Baik Kayla maupun Lucas dapat melihatnya. Di hadapan mereka berdua berdiri seorang lelaki yang memancarkan aura yang mencekam siapapun yang melihatnya. Tatapan matanya begitu tajam dan dingin, meski lelaki itu tak menunjukkan ekspresi apapun.
"Kevan? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lucas yang bangkit dari atas tubuh Kayla, dengan kedua lututnya masih menempel pada lantai.
Kevan Hanindra, mahasiswa jurusan Seni Rupa, senior tingkat kedua. Satu tingkat di atas Kayla, dan satu tingkat di bawah Lucas.
Namun dari awal, Lucas telah mengatakan bahwa Kevan adalah satu-satunya orang yang tak bisa ia kendalikan di kampus ini meskipun Lucas sendiri adalah ketua dari Badan Eksekutif Mahasiswa.
Kevan melirik ke arah Kayla yang masih berbaring di lantai. Kedua tangan gadis itu gemetaran dengan bibir yang mulai memucat.
"Pergilah, aku tak ada urusan dengan—"
Belum selesai Lucas dengan kata-katanya, sebuah tendangan yang sangat keras mendarat di wajahnya, membuatnya terkapar beberapa meter menjauh di lantai.
Duakkk!~ ...
Lucas menyeka darah segar yang mengalir dari hidungnya. Berkat tendangan yang sangat keras dari Kevan itu, Lucas bisa merasakan bahwa tulang pipi sebelah kirinya mungkin remuk. "Hey! Apa maksudmu—"
Tanpa ia sadari Kevan sudah berdiri di hadapannya yang masih terkapar di lantai.
Bukkk!~ ... "Kheuk! ... "
Kini kaki kanan Kevan menjejak leher Lucas dan menahannya dengan keras, membuat Lucas kesulitan untuk bernapas.
Tatapan mata yang tajam dari Kevan benar-benar membuat Lucas gemetar ketakutan saat melihatnya. Terlebih, alas sepatu kets Kevan masih berada di lehernya.
Kevan mendekatkan wajahnya ke arah Lucas, "Sekali lagi kau mengganggu tidurku, bersiaplah pulang tanpa kepala."
Dengan sisa keberanian yang ia miliki, Lucas menganggukkan kepalanya. Dengan begitu Kevan pun melepaskan leher Lucas dari injakan kakinya, membuat Lucas segera bangkit mengambil kausnya yang tergeletak di lantai dan berlari meninggalkan ruangan.
Kevan berbalik dan mendapati Kayla sudah berada di sudut ruangan, duduk bersandar di dinding sembari memeluk kedua kakinya. Dengan sekali lihat saja, Kevan tahu bahwa gadis itu masih ketakutan.
Mungkin bukan takut kepada Lucas, namun takut kepada dirinya.
Setelah menatap Kayla untuk beberapa saat, Kevan pun melangkahkan kakinya ke arah pintu.
"Tu-tunggu!"
Suara Kayla menghentikan langkahnya yang sudah akan meninggalkan ruangan itu.
"Te-terima ... Terima kasih."
Tanpa mengatakan apapun Kevan melanjutkan langkahnya meninggalkan Kayla sendirian di dalam ruangan itu dan menutup pintu dari luar. Setelah Punggung Kevan sudah tak terlihat lagi, air mata Kayla mulai mengalir deras.
Gadis itu benar-benar ketakutan dengan Lucas. Ia tak menyangka bahwa dirinya baru saja akan diperkosa oleh Lucas. Jika saja tak ada lelaki bernama Kevan tadi, mungkin kehidupannya akan hancur.
Meski Kayla juga tak bisa memungkiri bahwa Kevan memang terlihat sangat menakutkan dan mengintimidasi, namun anehnya ia merasa aman.
Dan Kayla juga mengakui bahwa Kevan memang sangat tampan.
"Hiks ... Hiks ... "
Kayla terus tersedu dalam tangisannya.
Kayla tak tahu bahwa Kevan masih berada di sana. Lelaki itu bersandar di daun pintu sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.
