namun, dengan tubuh yang atletis dan wajah setampan itu, sepertinya tato apapun akan terlihat sangat menarik.
Tak butuh waktu lama bagi lelaki itu untuk berada di atas panggung.
"Sang juara bertahan selama empat minggu berturut-turut. Semenjak dia bergabung di sini, belum pernah ada yang bisa menumbangkannya. The Fallen Angel, Kevan Hanindra!"
Beberapa orang yang baru pertama kali datang ke tempat ini tentu saja tak akan percaya dengan apa yang dikatakan oleh sang MC. Dengan paras setampan itu, tentu saja lebih cocok untuk menjadi model ketimbang petarung.
"Malaikat jatuh?" tanya A-Wut Anurak, orang yang akan menjadi lawan bertarungnya malam ini. "Apakah ini lelucon? Jujurlah padaku, kau bisa bertahan selama ini karena kau membayar pemilik tempat ini untuk membiarkanmu menang, bukan?"
Kevan tak menggubrisnya, membuat A-Wut tertawa.
"Baiklah. Peraturannya simple ... Tidak ada peraturan!"
Para penonton kembali bersorak mendengar hal itu.
"Seperti biasa. Hanya ada satu ronde. Bertarung sampai salah satu dari kalian menyerah atau tak sanggup lagi bertarung. Jika ada yang kehilangan nyawa ... " ucap sang MC gantung, " ... salahkan diri kalian yang terlalu lemah!"
A-Wut mulai melompat-lompat di atas panggung. Ia melakukan salto dan beberapa tendangan di udara. Ia bahkan memamerkan beberapa gerakan Muay-Thai yang mengutamakan siku dan juga lutut.
Setiap kali A-Wut melakukan hal itu, para penonton menyorakinya.
Sedangkan Kevan, siapapun yang memerhatikannya bisa mengatakan bahwa Kevan sedang berusaha keras untuk menahan tawanya saat ini.
"Okay ... Pembantaian ... Maksudku, pertarungan di mulai!"
A-Wut menerjang ke arah Kevan. Melompat dengan satu kakinya dan mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Sepertinya ia akan menyerang Kevan dengan siku kirinya.
Kevan menghela napas malas. Sepertinya ia sudah bisa memprediksi ke mana arah pertarungan ini akan berakhir.
Kevan menghindar dengan bergerak sedikit ke arah kanan. Ia mengepalkan tangan kanannya keras-keras. Dan saat A-Wut sudah berada dalam jangkauan serangannya, tanpa menunggu kaki A-Wut mendarat kembali di lantai, Kevan mengayunkan tinju kanannya dan mendaratkan tinju yang sangat keras itu tepat di leher A-Wut.
Duakkk!~ ... Krakkk!~ ...
A-Wut terkapar di lantai panggung pertarungan sembari memegangi lehernya dengan kedua tangan. Darah segar mengalir deras dari mulutnya.
Yap.
Tulang lehernya patah.
Berkat daya tahan tubuhnya sebagai seorang petarung, membuatnya masih bisa sadar. Jika saja orang lain yang menderita cedera seperti itu, mungkin ia sudah tak sadarkan diri.
Kevan berdiri tepat di hadapan A-Wut.
"Menyerahlah."
"Kheukkk ... Kheukkk ... "
Lelaki itu sepertinya sudah tak bisa berbicara lagi, Setiap kali ia mencoba untuk mengatakan sesuatu, darah terus mengalir keluar dari mulutnya.
Kevan bisa melihatnya, bahwa lelaki bernama A-Wut ini tak memiliki keinginan untuk menyerah. Kevan menggelengkan kepalanya dan menghela napas lelah. Ia tak memiliki pilihan lain.
Dengan kaki kirinya, Kevan menjejak wajah A-Wut dengan keras, membuat A-Wut pun tak sadarkan diri. "Lebih baik begini dari pada kau mati dengan konyol."
Melihat pertarungan yang berakhir sangat cepat itu membuat beberapa orang penonton yang baru pertama kali datang ke tempat ini pun terdiam. Sementara orang-orang yang sudah beberapa kali melihat pertarungan Kevan, mereka bersorak dengan sangat keras.
"Yoyoyo~ ... Pertarungan kali ini dimenangkan oleh juara bertahan kita, The Fallen Angel, Kevan Hanindra!"
Kevan melangkah pergi meninggalkan panggung sementara beberapa orang berusaha memindahkan tubuh A-Wut dari panggung dan mungkin akan dibawa ke rumah sakit, atau dibuang begitu saja ke tempat sampah di belakang kelab. Tak ada yang tahu.
Setelah menerima bayaran atas pertarungan malam ini, Kevan pun meninggalkan kelab.
Inilah yang dilakukan oleh Kevan untuk membiayai hidupnya dan juga adiknya.
Dering suara ponsel membuat Kevan yang baru saja menyalakan motor Ducati Panigale V4 R berwarna hitam metalik miliknya, mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaket kulit yang ia kenakan. Nama Andrea Dwiutami tertera di sana.
"Kak Kevan, kapan kakak akan pulang?" tanya Rea, adik perempuan yang tinggal bersamanya di apartment. Ya, mereka hanya tinggal berdua.
