Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada sebuah pengkhianatan. Walaupun itu belum disimpulkan, firasat Rayn semakin kuat. "Apakah aku perlu menceritakan kepada Jenni?"
Entah mengapa dalam hati Rayn, ia ingin menyelidikinya sendiri. Dengan cara seperti itu, mungkin Rayn akan menemukan kebenaran yang lebih utuh.
Ia beranjak dari tempat duduk yang ada di kamarnya. Tempat duduk itu adalah hadiah dari ibunya ketika ia masuk ke sekolah menengah atas. kata ibunya, kursi itu bisa membuat Rayn belajar dengan nyaman.
Melihat kursi itu, hati Rayn semakin terasa sakit. Kesedihannya belum usai sejak kematian ibunya beberapa tahun yang lalu. Perasaan duka yang mendalam kini harus bertambah dengan ketiadaan sang ayah secara tiba-tiba.
Perasaan bersalah kini mendera Rayn. Di rumah sebesar ini, apa yang harus ia lakukan? Kesepian semakin terasa nyata. Tarikan napasnya terdengar dalam, ia masih merasa tersesat.
Daripada berdiam diri di kamar, Rayn berpikir untuk berjalan-jalan di taman rumah. "Apakah bunga bugenvil itu masih bermekaran di sana?" ia tersenyum, teringat ketika dirinya masih kecil, bunga bugenvil itu dirawat oleh sang ibu bersama dirinya.
Ia memegang engsel untuk membuka pintunya.
"HAAAAAAH!" suara Rayn mungkin cukup keras. Namun, tidak akan ada yang mendengarnya. Waktu pagi seperti ini, para pelayannya pasti sedang membersihkan taman dan dapur.
"KA-MU! KA-MU!" suaranya terbata-bata. Rayn mundur perlahan.
"HAH! Kenapa aku di sini?" sosok yang ada di depan Rayn itupun terkejut. Ia menoleh ke segala arah, berharap ada sesuatu atau seseorang yang ia kenal.
Rayn dengan cepat menutup pintu kamarnya. Nafasnya tersengal, ia bersandar pada pintu kayunya yang mewah.
"Tadi—tadi itu apa? Siapa? Kenapa dia bisa ke sini?" mulut Rayn masih menganga. Ritme napasnya juga masih belum kembali normal.
Rayn ragu untuk membuka pintunya kembali. Apakah hantu itu sudah pergi?
Apa yang terjadi dengan matanya? Mengapa ia sekarang dapat melihat hantu? Rayn mengucek kedua matanya dan berharap bahwa penglihatannya akan kembali normal. Dengan keberanian, pintu dibukanya kembali.
"HUAA!"
"Selamat pagi, Tuan Rayn. Saya membawakan makanan untuk sarapan Anda pagi ini." Ternyata salah satu pelayan yang sekarang ada di depan kamarnya. Rayn masih terkejut, dilihatnya daerah di sekitar kamar. Apakah hantu itu sedang bersembunyi?
"Kenapa, Tuan?" tanya pelayan itu.
Rayn menggeleng. "Tidak apa-apa. Saya bawa makanannya," katanya sambil mengambil nampan yang sebelumnya dibawa oleh sang pelayan.
Wanita yang menjadi pelayan keluarga Rayn selama belasan tahun itu menunduk dan pamit untuk kembali ke pekerjaannya yang lain. Rayn menghela napasnya dengan lebih santai. "Apa-apaan tadi? astaga!" Rayn mengelus dada, menenangkan dirinya kembali.
Dering ponsel terdengar cukup nyaring membuat Rayn untuk sejenak meninggalkan keterkejutan sebelumnya. ia melihat Pak Albert sedang meneleponnya.
"Selamat Pagi, Tuan Rayn?" tanya Pak Albert dari seberang panggilan.
"Pagi, Pak. Saya baru saja berencana ke kantor bapak siang ini. Apakah ada sesuatu sampai Pak Albert telepon saya di pagi hari seperti ini?" kini Rayn yang berbalik untuk bertanya.
Terdengar helaan napas yang dihembuskan oleh Pak Albert. "Saya takut kalau Anda memikirkan dalam-dalam terkait apa yang saya katakan tadi malam. Tapi, saya juga sedang memikirkan sesuatu. Jika memang Anda berencana ke kantor saya siang ini, saya akan tunggu siang nanti."
Rayn merasa ada sesuatu yang akan dikatakan oleh pengacara itu, dan sesuatu itu terdengar sangat penting. "Mengapa tidak dikatakan di telepon saja?"
