TAHUN 505 - RUMANIA
Awan hitam bergerak cepat di langit luas berwarna arang tanpa satu pun bintang yang berkedip. Benda kecil yang biasanya berkerlip indah itu seolah sedang bersembunyi dari amukan guntur dan petir yang terus berlomba saling bersahutan. Angin kencang berhembus menerbangkan daun-daun beraroma busuk, pohon-pohon bergoyang hebat menanti badai yang bisa datang kapan saja dan bau tanah yang lembab terasa menusuk indera penciuman.
Desa kecil itu terdengar sepi, suara binatang malam yang biasanya melolong bahkan tidak sekali pun tak terdengar. Tidak ada lagi gelak tawa atau jeritan suara gembira apalagi nyanyian riang penuh semangat yang terdengar. Tidak ada lagi cahaya hangat dan asap yang mengepul dari atas cerobong di setiap rumah yang sepertinya ditinggalkan begitu saja oleh penghuninya. Wabah mengerikan dan bisikan tentang kutukan itu membuat semua orang ketakutan dan memilih mengungsi, kecuali beberapa keluarga yang masih bertahan karena tidak punya pilihan lain.
"Bau kematian terasa dimana-mana! Ini akan semakin buruk nantinya." gumam Cassey Jefferson pelan, sepasang mata gelap wanita cantik itu memandang langit yang dipenuhi kilat dengan sorot aneh. "Setelah Hero sadar kita harus pergi!" putus wanita yang mengenakan gaun panjang berwarna ungu dengan mofif tulisan aksara latin itu saat berbalik dan menatap suami dan juga putra ketiganya, Micky.
Pria bertubuh kekar dengan rambut panjang dan mata keras yang sedang mengasah golok tajam pada sebuah batu dekat perapian itu membalas tatapan penuh makna wanita yang selama ini selalu menemaninya dalam segala situasi. Wanita hebat yang baru saja melakukan hal yang mungkin akan mereka sesali suatu saat nanti. "Aku akan mengurus semuanya, Cassey. Tidak akan terjadi apapun, kita akan selalu bersama selamanya dan akan kupastikan tidak ada penyesalan!" sahut Andrew tegas. Mata hitam kepala keluarga Jefferson itu terlihat penuh tekad yang bahkan tidak akan tergoyahkan.
"Kapan Hero akan bangun, mother?" Micky yang sejak tadi mengamati sang ibu bisa menebak kenapa mereka harus segera pergi. Ini bukan lagi karena wabah mematikan itu tapi lebih karena mereka sekarang bukanlah mereka yang dulu.
Keluarga Jefferson yang sekarang membutuhkan darah segar untuk memuaskan dahaga dan rasa lapar mereka! Desa kecil ini bukan lagi tempat yang tepat!
Dengan langkah tak bersuara Cassey menghampiri tempat Micky sedang duduk dengan sebuah buku dipangkuannya. Putra ketiganya memang selalu suka membaca dan berhati lembut. Apa yang terjadi pada mereka sekarang memang bukanlah kondisi yang lazim dan butuh keberanian untuk menerimanya, Cassey sangat mengerti hal itu. "Dia akan bangun sebelum purnama yang kedua!" Dengan lembut tangannya mengusap sayang kepala pria muda yang terlihat ragu itu, Cassey bisa membaca rasa takut yang seolah membungkus putra ketiganya seperti kulit kedua.
"Jangan pernah takut untuk menjadi kau yang baru, Dear. Hadapi itu dengan semua keberanian dan keyakinan karena jalan ini yang membuatmu bisa selalu bersama dengan semua saudaramu! Dan, sampai kapan pun, jangan pernah lupa jika aku melakukan semua ini karena rasa cintaku pada kalian."
"Apa maksudmu, mother..." Akhirnya Micky menelan pertanyaannya dan memilih memeluk erat wanita cantik yang sudah melahirkannya. "Aku tidak akan pernah lupa." Gumamnya lirih namun penuh tekad saat membalas remasan kuat jemari ibunya yang terlihat rapuh.
