Chereads / CURSE of BLOOD / Chapter 3 - We Always Together

Chapter 3 - We Always Together

TAHUN 505 – RUMANIA

SLRUP... SLRUPPP....

Setelah beberapa kali hisapan kuat, tubuh yang sudah tak bernyawa itu dilempar begitu saja oleh Hero Jefferson yang sekarang sibuk menjilati jari-jarinya yang masih berlumuran darah dengan sorot mata berbinar senang. Sepasang mata bulat itu sudah kembali berwarna hitam meskipun pria muda berparas rupawan itu tampak berantakan dan mengerikan dengan darah yang mengotori hampir seluruh wajahnya. Aroma anyir darah memenuhi kamar sempit itu, meski tak satu pun orang yang berniat keluar dari kamar yang baru saja menjadi saksi paling mengerikan!

Dengan langkah tenang seperti tidak terjadi apapun, Niklaus mendekati ranjang sempit yang tadinya berwarna putih bersih itu. Tangan besarnya meraih tubuh ramping Hero dalam pelukannya. Dia bisa merasakan getaran hebat dari tubuh ramping saudaranya, jari-jari kapalan Niklaus perlahan menyingkirkan rambut kusut yang sedikit menutupi paras seindah malaikat Hero dengan lembut seraya tersenyum tipis.

"Selamat datang kembali, Hero. Kami sudah menunggumu." bisik Niklaus lembut di telinga mungil Hero yang langsung menatapnya tajam.

Sorot pengenalan tampak dalam mata bulat yang sedikit berkilau aneh itu. Tangan ramping Hero juga langsung balas memeluk tubuh besar Niklaus yang selalu ada untuknya. Perlahan dia mengangkat kepalanya dan melihat sekelilingnya, mother yang sedang tersenyum lebar padanya, father yang sekarang berdiri disisinya dengan mata hangat dan juga Xiah yang memperlihatkan cengiran bodohnya, tapi kenapa Max dan Micky terlihat menjaga jarak darinya? Sebenarnya apa yang sudah terjadi?

Ingatan terakhir Hero adalah dia sedang berada ditengah hutan dan bermain sambil bergurau dengan saudara-saudaranya. Kenapa sekarang dia ada dikamar?

"Nik, bukankah kita tadi sedang di hutan?"

Dengan bingung Hero menatap saudara tertuanya itu, namun bukannya menjawab, Niklaus malah mengecup pipinya. Kesal mendorong Hero bermaksud menguncang bahu lebar putra sulung Jefferson yang terus menatapnya dengan sorot sayang. Saat itulah Hero melihat jemarinya yang berlumuran darah. "Apa ini? Kenapa ada darah ditanganku?" Mata indah pria muda berparas rupawan itu bergerak cepat meminta jawaban pada saudaranya yang hanya diam hingga tanpa sengaja pandangannya jatuh pada sesosok tubuh yang tergeletak dengan posisi aneh tak jauh dari ranjangnya.

"Arrrghhhh.....NIK !!! Apa itu? Kenapa ada mayat di kamarku?"

Dengan panik dan sambil memeluk erat Niklaus yang terus bergumam jika semuanya akan baik-baik saja, Hero melihat dengan tatapan horror pada ranjangnya yang juga dipenuhi bercak darah segar. "Jawab aku! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ada banyak sekali darah ditubuhku?" tuntut Hero dengan suara bergetar seraya menahan isak tangis takutnya.

Cassey yang tahu reaksi ini akan terjadi segera ikut memeluk erat tubuh Hero yang sudah gemetar hebat. Putra kesayangan keluarga Jefferson ini memang selalu berhati lembut, sama seperti Micky. Hero tidak akan bisa menerima semua yang sudah terjadi pada mereka semudah Niklaus dan Xiah yang terlihat paling tenang dengan situasi ini.

"Andrew, singkirkan mayat itu. Kalian bertiga keluar dan makanlah. Aku yakin masih ada yang tersisa." Suara lembut wanita keturunan Gypsy itu segera dipatuhi oleh hampir semua orang, kecuali Niklaus yang masih bersikeras tidak mau keluar.

Sorot mata Hero dipenuhi ketakutan saat melihat Andrew mengangkat tubuh yang sudah tak bernyawa itu. "Hikss....Apa yang sudah kulakukan? Mother, please?" Sang ibu yang hanya memeluknya mendorong Hero beralih mendesak saudara tertuanya. "Nik, jangan diam saja! Katakan sesuatu! Sebenarnya apa yang terjadi? Father? Hiksss...Apa aku...Apa aku yang sudah membunuh wanita itu?" Isak tangis Hero terdengar menyedihkan diantara suara hujan yang terus memukul atap rumah mereka dengan suara keras.

"Apa aku minum darah?"

Pertanyaan takut dan wajah rupawan yang sudah basah dengan airmata itu menyakiti hati Cassey yang kembali memeluk kuat putra kesayangannya. "Ya, karena mulai sekarang, tanpa meminum darah kau akan mati, putraku!" gumamnya pelan namun dengan tatapan tegas.

Kebohongan hanya akan memperburuk keadaan ini, Cassey bisa melihat tubuh dingin Hero sontak berhenti bergerak setelah berhasil mencerna apa yang baru dikatakannya. Mata bulat yang dipenuhi airmata itu menatap tidak percaya padanya. Kepala berambut panjang itu tanpa sadar sudah menggeleng cepat, sampai akhirnya tatapan takut Hero berpaling pada pria kekar yang sejak tadi juga memeluknya kuat dari sisi lain.

Mata tajam Niklaus tidak pernah membohonginya!

"Tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi padaku! Aku tidak mau!" erang Hero putus asa sebelum menjerit histeris seraya menarik kasar rambut panjangnya yang kusut masai.

