Duakkk!~ ...
Tubuh Kevan terpental cukup jauh dan mendarat di lorong yang sudah dipenuhi oleh tubuh-tubuh zombie yang hancur tak berbentuk. Ia jatuh terjerembab tepat di antara zombie besar berukuran lebih dari dua meter yang sedari tadi ia lawan, dengan Kayla yang sedang berlari ke arahnya.
"Uhuk! ... " Kevan terbatuk memuntahkan darah segar dari mulutnya. Ia bisa merasakan beberapa tulang rusuknya mungkin sudah patah di dalam sana. Setiap tarikan napas yang ia lakukan, rasa sakit itu terus mencoba membunuhnya dari dalam.
Namun suara langkah kaki yang terdengar dari belakangnya membuat Kevan mencoba melihat siapa pemiliknya. Dan saat itu juga, Kevan tak bisa menahan ekspresinya.
Kedua matanya terbuka lebar. Seorang gadis yang sedari awal entah mengapa ingin ia selamatkan, gadis yang menjadi alasannya bertindak bodoh dan membahayakan nyawanya seperti ini, gadis itu malah berlari ke arahnya.
"K-Kayla? Sedang apa kau-- ... Kheukkk!~ ... "
Kevan kembali terbatuk dan darah segar keluar dari mulutnya.
Kayla berjongkok dan mencoba membantu Kevan berdiri. "Ayo, kita harus segera pergi dari sini!"
Kevan menoleh, dengan mulut masih berlumuran darah. "Apa kau gila?"
"Tidak, kau yang gila karena berpikir bisa mengalahkan makhluk besar itu sendirian!"
Mendengar apa yang Kayla katakan membuat Kevan merasa ingin tertawa. Namun rasa sakit yang ia rasakan di tubuhnya seakan menahannya untuk melakukan itu.
Dang~ ... Dang~ ...
Lantai tempat mereka berada bergetar, membuat Kevan dan Kayla menoleh ke arah di mana monster bertubuh besar itu berdiri. Zombie itu mendekati mereka dengan langkah perlahan, masih dengan senyuman yang menyeramkan di wajahnya.
Meski hanya memiliki satu tangan karena salah satunya telah berhasil dipotong oleh Kevan menggunakan katana hitamnya, namun zombie itu tak terlihat kesakitan sama sekali. Dia masih saja tersenyum dan mendekati mereka secara perlahan, seakan predator yang telah mengunci mangsanya.
Dan predator itu tahu bahwa mangsanya sudah tak berdaya.
Apakah zombie memang bisa merasakan kesenangan seperti itu?
Lagi pula, makhluk itu sudah tak bisa lagi disebut sebagai zombie biasa.
"Uhukkk~ ... "
Kayla terus berusaha membantu Kevan berdiri. Kini ia berhasil mengalungkan satu tangan Kevan di lehernya. Sedangkan katana hitam milik Kevan tergeletak beberapa langkah di depannya.
"Hey," ucap Kevan yang membuat Kayla menoleh. Tanpa sadar hidung mereka saling bersentuhan lantaran wajah mereka berdua yang saling berdekatan. "Aku tak tahu alasanmu membantuku. Tapi, terima kasih. Lebih baik sekarang kau pergi atau kita berdua yang akan mati."
Kayla memalingkan wajahnya dan menatap lurus ke arah zombie yang berjarak beberapa meter di hadapan mereka. "Aku juga tak tahu alasanmu ingin menyelamatkanku. Kau telah menyelamatkan hidupku dua kali. Pertama saat aku akan diperkosa oleh Lucas. Dan ini adalah yang kedua. Aku juga bukan orang tak tahu diri. Setidaknya, jika memang aku harus mati, aku akan mati sebagai orang yang berguna."
Kevan terdiam mendengarkan ucapan Kayla.
Jika dihitung, memang Kevan telah dua kali menyelamatkan hidup Kayla. Setelah mendengar apa yang Kayla katakan, Kevan tak bisa menahan senyumnya. Kayla, meski Kevan bisa dengan jelas melihat raut wajah penuh ketakutan dari gadis itu, namun Kayla tetap teguh pada apa yang ia ingin lakukan.