Dengan mudah Cassey menangkap sorot heran dari mata putra ketiganya. Wanita yang selalu menguarkan aura mistis dari seluruh tubuh rampingnya itu hanya tersenyum kecil tanpa menjelaskan apapun. "Sekarang pergilah ke hutan, cari dan bawa pulang Xiah dan Max. Aku tidak mau mereka melakukan sesuatu yang mencolok!" Senyum tipis terlukis dibibir Cassey saat memberikan perintah itu.
Sambil menyembunyikan kebingungannya Micky berdiri dan melakukan perintah wanita yang selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk mereka. 'Kenapa mother bisa tahu aku sedang sangat takut? Aku bahkan tidak berani melihat Mrs. Kieren yang tinggal di gubuk sebelah. Sekarang kami ini predator paling mengerikan, bahkan lebih dari wabah itu!', erang pria muda bermata teduh itu dalam hati sebelum menghilang secepat kilat dari hadapan Cassey yang sedang menatap tajam pada suaminya.
"Jika terus seperti itu, Micky tidak akan bisa bertahan." Seru Andrew telak.
.
.
Semua berjalan pelan dan terasa menegangkan terutama untuk Niklaus yang merasa waktu seperti berhenti bergerak sejak Hero terbaring tidur. Sekarang pagi dan malam terasa sama baginya. Yang dilakukannya sepanjang hari hanya duduk disamping ranjang dan menunggu mata indah Hero yang masih tertutup rapat, terbuka. Sementara tangannya tanpa lelah meremas jemari lentik saudaranya yang tak bergerak sedikit pun. Kadang Niklaus takut jika apa yang dilakukan Cassey pada mereka, tidak berhasil untuk Hero, terlebih saat dia merasa tubuh saudara yang paling disayanginya ini semakin kaku dan sedingin es.
Setiap detik yang dilewatkan pria muda berwajah maskulin itu untuk memandang wajah rupawan saudaranya terasa seperti puluhan tahun. Ketakutan yang memenuhi dirinya membuat Niklaus mengutuk keras nasib buruk adiknya. "Kapan kau bangun? Aku sedang menunggumu, my lovely brother. Apa kau berencana membiarkanku sendirian menghadapi semua kegilaan ini?" bisik Niklaus yang tidak pernah melepaskan pandangannya dari Hero sekejab pun.
Mungkin terdengar aneh dan berlebihan, tapi itulah yang dirasakan pria bertubuh tinggi besar itu. Dia merasa dunia ini sangatlah tidak adil! Kenapa Hero yang harus mengalami penderitaan ini? Kenapa bukan orang lain? Niklaus bahkan sudah sampai pada tahap dia tidak peduli jika semua orang mati, asalkan Hero hidup dan bisa tersenyum lagi padanya!
KRIEEETTT...
Suara langkah kaki yang familiar itu sedikit mengalihkan perhatian Niklaus yang langsung menatap kearah pintu yang baru terbuka. Menatap datar sang ibu yang sudah berdiri dihadapannya dengan senyum tipis. Setelah yang ritual menakutkan malam itu, sekarang dengan mudah dia bisa merasakan kehadiran ketiga saudaranya. Bahkan bisa mencium bau mereka yang sedang berburu dihutan. Kemampuan baru ini seperti anugrah sekaligus kutukan bagi Niklaus karena dia juga bisa mencium aroma ketakutan Micky yang mulai membuatnya kesal.
"Dia akan sadar sebelum purnama. Kau hanya perlu menunggu dengan sabar."
Suara lembut yang diikuti remasan kuat dibahunya sontak menghentikan lamunan Niklaus tentang tahun-tahun yang telah dilewatinya bersama Hero di hutan gelap yang selalu menjadi tempat mereka melarikan diri dari kemarahan Andrew, atau pun dari kejahilan ketiga saudara mereka yang lain.
"Aku takut dia tidak akan membuka matanya lagi, mother..."
Kepala berambut hitam sebahu yang hanya diikat dengan seutas tali itu bersandar lelah pada bahu ramping Cassey yang refleks membelainya seperti saat Niklaus masih kecil dan menangis keras karena Hero deman tinggi dan terus mengigau dalam tidurnya. Cassey selalu tahu ada ikatan yang lebih dari sekedar pertalian darah diantara kedua putranya ini. Ikatan mengerikan yang mungkin akan mengubah Niklaus menjadi monster paling kejam jika Hero tidak segera membuka matanya.