Niklaus tahu ini saatnya, hanya dia seorang yang bisa menenangkan Hero-nya!

.

.

"Hiksss....Hikss...Kenapa kalian tidak membiarkanku mati saja? Kenapa, Nik? Aku tidak mau jadi pembunuh! Tidak mau!" jerit Hero tertahan dengan suara parau sambil memukul dada bidang Niklaus yang sejak satu jam yang lalu menjadi tempatnya menumpahkan segala ketakutan, kemarahan, kesedihan dan penyesalannya.

Tanpa lelah Niklaus berusaha menenangkan Hero yang sudah berganti pakaian dibantu oleh Cassey tadi, sebelum wanita itu meninggalkan kedua putranya untuk bicara. "Karena sampai kapan pun aku tidak akan pernah membiarkanmu mati dan meninggalkanku sendirian. Kau masih ingat janji kita, bukan?" tanya Niklaus dengan suara lembut pada Hero yang sedang bersandar sepenuhnya padanya.

"Sampai mati pun aku/kau tidak akan melepas tanganmu/ku...."

Ucap keduanya kompak meskipun getaran kecil terdengar samar dari suara lembut Hero yang sedang mencengkram kuat lengan Niklaus yang tadi sempat digigitnya. Hening memenuhi kamar sempit itu selama beberapa menit sampai akhirnya suara Hero memecahkan suasana. "Yang lain? Apa mereka juga?" tanyanya seraya menatap tajam wajah tampan saudaranya yang terlihat lelah dan sedikit kotor.

"Semua." jawab Niklaus singkat yang sontak melegakan hati Hero karena itu artinya dia tidak sendirian. Ada keluarganya yang akan selalu bersamanya, terlebih Niklaus yang sudah bersumpah tidak akan pernah meninggalkannya.

Sekarang kematian tidak akan bisa memisahkan mereka!

Tiba-tiba pria berparas rupawan itu duduk tegak dipangkuan Niklaus yang sejak dia terbangun selalu bersamanya. Mata bulat yang selalu disukai Niklaus itu memicing tajam dengan sorot aneh yang sangat dikenalinya sebagai tanda Hero akan memintanya melakukan sesuatu yang tidak akan disukainya. "Katakan apa maumu, Luv!" desah kalah terdengar jelas dari suara berat Niklaus.

Senyum nakal perlahan mengukir di bibir semerah darah Hero sebelum suara lembut itu mengalun indah seperti melody yang selalu berhasil menghipnotis Niklaus untuk mengangguk dan mengiyakan semua permintaannya. "Aku tidak mau berburu. Jadi, kau yang harus menyediakan makanan untukku! Selamanya!" Tangan dengan jemari lentik itu meremas keras kedua lengan kekar saudaranya untuk menegaskan maksudnya.

Dengusan keras yang menyerupai tawa meluncur dari mulut Niklaus yang sangat mengenal Hero lebih dari ke 3 saudaranya yang lain. Dia selalu tahu dbalik senyum indah dan wajah menawan Hero itu tersimpan otak yang lebih pintar dan licik daripada mereka semua. Tapi, apapun itu yang terpenting baginya sekarang adalah, Hero masih berada dalam pelukannya.

"Terserah apa katamu, brother!"

.

.

Tengah malam itu, diantara suara lolongan serigala yang keluar karena bulan purnama sedang bertahta diatas langit setelah hujan badai. Keluarga Jefferson duduk menggelilingi perapian yang diatasnya terdapat tungku tempat Cassey biasa memasak. Hero yang duduk tepat disamping Niklaus dan Xiah, Micky yang terlihat sedang memandang api yang terus menjilat kayu bakar dalam diam serta Max yang tampak bersandar manja pada Cassey yang duduk bersisian dengan Andrew.

Mata gelap Cassey memandang satu persatu wajah putranya dengan rasa sayang yang membuatnya rela untuk mengorbankan jiwa dan segala eksistensinya. "Kita harus segera pergi dari tempat ini!" Umum wanita cantik itu tegas pada putra-putranya yang langsung duduk tegak dan menatapnya dengan sorot bingung.

"Kalian butuh makanan dan ini bukan lagi tempat yang tepat!" cetus Andrew yang memang selalu malas berbelit-belit.

Max, yang termuda dari mereka langsung menarik pelan lengan Cassey untuk mendapat perhatiannya. "Apa kita akan pergi bersama? Apa mama dan papa ikut?" tanyanya cepat dengan ekspresi yang tak terbaca.

Mendengar pertanyaan polos dari si bungsu yang terkadang masih sangat manja pada mereka itu, Andrew terbahak keras,"Tentu kita akan pergi bersama, anak muda! Kita akan selalu bersama selamanya, tidak ada yang bisa memisahkan kita!" serunya kuat dengan senyum lebar sambil memeluk Cassey.

"Kemana kita akan pergi?" tanya Xiah dan Micky serampak, desa kecil yang ada di pelosok Rumania ini memang bukan tempat yang tepat untuk mereka lagi. "Aku akan merindukan tempat ini." Micky bergumam pelan, bagaimana pun juga di desa inilah mereka lahir dan tumbuh besar. Tawa dan tangis pernah mereka habiskan ditempat terpencil yang dikelilingi pegunungan dan hutan lebat ini.

Mengabaikan saudara-saudaranya yang terlihat sedih, tangan besar Niklaus membalas genggaman erat jemari lentik Hero yang sedang menatapnya tajam. "Aku bisa menerima ini karena kau, brother!" gumam pria berwajah rupawan itu pelan, meski dia yakin sekali semua saudara dan orang tuanya juga ikut mendengar.

"Always and forever!" gumam mereka serampak dengan senyum dibibir masing-masing.