"Hey, coba lihat. Apa kalian percaya ini?" tanya Yurisa pada Kayla dan Nadine. Mereka bertiga sedang duduk bersama di salah satu meja yang berada di kafetaria kampus. "Sebuah rekaman video amatir tentang zombie di kehidupan nyata tersebar."
Yurisa menaruh ponselnya di atas meja agar Kayla dan Nadine bisa melihatnya.
Nadine mengambil kentang goreng dan memasukkannya ke dalam mulut, "Mungkin itu event Halloween. Mungkin juga iklan sebuah produk. Kau tahu sendiri, makin kesini orang-orang menjadi semakin kreatif."
Kayla mengangguk-anggukan kepalanya menyetujui perkataan Nadine. Namun saat ia melihat layar laptop yang ada di hadapannya, sebuah pesan masuk.
"Apa ini?" tanya Kayla.
Nadine mencoba melihat pesan yang muncul di laptop Kayla secara tiba-tiba itu. "Pesan darurat? Apakah seseorang sedang mencoba menipumu?"
"Aku juga dapat." sela Yurisa yang menunjukkan layar ponselnya.
Ponsel Nadine juga bergetar. Setelah ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, di layar juga tertulis pesan seperti itu.
Nadine mengedarkan pandangannya. Dan sepertinya seluruh orang yang berada di kafetaria juga menerima pesan itu di ponsel mereka masing-masing. Nadine pun memutuskan untuk membuka pesan mencurigakan tersebut, dengan harapan bahwa ini bukanlah sebuah upaya penipuan oleh seseorang yang benar-benar niat melakukannya.
"Himbauan dari pemerintah untuk tetap berada di dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Kelola bahan pangan sebaik mungkin dan jangan keluar sebelum mendapatkan arahan selanjutnya ... sebenarnya ada apa ini?"
"Hey, hal ini menjadi trending topic di mana-mana. Instagram, Twitter, Facebook ... Semua orang meng-upload pesan ini." tukas Yurisa dengan mulut penuh kentang goreng.
Kayla terdiam di kursinya sementara Nadine dan Yurisa masih sibuk denga layar ponsel mereka masing-masing.
Hal yang membuatnya terdiam adalah dari tempat ia duduk, Kayla bisa melihat di kejauhan ada seorang pria yang berdiam diri di bawah terik mata hari. Kayla tak bisa melihatnya dengan jelas siapa pria itu. Namun saat seorang mahasiswa berusaha berbicara dengannya, hal yang terjadi selanjutnya membuat semua orang panik.
Pria yang tadinya hanya berdiri diam di bawah terik mata hari itu mulai menyerang dan menggigit mahasiswa yang mencoba menghampirinya tadi.
Pandangan semua orang di kafetaria tertuju pada hal itu. Meski si mahasiswa yang sedang diserang itu berteriak kesakitan, namun semua orang masih diam mematung di tempat mereka masing-masing.
Keadaan benar-benar hening.
Hingga seseorang di kafetaria mulai berteriak. Dan teriakan itulah yang mengawali kepanikan seluruh kampus.
"Aaaaaaaaa!~ ... "
Nadine dan Yurisa berusaha mengemas kembali barang-barang mereka ke dalam tas secepat yang mereka bisa, sementara Kayla masih duduk terdiam di kursinya.
"Apakah ini sungguhan? Tidak mungkin, kan? Hal-hal seperti ini hanya ada di film-film, bukan?" terka Kayla di dalam benaknya. Ia masih tak bisa menerima kenyataan seperti ini.
Dengan kepanikan yang semakin memuncak, semua orang di kafetaria berusaha lari menjauh dari si pria yang menyerang mahasiswa itu.
"Kayla, apa yang kau lakukan?! Kemasi barang-barangmu, cepat!"
Mendengar teriakan dari Nadine membuat Kayla tersadar. Dengan secepat yang ia bisa, Kayla memasukkan kembali barang-barangnya ke dalam tasnya. Nadine pun menggenggam pergelangan tangan Kayla dan berlari masuk ke dalam gedung fakultas.
Meskipun ia masih tak yakin dengan apa yang sedang terjadi, namun sepertinya hal ini bukanlah sebuah kesiengan seseorang biasa.
Entah apakah aksi barusan merupakan sebuah prank yang direncanakan sedemikian rupa oleh orang-orang kreatif, atau benar-benar terjadi zombie apocalypse.
Yang terpenting, mereka harus menjauh sebisa mungkin untuk menghindari segala kemungkinan terburuk.
***
"Rea, kau di mana sekarang?"
"Aku masih di perpustakaan sekolah. Ada apa?"
"Bagaimana keadaan di sana?" tanya Kevan sembari berjalan menyusuri lorong gedung fakultas seni rupa. Beberapa kali ia bertabrakan bahu dengan orang-orang yang lari ke arah berlawanan.
"Keadaan? Memangnya ada apa?"
Kevan membuka pintu menuju ke luar gedung. Ia meneruskan langkahnya ke gedung pameran seni yang berada di ujung kampus. Tujuannya adalah untuk mengambil sesuatu yang mungkin bisa berguna baginya untuk bertahan hidup.
Mendengar respon dari Rea, Kevan dapat menyimpulkan bahwa di sekolahnya masih belum terjadi kerusuhan.
Jika memang begitu, maka Kevan bisa bernapas lega untuk sementara.
"Dengarkan aku baik-baik. Apa kau menerima pesan darurat di ponselmu?
"Ya, aku menerimanya, tapi langsung kuhapus karena sepertinya itu adalah upaya penipuan."
