Chereads / Catastrophic Temptation : Zombie Apocalypse / Chapter 10 - 10) Sosok Berhati Hangat

Chapter 10 - 10) Sosok Berhati Hangat

Kevan dan Kayla masuk ke mobil di mana Yurisa dan Nadine berada. Mereka duduk di kursi belakang.

Kayla menatap heran ke arah Nadine dan Yurisa dari kursi belakang, "Kenapa kalian diam saja?"

Nadine dan Yurisa pun berbalik. Mereka berdua telihat khawatir, meski hanya Yurisa saja yang memperlihatkan kekhawatirannya secara terang-terangan. Sedangkan Nadine, dia berusaha menyembunyikannya.

Namun Kevan bisa melihat tatapan penuh kekhawatiran dari mata Nadine, meski Kevan belum mengenalnya. Dengan pengalaman bertarung melawan lawan yang tak terhitung jumlahnya di ring pertarungan, Kevan bisa membaca sifat-sifat orang, meski masih secara kasar.

Yurisa memelas, "Huuu, kukira aku tak bisa bertemu lagi denganmu."

Kayla tersenyum ramah, "Tenang saja. Aku bisa selamat ... Maksudku, kita semua masih bisa hidup berkat Kak Kevan."

"Kak?" tanya Nadine.

Kayla mengangguk. "Tentu saja. Dia senior kita."

"Kapan kalian menjadi dekat?"

Mendengar pertanyaan Nadine membuat Kayla menatapnya malas. "Apakah sekarang saat yang tepat untuk menanyakan hal itu? Lagi pula, kita harus cepat pergi dari sini selagi para zombie itu teralihkan."

"Oh, kau benar."

Segera Nadine menyalakan mesin mobil, membuat suara cukup gaduh yang membuat para zombie kembali ke arah mereka. Dengan cepat Nadine melajukan sedan Civic RS bertransmisi otomatis itu pergi meninggalkan area kampus.

Dari kaca spion, Kayla bisa melihat bahwa ada zombie berukuran besar baru saja melompat keluar dari gedung seni rupa. Dengan perut yang berlubang dan tangan kiri yang telah hilang terpotong oleh katana hitam milik Kevan yang kini berada di tangan Kayla.

Kini mereka sudah berada di jalan raya besar.

"Aku tidak percaya tadi pagi aku masih menonton drama Korea-ku dengan tenang. Tak sampai tengah hari, dunia sudah berubah menjadi seperti ini." keluh Yurisa.

"Jadi, kita akan kemana?" tanya Nadine sembari membelokkan mobilnya di persimpangan jalan. Meski jalanan dipenuhi kendaraan-kendaraan yang tergeletak ditinggalkan oleh pemiliknya, namun masih bisa dilalui dengan cukup mudah.

Mendengar pertanyaan Nadine membuat Kayla menoleh ke arah Kevan. Kayla bisa melihat Kevan sedang memegang perutnya sendiri sembari bersandar dan menutup matanya. Dari raut wajah Kevan, Kayla sadar bahwa betapa kesakitannya sang penyelamat hidupnya itu.

Saat itulah Kayla terpikirkan dengan pesan Kevan kepadanya tadi.

"Kita akan pergi ke Sekolah Menengah Atas Merpati Putih."

Mendengar Kayla mengatakan hal itu membuat Kevan membuka matanya.

Nadine yang berada di kursi kemudi mengerutkan keningnya, "Untuk apa ke sana? Apa kau tak ingin menemui orangtuamu? Setidaknya untuk memastikan apakah mereka baik-baik saja?"

Orangtua Nadine dan Yurisa berada di kota yang berbeda saat ini. Jadi, mereka berpikir bahwa hanya orangtua Kayla yang bisa di andalkan. Terlebih dengan ayah Kayla yang merupakan seorang inspektur kepolisian.

"Adik Kak Kevan berada di sana. Kita harus menjemputnya."

Setelah Kayla mengatakan hal itu, Nadine pun merasa tak ingin protes. Karena memang Kevan lah yang menyelamatkan nyawa mereka.

Kevan menoleh ke arah Kayla tanpa mengatakan apapun. Kayla hanya tersenyum. Setelah melihat senyuman Kayla, Kevan pun kembali menyandarkan kepalanya pada kepala kursi dan menutup matanya.

Awalnya Kevan berpikir akan minta diturunkan di jalan dekat sekolah adiknya dan berjalan kaki ke sana jika Kayla dan teman-temannya ingin pergi ke tempat lain. Namun jika memang sudah diputuskan seperti ini, Kevan juga tak akan menolak.

Yang ada di pikiran Kevan saat ini hanyalah keselamatan Rea, adiknya yang sangat ia sayangi.

Nadine pun mengangguk. "Baiklah. Sekolah Menengah Atas Merpati Putih."