"Kau lapar! Pergilah mencari makanan dan mother yang akan menjaganya sebentar." desak Cassey yang tahu putra sulungnya ini belum makan sejak transformasi itu, dia tidak tahu kekuatan apa yang membuat Niklaus sanggup menahan rasa lapar dan dahaga itu.
Mengabaikan rasa lapar yang terus menjerit dikepalanya dan hampir meruntuhkan semua pengendalian dirinya Niklaus menolak perintah Cassey itu. "Aku masih bisa menahannya, lagipula lapar tidak akan bisa membunuhku lagi. Aku hanya ingin ada disini saat Hero bangun, aku tidak mau dia ketakutan, mother." seru Niklaus keras kepala saat dilihatnya Cassey akan menasehatinya lagi.
"Tapi, katakan padaku apa yang akan terjadi nanti pada Hero? Apa dia akan..."
Niklaus menghentikan kata-kata yang telah sampai diujung lidahnya, menggelengkan kuat kepalanya dan mengetatkan rahangnya. "Tidak, jangan katakan apapun, mother!" Larang pria muda itu dengan ekspresi yang menajam. "Aku tidak peduli Hero akan seperti apa! Yang terpenting dia selalu bersamaku. Menjadi milikku, hanya itu!" desis Niklaus tegas, penuh keyakinan.
Cassey Jefferson, wanita yang sudah melahirkan 5 putra paling membanggakan itu tersenyum sendu. Dia tahu apa yang dilakukannya memang telah mengubah bukan saja putranya tapi juga takdir dan hidup mereka. Malam perubahan itu masih melekat jelas dalam benaknya, melihat Max yang menggigil hebat dan berteriak seperti hewan liar yang terluka. Micky yang hampir menghancurkan rumah kecil mereka karena merasa kepalanya hampir pecah oleh suara-suara aneh serta Xiah yang menangis kencang meminta minum karena rasa terbakar di kerongkongannya.
Dan, semua memory akan terulang dan menjadi lebih buruk saat Hero bangun nanti!
"Tentu saja kita semua akan tetap menyayangi Hero seperti apapun dia nanti! Tidak ada yang akan berubah. Always and forever!" bisik Cassey tegas seraya meremas kuat tangan kasar Niklaus lagi, merapalkan mantra sederhana untuk menenangkan ketakutan dihati putra kebanggaannya.
.
.
Malam itu ditengah hujan badai yang membuat suara angin terdengar seperti amukan posaidon yang meraung-raung tanpa henti. Jemari lentik itu bergerak pelan sedangkan sepasang mata indah yang tadinya masih tertutup rapat perlahan terbuka lebar dan memperlihatkan bola mata sewarna darah yang bergerak liar. Namun, jeritan kuat yang terdengar menggerikan itulah yang membuat pria bertubuh kekar yang sedang membuka pintu kamar itu langsung bergegas menghampiri ranjang tempat sosok seindah malaikat yang sudah terduduk dengan gerakan kilat.
"Arrrggghhh...PANAS!!!"
"Kau bangun! Motherrrrrr! Hero bangun!" teriak Niklaus keras sambil tergesa memeluk kuat tubuh ramping Hero yang terus bergerak liar, memberontak untuk melepaskan diri dari pelukannya dengan tatapan mata nyalang, seperti tidak mengenalinya.
Jari-jari Hero yang menajam bahkan dengan kasar melukai lengan Niklaus yang sedang menahannya tetap di ranjang. Cassey sudah berulang kali berpesan untuk tidak membiarkan Hero lepas karena itu akan berbahaya. Niklaus tahu adiknya ini pasti terbangun dengan rasa lapar dan dahaga yang membakar seluruh pikirannya. Insting yang mengikuti nalurinya akan membuat Hero semakin beringas, kata Cassey beberapa hari yang lalu.
"Mother!!" teriak Niklaus lagi, lupa jika sekarang pendengaran orang-orang yang tinggal bersamanya telah berubah. Mereka pasti bisa mendengarnya, bahkan jika dia hanya berbisik pelan.
"Lepaskan!!!"
"Haus! SAKITTTT!!!"