Tidak. Orangtua mereka masih hidup dan bahkan menjalani kehidupan yang lebih dari kata cukup. Namun Kevan tak pernah akur dengan ayahnya dan memutuskan untuk keluar dari rumah lalu menghidupi dirinya sendiri.
Dan singkat cerita, Rea juga ikut keluar dari rumah dan kini mereka berdua hidup bersama di apartment yang ditinggali oleh Kevan.
Untuk biaya hidup?
Tentu saja Kevan yang menanggung semuanya. Meski Rea sering menerima uang dari orangtua mereka tanpa sepengetahuan Kevan, dan menyimpannya untuk sewaktu-waktu jika mereka mengalami krisis keuangan. Walau Rea tahu mungkin Kevan akan sangat marah jika ia mengetahui hal itu.
"Aku baru saja mau pulang. Apa terjadi sesuatu?"
"Tidak" balas Rea yang membuat Kevan tak mengerti alasan mengapa Rea menelponnya. "Baguslah kalau kakak akan segera pulang. Berhati-hatilah di jalan."
"Kenapa kau belum tidur?" tanya Kevan. Namun Rea sudah memutuskan sambungan terlebih dahulu. Kevan hanya terkekeh sekilas sebelum akhirnya memakai helm full-face lalu melajukan motor sportnya melintasi lalu lintas pada dini hari itu.
***
Lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Kevan berhenti di perempatan jalan dan menunggu hingga lampunya berubah menjadi hijau. Meski di persimpangan jalan ini tak ada kendaraan lain, namun ia terbiasa mematuhi lalu lintas.
Entahlah.
Kevan menganggap orang yang melanggar lalu lintas adalah orang yang egois, karena bisa merugikan orang lain. Dan dari segala macam manusia di dunia ini, manusia egois adalah yang paling dibenci olehnya.
Mendengar kata egois saja sudah mengingatkannya pada ayahnya.
Itu sebabnya sebisa mungkin ia tak ingin menjadi orang yang egois.
Suasana benar-benar sepi di persimpangan jalan ini. Selain deru motor yang ia kendarai, tak ada suara selain itu yang ia dengar.
Kini lampu lalu lintas telah berubah ke warna hijau. Kevan baru saja ingin menarik tuas gas di tangan kanannya untuk melanjutkan perjalanan. Namun sesuatu membuatnya melirik ke kaca spion sebelah kanan dan mendapati dua buah mobil sedang saling kejar-kejaran.
Kedua mobil itu melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Secara refleks, Kevan menarik tuas gas dan dengan cepat membawa motornya ke samping, berusaha menghindar dari dua mobil yang datang dari arah belakang.
Swunggggg~ ... Ckiiiitttt~ ...
Crassshhhh!!!~ ...
Untung saja ia menghindar tepat waktu. Dan salah satu mobil yang melaju dengan kecepatan sangat tinggi itu hancur setelah menabrak tiang lampu lalu lintas. Sedangkan mobil yang mengejarnya berhenti beberapa meter dari mobil yang menabrak lampu lalu lintas itu.
Mobil yang menabrak lampu lalu lintas dan hancur itu adalah sebuah mobil sedan berwarna abu-abu, sedangkan yang mengejarnya adalah sebuah mobil van berwarna hitam.
Kevan melepas helmnya, menaruhnya di atas kaca spion lalu mematikan mesin motornya. Ia turun dan berjalan mendekati lokasi kecelakaan itu.
Saat ia baru saja mau melihat apa yang terjadi kepada si pengendara malang itu, dua orang yang memakai setelan jas berwarna hitam, lengkap dengan kaca mata hitam yang mereka kenakan turun dari mobil van dan menghentikan langkah Kevan.
"Berhenti." ucap salah satu dari dua orang berjas hitam itu.
Hanya dengan melihatnya saja, Kevan sudah bisa menebak bahwa ini bukanlah kecelakaan biasa.
"Pergilah, dan anggap kau tak melihat apapun."
Kevan melirik ke arah plat nomor belakang mobil van itu dan berusaha menghafalkannya. Tanpa mengatakan apapun, Kevan berbalik dan kembali berjalan menuju motornya. Ia tak ingin terlibat masalah yang tak perlu. Mengapa orang-orang berjas hitam itu mengejar si pengemudi sedan juga bukan urusannya.
Ia juga menyadari bahwa hal ini cukup berbahaya.
Jadi, pilihan paling logis hanyalah menjauh dari hal ini.
Namun sebuah suara membuat langkah Kevan terhenti.
"Graaaaaaawwwhhhhh!~ ... "
Itu adalah suara teriakan seseorang.
Tidak.
Suaranya terdengar berkali-kali lebih mengerikan ketimbang suara teriakan biasa. Lebih tepat disebut sebagai suara raungan. Dan suara raungan itu terdengar dari lokasi kecelakaan. Kevan baru saja berbalik untuk melihat sebenarnya apa yang sedang terjadi, namun salah satu dari dua orang berjas hitam yang menghalanginya tadi telah menodongkan sebuah pistol ke arahnya.
"Peringatan terakhir. Pergi ... atau mati."