"Sepertinya kau memang bukan hanya seorang gadis yang cantik." ucap Kevan pelan yang membuat kedua mata Kayla terbelalak. Siapapun bisa melihat bahwa rona kemerahan mulai tercetak samar-samar di pipi Kayla.
"Baiklah. Terserah kau saja mau tetap di sini atau pergi." lanjut Kevan yang kini berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Kevan melangkah maju meninggalkan Kayla meski dengan seluruh rasa sakit yang ia derita.
Kayla terus melihat punggung Kevan yang berada beberapa langkah di hadapannya. Kevan mengambil pedang yang tergeletak di lantai dan menatap zombie bertubuh lebih dari dua meter itu dengan tajam.
Meski mereka berdua berada di situasi hidup dan mati, namun melihat punggung Kevan dari belakang membuat hati Kayla merasa nyaman. Jantung gadis itu berdegup lebih kencang dari biasanya.
"Orang ini ... mengorbankan hidupnya untuk diriku. Tapi ... apa alasannya? Kita bahkan tak saling mengenal ... Kenapa? ..."
Kayla terus menerka di kepalanya.
Alasan mengapa seorang Kevan ingin mati-matian melindunginya.
Tak ada yang masuk akal saat ini.
Kayla bisa melihat bahwa zombie itu semakin mempercepat langkahnya, menerjang ke arah Kevan.
"Sekolah Menengah Atas Merpati Putih. Atap gedung utama." ucap Kevan yang masih memegang katana hitamnya tanpa berbalik.
Kayla mengerutkan keningnya, "Huh?"
"Adikku, Andrea, ada di sana menungguku. Jika kau tak keberatan, aku ingin memintamu untuk menjemputnya. Meski yang dia tahu hanya belajar dan belajar, namun dia adalah anak yang manis dan penurut. Dia akan membantumu bertahan hidup dengan caranya sendiri. Kuharap kalian bisa akur."
"Apa? Tidak, kau adalah kakaknya. Seharusnya—"
"Graaaaaaawwwwrrrrrrr!~ ... "
Zombie itu meraung dengan keras saat Kayla berusaha menyelesaikan kata-katanya. Baik Kayla dan Kevan terdiam di tempat mereka.
Tiba-tiba zombie setinggi dua meter lebih itu berhenti, dengan sebuah tentakel yang menembus perutnya dari belakang. Zombie itu meraung kesakitan dan berusaha mengeluarkan tentakel itu.
Kevan dan Kayla bisa melihatnya, bahwa ada satu zombie lagi yang baru datang. Meski zombie itu memiliki tinggi badan yang setara dengan Kayla, namun dari mulutnya keluar tentakel yang berhasil menembus tubuh zombie raksasa.
"Graaaaaawwwwrrr!~ ... "
Dalam sekejap, kedua zombie itu saling bertarung.
Kayla masih terdiam di tempatnya, tak bisa menerima kenyataan yang sedang terjadi di hadapan matanya. Namun Kevan berbalik dan memandang ke arah Kayla dengan serius.
"Kenapa kau diam saja? Pergi dari sini!"
Kayla seakan baru tersadar dari lamunannya, "Lalu, bagaimana denganmu?"
Kevan kembali berbalik dan menguatkan genggamannya pada katana hitam yang ia pegang. "Aku akan memanfaatkan kesempatan ini untuk membunuh keduanya saat mereka kelelahan bertarung. Dengan begitu-- ... Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!"
Kayla menarik lengan Kevan dan berlari sekuat tenaga, menyeret Kevan menjauh dan pergi bersama dari tempat di mana kedua zombie yang memiliki bentuk abnormal itu sedang bertarung.
Yap. Mereka berdua akhirnya pergi dari sana.
Kevan bisa saja melepaskan tangan Kayla. Namun sesuatu di dalam hatinya membuatnya mengurungkan niatnya itu. Alhasil, ia hanya terus mengikuti Kayla.