"Aku mau minum! Berikan aku minum! ARGGGHHHHH....."
Jeritan liar Hero terdengar keras diantara rontaan hebat dirinya yang terus berusaha melepaskan diri dari cengkraman sekuat besi yang membelenggu tubuhnya. Rasa terbakar ditenggorokannya terus mendera hingga sekujur tubuhnya menggigil hebat. "Ini aku! Kau lupa padaku, Hero? Ini Nik! Aku saudaramu, dear. Tenanglah!" seru Niklaus kuat diantara amukan hebat Hero yang sepertinya tidak mendengar sedikit pun suaranya.
"Kami sudah disini, tenanglah putraku. Jangan sampai dia lepas, Niklaus!" titah Cassey tegas pada putra tertuanya sebelum beralih untuk menatap lembut putra kesayangannya yang terlihat kesakitan dan marah. "Ini mother, kau lupa padaku, Hero?" Suara lembut Cassey yang sudah berada diantara mereka berusaha ikut menenangkan Hero yang sepertinya sedang memasuki masa transformasinya.
Mulut wanita cantik itu tidak berhenti merapalkan mantra yang sepertinya tidak terlalu berguna karena Hero terus saja bergerak liar dalam dekapan putra tunggalnya. "Xiah! Bawa kesini cawan itu!" serunya keras tanpa melepaskan tatapan matanya dari sepasang mata merah sang putra yang seperti punya kekuatan seekor banteng karena lihat saja, Niklaus harus berusaha kuat memeluk saudaranya itu.
Kelebatan angin terasa oleh Niklaus dan tiba-tiba saja dihadapan telah berdiri Xiah yang berusaha meminumkan isi cawan yang dengan mudah bisa Niklaus tebak apa itu. Hanya dengan mencium sekilas aromanya, perut Niklaus sendiri juga meronta dan menjeritkan rasa lapar yang sudah ditahannya selama beberapa hari. Putra sulung keluarga Jefferson itu memutuskan untuk mengalihkan rasa laparnya itu dengan focus pada apa yang sedang terjadi pada saudara tercintanya.
"Tenanglah, dear. Aku bersamamu..." bisiknya lembut sambil terus mengusap penuh sayang rambut panjang Hero yang kusut masai.
Hero minum dengan berantakan, warna merah darah yang diteguknya rakus mengotori baju dan juga selimut yang teronggok tak berdaya disekeliling tubuhnya. Tangannya yang berjari lentik itu mencengkram kuat lengan Xiah yang sedang memegang cawan berisi darah binatang yang sudah mereka siapkan. "Lapar! Aku mau lagi! Berikan lagi padaku!" jerit putra kedua keluarga Jefferson itu keras dan memberontak hebat lagi dalam pelukan Niklaus yang mulai sedikit kewalahan.
"Cepat pergi dan cari lagi darah segar untuk Hero! Dia membutuhkan lebih banyak daripada kalian!" perintah Cassey dingin pada Max dan Micky yang sedang berdiri mematung diambang pintu. Mata kedua putranya itu terlihat dipenuhi sorot ketakutan. Malam itu keduanya bertransformasi bersamaan, jadi ini pertama kalinya mereka melihat proses mengerikan itu berlangsung.
"ARGHHH!"
Niklaus yang tiba-tiba menjerit kesakitan membuat Cassey yang sedang merapalkan beberapa mantra melihat pada putra sulungnya itu. Tangan berkulit tan itu tampak sudah dipenuhi darah dengan bekas taring Hero yang terlihat jelas. "Kita membutuhkan sesuatu yang lebih dari darah binatang, mother." Suara datar Niklaus itu membuat Xiah yang berdiri disudut kamar terkesiap pelan, selama ini mereka hanya mengisap darah dari hewan liar di hutan.
Andrew Jefferson yang juga melihat semua yang sedang terjadi dalam kamar sempit itu segera meraih golok panjang miliknya. Dia tidak suka dan tidak mau melihat salah satu putranya kesakitan. "Aku yang akan mencari makanan untuk Hero! Micky, ikut aku dan Max, pastikan tidak ada yang mendekati rumah kita!" desisnya tajam sebelum menghilang cepat dari rumah sederhana itu.