Beberapa orang senior berjalan mendekati ruangan itu. "Kevan? Apa yang kau lakukan di sini? Bisakah kau menyingkir? Kami ingin mengambil—"
Kevan menatap mereka dengan tatapan dingin yang bahkan membuat mereka bertiga gemetaran. Tanpa mengatakan apapun lagi, ketiga senior tingkat ketiga yang tadinya ingin mengambil baeberapa barang di gudang pun berbalik pergi.
Ya.
Kevan mencegah mereka bertiga masuk ke dalam ruangan di mana Kayla masih menangis tersedu-sedu. Entah mengapa, Kevan merasa ingin melindungi gadis rapuh yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya.
Kevan kembali memejamkan matanya. Masih bersandar pada daun pintu ruangan gudang itu. Secara samar-samar, ia bisa mendengar suara tangisan Kayla. Dan suara itu membuat hatinya sakit.
"Apakah ini adalah bentuk simpati? Sejak kapan aku bersimpati kepada orang lain?" terka Kevan dalam benaknya. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa ia ingin melindungi orang asing seperti Kayla.
Di malam yang dingin dan sunyi itu, Kevan terus menjaga pintu itu tanpa diketahui oleh Kayla. Hingga ia tak lagi mendengar suara tangisan, di situlah Kevan melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu.
***
"Apa?! Dasar bajingan! Akan kucabik-cabik kemaluannya!" teriak Yurisa yang lalu bangkit dari ranjang dan berjalan ke arah pintu dengan langkah penuh amarah.
"Mau ke mana kau?" tanya Nadine yang membuat Yurisa berbalik dan memelototinya.
"Tentu saja aku akan memberikan Lucas pelajaran! Apa kau tidak peduli dengan Kayla?"
Nadine yang masih memeluk Kayla hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Memangnya kau bisa melakukan itu?"
"Aku akan melaporkan—"
"Melaporkannya ke polisi? Apakah kau memiliki bukti? Kau sendiri pasti tahu bahwa kata-kata saja tak mungkin bisa berbuat apa-apa di hadapan polisi."
Yurisa menyadari hal itu. Akhirnya ia memilih untuk kembali duduk di ranjang dan mengelus-elus kaki Kayla dengan lembut.
Nadine menepuk-nepuk bahu Kayla yang masih berada di dalam pelukannya. "Lalu, bagaimana kau bisa lolos dari Lucas?"
Kayla menatap ke bawah, "Ada seorang lagi di dalam ruangan itu."
"Seseorang? Siapa itu?" tanya Yurisa penasaran.
Kayla menggelengkan kepalanya. "Entahlah. Sepertinya lelaki itu sudah berada di sana lebih dulu dari aku dan Lucas. Tidak ada yang menyadari keberadaannya, karena dia berbaring di atas sofa di pojok ruangan yang tak terkena sinar lampu."
"Lalu, lelaki itu menyelamatkanmu?" kini Nadine yang bertanya.
Kayla terdiam sejenak. "Aku tak tahu apakah dia memang menyelamatkanku atau tidak."
"Maksudmu?"
"Lelaki memang menghajar Lucas dan membuat Lucas lari ketakutan. Tapi, dia melakukan itu bukan untuk menyelamatkanku. Dia melakukannya karena kesal."
"Kesal? Maksudmu, dia memiliki dendam pribadi dengan Lucas? Apakah mereka berdua musuh bebuyutan?"
Kayla kembali menggelengkan kepalanya. "Tidak. Dia kesal karena ada yang mengganggu tidurnya."
Mendengar jawaban dari Kayla membuat Nadine dan Yurisa saling beradu pandang selama beberapa saat, sebelum akhirnya mereka berdua tak bisa menahan tawa mereka.
"Hahaha ... "
Kayla menatap aneh ke arah Yurisa dan Nadine. "Apakah menurut kalian hal ini lucu?"
Nadine menepuk-nepuk bahu Kayla dengan lembut. "Maafkan kami. Kami hanya tak menyangka bahwa lelaki yang menyelamatkanmu hanyalah orang aneh yang bahkan akan menghajar seseorang karena tidurnya yang terganggu. Tapi, orang aneh itu tak berbuat macam-macam denganmu, kan?"