***

"Lalu, bagaimana cara kita ke sana? Apakah kita akan meledakkan motor lagi?" tanya Kayla yang melihat ke luar jendela mobil, di mana zombie memenuhi gerbang sekolah tempat Rea berada.

Gerbangnya memang terlihat tertutup rapat. Namun tak akan ada yang tahu apakah di dalam sekolah sudah terjadi kekacauan atau belum.

Dan di kondisi seperti ini, mereka memang harus mempertimbangkan kemungkinan terburuk terlebih dahulu.

Kayla, Yurisa dan Nadine terdiam.

Kevan membuka matanya dan mengambil katana hitamnya dari tangan Kayla. Keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya mendekat ke arah gerbang sekolah.

Kayla yang melihat hal itu pun ikut keluar dari mobil. "Tunggu di sini. Aku akan membantu Kak Kevan untuk menjemput adiknya."

Yurisa terlihat khawatir, namun ketakutan di saat yang bersamaan. "Apa kau yakin?"

"Tentu saja. Asal tak ada zombie setinggi lebih dari dua meter, sepertinya tidak akan terjadi masalah."

Nadine baru saja melepaskan sabuk pengamannya. "Kalau begitu, lebih baik kau yang tunggu di sini. Aku yang akan membantunya."

Kayla menggeleng, "Tidak. Kau--."

Nadine tak mendengarkan Kayla dan langsung keluar dari mobil, meninggalkan Kayla dan Yurisa sendirian.

Yurisa meraih pundak Kayla, "Sudahlah. Lagi pula, di antara kita bertiga, Nadine lah yang paling bisa bertarung."

Kayla terus memandangi punggung Kevan yang terus menjauh. Kayla bisa melihat Kevan memanjat pagar sekolah itu di bagian yang tak terdapat zombie. Nadine mengikuti langkah Kevan meski sedikit tertinggal.

Melihat hal itu, Kayla hanya bisa mengembuskan napas dan mengalah. Di satu sisi, ia ingin terus bersama Kevan. Ia ingin bisa lebih berguna bagi Kevan, lelaki yang menyelamatkan nyawanya. Namun di sisi lain, dia juga sadar bahwa di saat seperti ini, Nadine lah yang paling berguna bagi Kevan.

Yurisa tersenyum, "Bagaimana kalau kita pergi ke toko di belakang tadi. Siapa tahu kita bisa mendapatkan makanan. Setidaknya, kita akan berguna dengan cara itu."

Kayla mengerutkan keningnya, "Apa kau yakin? Bukannya tadi kau terlihat sangat ketakutan? Kau yakin akan baik-baik saja? Kau bisa menungguku di mobil jika memang kau tak sanggup."

"Tidak, aku akan baik-baik saja. Setidaknya, aku tak boleh menjadi beban bagi kalian." balas Yurisa dengan seluruh keteguhan hatinya.

Tentu saja Kayla tak akan menolak hal itu. Mereka berdua pun keluar dari mobil dan mulai berjalan dengan hati-hati menuju ke sebuah minimarket yang terletak tak terlalu jauh dari mobil mereka terparkir. Untungnya sinar mentari masih tersisa berkas-berkas cahaya keemasannya. Kalau tidak, mereka akan kesulitan untuk berjalan.

Karena itu juga mereka harus bergegas.

Berjalan di malam hari dengan tak tahu kapan dan dimana zombie akan menyerang mereka, adalah hal terburuk yang bisa terjadi.

***

Slashhh!~ ...

Dengan ayunan yang kuat, Kevan baru saja menebas zombie kelima yang ia temui. Nadine yang sedari tadi di belakang Kevan dengan pipa besi yang ia temukan di jalan, hanya bisa melihat kagum kepadanya.

Nadine kagum karena Kevan bisa tetap tenang di situasi yang sudah bisa dibilang seperti kiamat ini. Terlebih, Nadine juga bisa melihat betapa Kevan berusaha menahan rasa sakit yang saat ini ia rasakan.

Mereka terus berjalan hingga berada di ujung lorong lantai tiga gedung utama sekolah itu.

Hari mulai gelap. Sang mentari juga telah menarik berkas cahaya keemasan terakhirnya di langit. Suasana menjadi lebih menyeramkan. Namun ada satu yang Nadine sadari saat melihat ke luar jendela koridor lantai tiga gedung itu.

Saat tak ada cahaya, pergerakan zombie yang berkerumun di gerbang sekolah tadi menjadi terhenti.

Meski tak berhenti sepenuhnya, namun tingkat keagresifan mereka berkurang drastis.

Apakah zombie juga memiliki jam tidur atau semacamnya?

Brakkkk!~ ...