Kevan bisa mengerti jika Rea berpikiran logis. Awalnya dia juga berpikir seperti itu. Namun setelah melihat kepanikan yang terjadi, sepertinya ia harus membuang opini tersebut jauh-jauh.
"Begini. Pergilah ke-- ... Suara apa itu?"
Rea berbalik dan mendapati orang-orang di perpustakaan mulai berlarian keluar. Rea juga melangkahkan kakinya keluar dari ruang perpustakaan. Dan saat ini, ia tak bisa berkata apa-apa saat melihat keluar jendela di koridor lantai dua gedung sekolahnya itu.
"Kak Kevan ... Semua orang berlarian di halaman sekolah. Ada beberapa orang yang sedang mengerumuni seorang murid. Ada juga yang menyerang satpam sekolah. Ini—"
Kevan telah tiba di gedung pameran seni. Dan kini, ia menatap lurus ke arah sebuah katana yang berada di dalam kotak kaca. Itu adalah hasil kerajinan seni yang ia buat semester lalu. Kevan membuat sebuah katana bermodalkan rantai kapal yang sudah berkarat.
"Dengarkan aku baik-baik. Kau tahu kan kalau aku juga dulu bersekolah di situ? Jadi aku yakin aku bisa menuntunmu dengan benar."
Rea mengangguk, menunggu perintah dari Kevan.
"Pergilah ke lantai teratas gedung sekolahmu. Masuk ke pintu di belakang kamar mandi pria, dan naiki tangga menuju ke atap. Itu adalah tempatku biasa membolos kelas untuk merokok. Jangan lupa kunci pintu itu dari dalam dan kalau bisa halangi dengan apapun yang ada di sana."
Rea mendengarkan perkataan Kevan. Ia mulai melangkahkan kakinya menyusuri lorong dan pergi ke lantai teratas gedung sekolahnya. Setelah menaiki tangga di balik pintu yang disebutkan Kevan, Rea melakukan semua yang Kevan perintahkan.
Kini Rea berdiri di atap sekolah. Saat ia melihat ke bawah, suasana benar-benar kacau. Kecelakaan terjadi di mana-mana. Jalanan dipenuhi dengan kendaraan-kendaraan yang ditinggalkan oleh pengendaranya.
Suara klakson dan juga teriakan terdengar memenuhi udara.
Dan yang paling penting, hampir semua orang bertingkah aneh dan juga menyeramkan. Mereka menyerang orang lain, mengerumuni dan memakan sesama manusia. Orang-orang berkulit pucat yang bergerak dengan gerakan yang cukup kaku.
Rea pun jatuh terduduk setelah melihat semua itu.
"K-Kak Kevan ... Sebenarnya apa yang sedang terjadi?" tanya Rea dengan nada suara ketakutan.
"Mungkin sulit untukmu percaya hal ini. Aku juga sebenarnya tidak ingin memercayainya ... Kau ingat film tentang kiamat zombie yang pernah kita tonton beberapa minggu lalu?"
Rea menganggukkan kepalanya lagi.
"Hal konyol itu kini benar-benar terjadi di kehidupan nyata."
"Ja-jadi, apa yang harus kulakukan?"
"Tetaplah di sana. Aku akan datang menjemputmu ... Mungkin akan memakan waktu cukup lama. Tapi percayalah, kau berada di tempat paling aman sekarang. Kuatkan dirimu dan tunggu aku, oke?"
"Bagaimana caranya kau ke sini dengan semua kekacauan ini?"
"Aku juga tidak tahu. Intinya tetap di sana sampai aku datang."
Rea terdiam sejenak. Setelah mengambil napas dalam-dalam, ia pun berusaha memberanikan dirinya. "Ba-baiklah."
"Percayalah kepadaku."
"Iya ... Aku memercayaimu."
Setelah mendengar jawaban dari Rea, Kevan memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantung jaket. Ia mengambil tangki pemadam kebakaran untuk memecahkan kotak kaca tempat katana buatannya itu berada untuk dipajang di pameran.
Crassshhhh!~ ...
Kotak kaca itu pecah. Dengan kedua tangan, Kevan meraih katana berwarna hitam yang memiliki ukiran aksara kuno di sekujur tubuh katana itu.
Pedang ini adalah hasil karya buatan Kevan. Dan Kevan bersyukur pada saat itu ia membuat mata pedangnya sangat tajam meski tujuannya hanya untuk menjadi barang yang akan dipamerkan.
Brakkk!~ ...
Pintu tempat Kevan masuk tadi didobrak dengan sangat keras. Kevan berbalik dan mendapati tiga orang berkulit pucat dengan bercak darah tersebar hampir di seluruh tubuh mereka. Ketiga orang itu berjalan mendekat dengan langkah mereka yang cukup kaku.
Semakin lama, langkah mereka semakin cepat.
Hingga akhirnya mereka benar-benar berlari menerjang ke arah Kevan.
Kevan mulai memejamkan matanya dan mengambil napas yang dalam.
Ketiga orang itu semakin dekat.
Kevan pun membuka kedua matanya. Dengan sebuah katana berwarna hitam yang ia genggam di tangan kanannya, ia berlari menerjang ke arah tiga mayat hidup itu.
Mungkin Kevan memang tidak pernah mempelajari ilmu berpedang sebelumnya. Namun yang ia lakukan semuanya berdasarkan insting. Insting yang ia miliki sebagai seseorang yang selalu bertarung melawan orang-orang yang lebih kuat darinya demi menghasilkan uang untuk kelangsungan hidupnya sehari-hari.
Insting sebagai seorang kakak yang ingin segera menyelamatkan adik yang ia sayangi.
Insting sebagai seorang manusia yang ingin bertahan hidup.
"Grraaaawwwrrrr!~ ... "