Chereads / CURSE of BLOOD / Chapter 4 - With My Pleasure, My Lord

Chapter 4 - With My Pleasure, My Lord

TAHUN 510 – SOUTH WEST ENGLAND

Kehidupan tidak akan pernah berjalan sesuai dengan keinginan kita sebaik apapun kita merencanakannya. Halangan dan rintangan itu seolah ada di setiap sudut dimana kita akan berbelok dan berharap menemukan cahaya indah yang akan menerangi jalan sekaligus menyejukkan hati. Wabah mengerikan yang diramalkan Cassey Jefferson telah terjadi dan menghancurkan sebagian besar Eropa. Banyak sekali orang yang kehilangan keluarga dan harta benda. Wabah aneh itu memunculkan spesies baru peminum darah bermata merah yang takut pada sinar matahari dan dengan emosi yang tak terkendali, seolah lupa siapa diri mereka sebelumnya.

Situasi kacau dan mencekam terjadi dimana pun, orang-orang mati ataupun terjangkiti oleh wabah mengerikan yang menyebabkan mereka tidak mampu lagi untuk bersosialisasi dan harus bersembunyi dalam ceruk-ceruk kotor dan gelap. Rasa lapar dan haus akan darah yang ditimbulkan wabah itu menumpulkan semua indera orang yang terinfeksi, kecuali insting binatang mereka untuk bertahan hidup.

"Kejar dia! Tembak saja kepalanya dan bakar!"

Beberapa pria berpakaian hitam dengan tombak dan pisau panjang di tangan tampak sedang mengepung sesosok tubuh yang terlihat begitu mengenaskan dengan baju kotor, wajah kuyu dan mata merah yang terlihat tidak focus dengan penuh dendam dan nafsu membunuh yang terlihat jelas dari ekspresi keras di wajah mereka.

"Jangan biarkan setan itu lolos! Dia sudah menggigit saudaraku! Bunuh dia!"

"Kita harus membasmi semua orang yang terkena wabah aneh itu!"

Senyum aneh dan mengerikan muncul dari bibir pucat pria kurus kering yang terlihat seperti mayat hidup. Mulutnya juga terus mengeluarkan raungan-raungan aneh sejak perburuan padanya dimulai. Tiba-tiba saja pria itu melompat dan langsung menerjang salah satu pria yang sedang memegang tombak panjang dengan ganas dan brutal. "Ggrrrrrr...Darah! Aku mau darah! Berikan aku darah! Gggrrrr..." pekik pria berwajah kuyu itu dengan suara parau yang seperti tercekik.

Bola matanya yang semerah darah terlihat kosong sedangkan taring tajam dimulutnya terus mengeluarkan liur berbau asam! Aroma kematian pekat seperti menyelimuti seluruh tubuh pria yang bergerak kaku itu.

"Tusuk dia! Cepat! Jangan sampai dia menggigitmu!"

Seruan kasar penuh ketakutan itu membuat pria yang memegang tombaknya erat itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman kuat pria yang sudah terinfeksi itu. Tanpa ragu dia langsung menghunuskan senjatanya pada setiap bagian tubuh penyerangnya dengan membabi buta. Walau sepertinya pria bermata merah tersebut tidak merasakan sakit dan malas balas menyerangnya dengan kecepatan mengerikan.

"PENGGAL KEPALANYA!"

"BAKAR DIA SAJA!"

SYUTTTTTT!!!

PLUKKKK.......

Sedetik yang lalu pria bermata merah itu masih berusaha menggigit si pemegang tombak dengan taring tajam yang mengerikan itu dan sekarang kepalanya telah menggelinding ke sudut kotor gang tempat mereka menjebaknya. Tubuh tanpa kepala itu terjatuh dengan bunyi keras dan tak menunggu lama, langsung dibakar oleh para pria yang sudah bersorak senang itu.

"Mereka membunuhnya sesuai dengan perintahmu, brother! Aku sangat suka melihat api yang sedang berkobar itu!" Sepasang mata bulat itu berbinar senang melihat pembantaian yang terjadi dibawahnya sambil menyandarkan kepalanya pada lekuk leher pria berwajah aristokrat disampingnya.

Pria bertubuh tinggi besar dengan mantel panjang yang juga sedang melihat ke arah gang gelap itu merangkul ringan bahu ramping saudaranya seraya menyeringai kecil. "Bukankah hanya boleh ada kita? Yang lain harus dilenyapkan sebelum mereka semakin bertambah banyak dan kuat!" Suaranya terdengar dingin dan datar, tidak ada sedikit pun kelembutan dalam sorot matanya yang menajam.