Nadine terlonjak kaget saat mendengar suara pintu yang didobrak di depannya. Dia mengira ada zombie yang tiba-tiba bersikap agresif. Namun ternyata suara itu berasal dari Kevan yang mendobrak sebuah pintu di ujung koridor.

Kevan masuk tanpa mengatakan apapun.

Nadine mengikutinya dan mendapati terdapat sebuah tangga. Dan pintu terakhir yang tertutup di ujung tangga itu.

Kevan mengeluarkan ponselnya, namun sepertinya ia baru menyadari bahwa ponselnya hancur di dalam sakunya. Mungkin akibat pertarungannya dengan zombie berukuran besar tadi.

Nadine menyadari bahwa Kevan membutuhkan ponsel, meski ia tak tahu untuk apa.

"Pakailah milikku." ucap Nadine sembari menyerahkan ponselnya pada Kevan.

Kevan menatap Nadine untuk sementara. Dan saat tatapan mereka bertemu, jantung Nadine berdegup cukup keras dalam sepersekian detik. Entah mengapa Nadine mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Kevan meraih ponsel dari tangan Nadine dan mulai menghubungi seseorang.

"Rea, ini aku. Bukalah pintunya."

Kevan mengembalikan ponsel Nadine. Setelah menunggu beberapa saat, suara meja dan kursi yang sedang digeser dari sisi lain pintu terdengar.

Clackkk~ ...

Pintu itu terbuka. Dan sedetik kemudian, seorang gadis menghambur ke arah Kevan dan memeluknya dengan sangat erat.

Kevan membawa gadis berseragam sekolah itu melewati pintu dengan gadis itu masih memeluknya erat.

Setelah Nadine melewati pintu itu, Nadine pun menutup kembali pintu tersebut.

"Maaf membuatmu menunggu lama."

Gadis itu terisak dalam pelukan Kevan. Masih tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Nadine bisa melihat bahwa gadis itu sangat ketakutan.

Kevan mengelus lembut kepala gadis yang masih menangis dalam pelukannya itu. "Kau melakukannya dengan baik."

Nadine hanya diam menyaksikan momen yang mengharukan itu.

Tak akan ada yang menyangka bahwa seorang Kevan Hanindra, mahasiswa yang paling ditakuti dan disegani di kampus, dengan seluruh rumor buruk tentangnya, penampilannya yang terlihat seperti pembunuh berdarah dingin, tak mengesampingkan wajahnya yang tampan dan tubuh atletisnya, adalah orang yang berhati lembut dan sangat menyayangi adiknya.

Jika Nadine tak melihatnya dengan mata kepala sendiri, tentu saja ia tak akan percaya bahwa Kevan adalah orang yang hangat dan penyayang.

Dalam hatinya, ia mengutuk dirinya sendiri. Karena Nadine merupakan salah satu dari sekian banyak yang percaya dengan rumor buruk tentang Kevan. Bahkan Nadine sempat melarang Kayla untuk berhubungan dengan Kevan, hanya berdasarkan rumor tak jelas yang ia percayai secara mentah-mentah.

Kevan adalah orang yang menyelamatkan nyawanya meski mereka tak saling mengenal satu sama lain.

Dan Nadine pernah meragukannya.

Kini Nadine merasa jijik dengan dirinya sendiri.

Kevan melepaskan pelukannya pada Rea. Membuang pedangnya ke lantai dan mengusap jejak air mata di pipi Rea. Mengecup kening Rea dengan lembut untuk menenangkannya lalu menatap kedua mata adiknya itu dalam-dalam. "Tenang, sudah ada aku di sini. Aku tak akan meninggalkanmu lagi. Sekarang, kita harus keluar dari sini. Kau mengerti?"

Rea menganggukkan kepalanya, masih sedikit terisak. Setelah melihat Rea sudah sedikit tenang, Kevan tersenyum hangat dan mengelus puncak kepala Rea dengan sayang. Ia meraih kembali katananya yang tergeletak di lantai dan berjalan lebih dulu kembali ke tangga tempat mereka datang tadi.

Nadine hanya diam mengikuti langkah Kevan. Ia merasa tak dianggap di sini, karena Kevan tak pernah mengajaknya bicara sedari awal. Namun Nadine tak akan mengeluhkan hal itu.

Ia ikut dengan Kevan menurut keinginannya sendiri.

Meski begitu, melihat cara Kevan memperlakukan Rea membuat hati Nadine merasa hangat. Nadine bisa melihat seberapa besar kasih sayang Kevan terhadap adiknya. Dan hal itu membuat Nadine berharap memiliki kakak laki-laki seperti Kevan.

Kevan.

Lelaki tampan yang terlihat menakutkan dan memiliki aura yang mengintimidasi siapapun yang melihatnya, ternyata adalah sosok berhati lembut yang sangat menyayangi adiknya.