Dalam hatinya, Kevan tertawa. Kayla. Gadis ini memang bukan sekedar gadis cantik biasa.
***
Kevan terus mengikuti langkah Kayla. Dan saat mereka telah keluar dari gedung itu, dari kejauhan mereka bisa melihat ada sebuah mobil yang sedang dikerumuni oleh beberapa zombie.
"Oh tidak!" ucap Kayla dengan nada terkejut.
"Apakah mereka teman-temanmu?" tanya Kevan yang mendapatkan anggukkan dari Kayla.
Nadine dan Yurisa terlihat berada di dalam mobil. Meski posisi mereka cukup aman untuk sekarang, namun tetap saja dengan jumlah zombie sebanyak itu, tak ada yang berani membuat keributan lebih dengan menyalakan mesin mobil.
Zombie-zombie itu hanya berkerumun namun masih belum menyerang.
Sepertinya Nadine dan Yurisa menarik perhatian beberapa zombie saat berusaha menyalakan mobil. Namun sebelum mereka berhasil menyalakan mesin mobil, para zombie sudah berkumpul di sekitar mereka.
Menurut Kevan, pilihan mereka berdua cukup tepat.
"Tenang saja. Para zombie itu belum berreaksi." ucap Kevan yang lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Tanpa mengatakan apapun Kevan berjalan mendekati sebuah sepeda motor yang tergeletak tak jauh dari tempat mereka berada. Kayla mengikutinya dari belakang sambil terus melirik ke arah Nadine dan Yurisa.
Kevan membuat sepeda motor itu berdiri dan membuka katup bensinnya.
"Pegang ini." ucap Kevan yang memberikan katana hitamnya kepada Kayla.
Kevan mengeluarkan sebatang rokok, mengapitnya di antara bibir atas dan bawahnya lalu menyalakan ujungnya menggunakan pemantik. Dengan perlahan, ia menghirup asap nikotin itu ke dalam saluran pernapasannya, dan mengembuskannya ke udara lepas.
"Apakah sekarang waktu yang tepat untuk merokok?" tanya Kayla yang tak mengerti dengan apa maksud Kevan melakukan hal itu.
Kevan menaruh batang rokok yang baru saja dihisapnya itu di pinggir katup tangki bahan bakar sepeda motor yang tadi ia buat berdiri, dan menarik lengan Kayla menjauh dari sana.
"Saat bara rokok terjatuh ke dalam tangkinya, motor itu akan meledak dan mengalihkan perhatian para zombie itu. Saat itu juga kita harus bergerak ke arah teman-temanmu."
Kini Kayla mengerti maksud Kevan.
Setelah mereka berjalan cukup jauh, Kevan tiba-tiba menarik Kayla mendekat dan mendekap tubuh Kayla dengan erat. Kayla yang tak siap dengan itu pun terbelalak. Itu sangat tiba-tiba. Tentu saja wajahnya tersipu malu. Namun Kevan tak menunjukkan ekspresi apapun saat memeluknya dengan begitu erat.
"Ke-kenapa kau-- ... "
Booooommmmmm!~ ...
Sepeda motor tadi meledak, dan para zombie mulai berlari ke arah ledakan itu.
Kevan melepaskan pelukannya pada tubuh Kayla dan berjalan lebih dulu ke arah Nadine dan Yurisa, sementara Kayla masih terdiam di tempatnya berdiri.
Gadis itu mengembuskan napas kesal. "Setidaknya peringatkan dulu sebelum melakukan itu. Apakah dia kira bisa seenaknya memeluk orang lain?"
Kevan menoleh, "Apa kau tak akan pergi?"
Kayla yang tadinya terlihat kesal tiba-tiba menundukkan kepalanya. Entah kenapa, jantungnya tak bisa bertahan saat ia bertatapan dengan Kevan. "Ti-tidak ... Aku akan pergi."
Dalam hati, Kayla terus mengeluh.
Kevan.
Lelaki itu buruk untuk kesehatan jantungnya.