"Harusnya kita menunggu mama menemukan obatnya. Kalian memang kejam!" desis pria muda yang paling jangkung diantara mereka bertiga sebelum berbalik, melompat tinggi dan menghilang ditengah kegelapan malam.

.

.

5 tahun setelah malam penuh kenangan dimana Hero bangun dengan teriakan penuh kesakitan dan ketakutan karena dia bukan lagi dia yang sebelumnya. Ketakutan putra kesayangannya itu mendorong Cassey dan Andrew memutuskan, mereka harus pergi sejauh mungkin dari tempat asal mereka. Terlebih wabah itu sudah membuat semua orang mati mengenaskan ataupun menjadi gila karena perburuan brutal yang dilakukan besar-besaran.

Semua dimulai lagi dari awal dan sangat berbeda dengan kehidupan mereka sebelumnya di desa kecil Rumania. Kali ini mereka harus berbaur sekaligus menahan dahaga akan darah karena menurut Cassey, itu adalah hal yang wajar di tahun-tahun awal. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, melalui berbagai pengalaman yang akhirnya semakin menguatkan ikatan persaudaraan mereka.

Sampai pada suatu hari, Andrew Jefferson yang baru kembali dari berburu memutuskan jika pedesaan Inggris merupakan tempat yang tepat untuk memulai hidup baru mereka dan menetap untuk sementara. Hampir semua anggota keluarga menyetujuinya, kecuali Hero yang benci dengan cuaca lembab yang sering melanda negara yang sedang berkembang pesat dibidang pelayaran itu.

"Pakai ini! Aku tidak mau kau sampai basah."

Mantel tebal yang disampirkan dibahunya oleh Niklaus hanya membuahkan tawa kecil dari mulut Hero yang lebih terdengar seperti dengusan malas. "Aku tak akan sakit meski hujan itu membasahiku sepanjang tahun!" Ucap pria berparas menawan itu datar meski tetap membiarkan Niklaus memakaikan mantel itu.

Bahkan Hero mengulum senyum lebarnya saat Niklaus tiba-tiba saja memeluknya erat sebelum sedikit menunduk untuk mengecup pipinya yang sepucat pualam. Hubungan mereka memang berubah drastis sejak perubahan malam itu namun semuanya diam dan menerima hal itu. Atau mungkin pura-pura tidak menyadarinya!

Mereka sedang berdiri di emperan sebuah toko kecil dimana Hero baru saja membeli peralatan untuk melukis. Putra kedua Jefferson itu memang selalu mengeluhkan matahari yang jarang bersinar terik di tempat mereka tinggal sekarang namun Hero menyukai pemandangan Inggris yang indah. Cuaca lembab tidak pernah menarik perhatiannya seperti Max dan Xiah yang suka sekali menjelajah ke pelosok hutan yang ada disekitar tempat itu.

Niklaus memeluk lembut tubuh ramping saudara yang paling disayanginya itu, melesakkan kepalanya pada leher Hero yang selalu menguarkan harum vanilla. Aphrosidac yang bisa menenangkan setiap gejolak kemarahan atau rasa lapar yang merongrongnya. "Aku tetap khawatir meski kau tidak akan sakit bahkan mati sekalipun. Kondisi kita sekarang tidak akan pernah merubah sikapku padamu." Gumamnya tegas sambil mengusap lembut rambut panjang Hero yang sengaja dibiarkan tergeras menutupi punggung rampingnya.

"Bersabarlah, Luv." hibur Niklaus yang tahu jika Hero ingin segera pergi dari tempat ini.

Untuk sesaat Hero memejamkan matanya sebelum menghela nafas tajam. Sedikit kesal karena Niklaus tidak langsung menuruti keinginannya kali ini. Tapi, dengan cara apapun akan kupastikan akhirnya apa yang kuinginkan akan kudapatkan, semuanya!, batin Hero dingin walau ekspresinya tetap terlihat tenang saat dia menatap manja pada Niklaus yang masih memeluknya.

"Aku lapar! Bisakah kita makan malam ini? Hampir setengah purnama telah lewat dan aku jenuh dengan darah kijang dan rusa!" keluh Hero, jelas-jelas berusaha mengalihkan topik yang hanya akan membuatnya semakin jengkel. Sebenarnya dia tahu bukan salah Niklaus jika mereka sementara ini harus tinggal di Inggris!