"Jangan menyebutnya orang aneh." balas Kayla yang entah mengapa terlihat sangat serius, seakan Kayla tak ingin kedua sahabatnya ini menyebut lelaki yang telah menyelamatkannya itu sebagai orang aneh. "Biar bagaimanapun, dia telah menyelamatkanku."
"Haha, baiklah. Aku minta maaf." ucap Nadine berusaha menenangkan Kayla. "Lalu, apa kau tahu siapa orang itu? Sepertinya aku dan Yurisa harus bertemu dengannya untuk berterimakasih karena telah menolongmu ... meski dia tak bermaksud untuk menolongmu sekalipun."
"Orang itu ... Sebelumnya Lucas pernah menceritakan tentang orang itu. Lucas mengatakan bahwa dia adalah satu-satunya orang yang tak bisa ia kendalikan di kampus ini."
Yurisa mengerutkan keningnya mendengar apa yang Kayla katakan. "Apakah orang seperti itu benar-benar ada? Maksudku, bukannya Lucas adalah ketua Badan Eksekutif Mahasiswa?"
"Begitulah. Lelaki itu memiliki tato bunga mawar hitam di leher kirinya."
Nadine teridam mendengar perkataan Kayla, sementara Yurisa masih terus memperhatikan.
Kayla menyadari tingkat Nadine yang tiba-tiba menjadi aneh. "Nadine? Ada apa?"
"Tato bunga mawar hitam di leher kirinya? Apa kau tahu siapa namanya?"
"Mmm ... Kalau aku tak salah ingat, Lucas memanggilnya Kevan."
Setetes keringat dingin mengalir dari dahi Nadine. Kayla dan Yurisa juga menyadari bahwa Nadine terlihat sangat terkejut.
"Hey, ada apa?" tanya Yurisa pada Nadine. "Apa kau mengenalnya?"
Nadine terdiam sejenak sebelum ia mulai mengatakan hal yang bahkan membuat Kayla dan Yurisa terkejut setengah mati.
"Risa, apa kau ingat tiga bulan lalu kakakku, Richard, membawaku ke sebuah kelab malam untuk merayakan kelulusanku? Alasan mengapa kakakku mengajakku pada hari itu adalah karena di hari itu akan diadakan acara khusus yang berlangsung sekali dalam seminggu. Ada sebuah panggung di tengah-tengah ruangan, dan orang-orang mulai memasang taruhan."
Kayla dan Yurisa masih mendengarkan Nadine dengan perhatian penuh.
"Ingat saat kuceritakan ada orang yang tiga belas kali bertarung dan mengalahkan semua lawannya di sana? Bahkan dia tersenyum lebar selama pertarungan."
Yurisa mencoba menerka, "Mmm, biar kuingat. Lelaki tampan dengan tato bunga mawar hitam di leher kirinya ... tunggu ... Apa?!"
Nadine menatap Kayla dengan serius. "Sebisa mungkin, jangan pernah berurusan dengannya. Kau dengar aku, kan? Jika kau bertemu dengannya lagi, kau harus lari menjauh."
Kayla mengerutkan keningnya, "Kenapa aku harus melakukan itu? Dia adalah penyelamatku."
"Kayla! Apa kau masih tak mengerti? Dia adalah orang yang tersenyum lebar di dalam pertarungan yang sangat brutal. Dia adalah psikopat! Jika kau masih menganggapku sebagai sahabatmu, dengarkanlah apa yang kukatakan. Ini demi kebaikanmu."
Yurisa juga mengangguk-anggukan kepalanya mengiyakan apa yang Nadine katakan.
Mungkin Kayla tak mengatakan apapun setelah itu. Namun di dalam hatinya, ia tak ingin percaya bahwa lelaki yang menyelamatkan hidupnya itu adalah orang yang berbahaya.
Biar bagaimanapun, Kevan adalah lelaki yang menyelamatkan hidup Kayla.