Suara manja dan pelukan erat dipinggangnya membuat Niklaus tertawa pelan. Sebagian dirinya bisa merasakan kemarahan terpendam Hero, namun ditepisnya dengan kembali merapatkan mantel panjang milik Hero yang terbuka. "Aku akan membawakanmu darah segar nanti malam. Tunggu saja!" Janjinya dengan seringai arogan sebelum mereka berjalan menembus hujan gerimis yang sering melanda desa indah itu.

Sesuai janji yang dibuat Niklaus 5 tahun yang lalu, Hero tidak pernah berburu makanannya!

Niklaus dengan suka rela melakukan semua hal mengerikan itu untuknya. Beberapa kali Andrew sempat marah dan memerintahkan Hero untuk pergi melakukan perburuannya sendiri. Dia takut Hero terbiasa dengan sikap manja yang suatu hari nanti mungkin akan sangat merepotkan saudara-saudaranya yang lain. Hidup mereka sekarang sangat berbeda, bahaya tak terduga dan kematian bisa datang kapan saja!

"Mandirilah! Jangan selalu mengandalkan saudaramu!" tegur Andrew Jefferson suatu hari saat melihat Hero yang dengan santai membaca didepan perapian sedangkan keempat saudaranya pergi untuk berburu. "Kau terlalu bergantung pada Nik! Jangan lupa, dia tidak mungkin selalu bersamamu!" Nada dan ekspresi tidak suka itu keluar tanpa bisa ditahan oleh Andrew yang sedang merasa kesal.

Sepasang mata bulat Hero menggelap, setiap tahun yang berlalu membuat rasa hormatnya pada sang ayah sedikit berubah. Hero benci ditekan apalagi disalahkan! Dia tahu Andrew menyayangi mereka dan berusaha keras agar mereka semua hidup layak namun sikap tegas dan otoriter sang ayah kadang kala membuatnya jengah. Hero tahu, meski diam dan tidak pernah mengatakan apapun namun Andrew juga tidak pernah menyukai apalagi menerima hubungannya dengan Niklaus, layaknya Cassey yang dengan tenang tetap bersikap seperti biasanya.

"Aku hanya menuruti permintaan Niklaus untuk menunggunya!" sahut Hero tak acuh tanpa mengalihkan matanya dari buku dipangkuannya.

Andrew Jefferson sekuat tenaga berusaha menahan emosinya pada putra keduanya yang dirasanya semakin egois. Matanya melirik tajam pada Cassey yang sedang membuat bahan obat disudut ruang makan luas itu. "Aku ingin kau ikut berburu dengan mereka mulai purnama depan!" titah Andrew setelah terdiam beberapa saat sedangkan Hero hanya mengatup rapat mulutnya.

"Aku ikut denganmu nanti malam!" putus Hero yang tiba-tiba menghentikan langkahnya dan membuat Niklaus langsung menatap bingung pada mata bulat itu. "Sudah kuputuskan, kita akan menjadi partner yang selalu saling mendukung dalam semua situasi. Jadi, bukan hanya kau, tapi aku juga harus bisa berburu dan bertarung untukmu!" tambah pria berwajah indah itu tegas dengan kilau penuh tekad dimatanya.

Bahagia!

Itulah yang dirasakan Niklaus saat dia melabuhkan ciuman lembut pada bibir merah Hero yang sedikit terbuka. Melumatnya ringan sebelum menjilatnya seduktif. Kelembutan yang akhirnya selalu berhasil memancing gairah Hero yang tanpa ragu membalas perlakuannya dengan memperdalam ciuman mereka. Niklaus senang sekali saudara tercintanya ini mulai bisa menerima cara hidup mereka yang memang telah berubah drastis!

Saat ini hidup mereka hanya memiliki 2 pilihan, dibunuh atau membunuh!

Niklaus Jefferson hidup untuk menang, jadi pilihannya hanya 1!

Menyingkirkan semua hal yang bisa mengganggu eksistensi mereka!

Sejak Cassey melakukan ritual kuno itu dan sejak Hero menyerahkan dirinya pada Niklaus seutuhnya 3 tahun yang lalu disalah satu hutan di Hungaria. Niklaus telah bersumpah jika dia hanya akan hidup dan berjuang menjadi yang terkuat untuk saudara tercintanya. Dia memang sangat menyayangi saudaranya yang lain dan orang tuanya, namun Hero Jefferson akan selalu menjadi yang utama untuknya!

"With my pleasure, my Lord..." bisik Niklaus pada Hero dengan nada menggoda sambil berbagi senyum kecil.