"Saya pikir akan lebih baik kita bicarakan dengan saling menatap. Karena mungkin, ini akan sangat berat untuk Anda hadapi sendiri."
Mendengar hal itu, Rayn hanya terdiam. Kabar buruk apa yang akan ia dengar kali ini? apakah semesta tidak dapat membiarkan dirinya berduka terlebih dahulu? mengapa semuanya terasa buru-buru harus diungkap?
"Baiklah, saya akan ke sana setelah menghabiskan sarapan." Rayn berjanji sambil menatap nampan berisi makanan yang diantarkan oleh pelayannya tadi.
Sambungan telepon mereka tertutup.
Rayn menarik napas dalam. ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Perasaannya yang masih berduka belum siap mendengar berbagai fakta yang mungkin akan terdengar sangat buruk. "Kenapa semuanya menjadi seperti ini?"
Ingin hati dirinya menangis, tapi logikanya sedang berusaha menguatkan Rayn. "Jika aku nggak buru-buru tahu apa yang terjadi, aku nggak akan tahu apa yang sedang diusahakan oleh ayahku."
Seluruh makanan yang ada di depannya kini dilahap dengan cepat. Rayn harus tabah. Duka dan kesedihannya harus ditunda terlebih dahulu. Kali ini, ia harus mencari jawaban atas pertanyaan yang bergelayut dalam pikirannya selama ini.
Mengapa ayahnya terburu-buru meminta Rayn untuk menggantikan dirinya sebagai ketua Grup RetroZ?
***
Pagi hari yang damai.
Burung-burung berkicau semakin menambah syahdu suasana hutan yang sangat sunyi. Kecuali dengan beberapa pasang mata yang memiliki kemampuan lebih, mereka akan dapat melihat adanya jiwa-jiwa yang menjaga hutan agar tetap terjaga keseimbangannya.
Wildy baru saja memeriksa tumbuhan pinus yang hampir mati karena kebakaran yang akan ditimbulkan oleh sekelompok manusia. Kemudian ia mencari Honey, sahabatnya. Ia menoleh ke segala arah namun tidak melihat Honey.
"Ke mana dia? Apa dia pergi ke puncak gunung lagi?" tanya Wildy.
Di saat dirinya ingin mencari Honey, ia bertemu dengan seorang jiwa yang menjadi pemimpin mereka, The King. Entah siapa nama aslinya, sejak pertama kali Wildy membuka mata, ia sudah berada di sini dan disambut oleh The King.
"Apa kamu lihat Honey?" tanya The King, tiba-tiba.
Wildy hanya diam. Ia pun juga sedang mencari Honey. Karena keterkejutannya melihat The King, ia masih tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata.
Akhirnya, Wildy memilih untuk menggeleng saja. apa yang bisa dikatakan? Toh, ia sendiri juga tidak tahu keberadaan Honey. Ia menunduk dan pergi dari hadapan The King.
Wildy berjalan menjauh dari The King. langkahnya cukup cepat, hingga ia tidak merasa bahwa The King sedang memerhatikannya dari jauh.
"Apa tadi? kenapa tiba-tiba The King datang tiba-tiba seperti ini?" tanyanya dalam hati. ia berbalik untuk memastikan bahwa The King sudah tidak berada di posisinya sekarang.
"Astaga!" di saat Wildy menoleh kembali, ia melihat Honey tepat di depannya. "Kamu dari mana aja?"
Honey tidak menjawab. Ia memeriksa sekelilingnya, merasa waspada. "Aku di hutan?"
"Iya lah! Kamu mau di mana lagi? tempatmu emang di sini!" jawab Wildy sambil mengelus dada. "Kamu dari mana, Hon?"
Honey mendekat ke telinga Wildy. "Pagi tadi, tiba-tiba aku ke sebuah rumah manusia."
Mulut Wildy menganga. "Apa? Kok bisa?"
"Aku juga bertanya seperti itu. kok bisa?" Honey merasa bingung sendiri dengan apa yang dialami.
"Ngomong-ngomong," Wildy mulai lebih terkendali dan akan mengatakan sesuatu kepada Honey,"kayaknya kamu dicari sama The King."
Honey hanya memandang Wildy dengan tatapan heran. "Kenapa? Kenapa aku dipanggil?"
Wildy mengangkat pundaknya. "Apa sekarang adalah giliranmu?"
Honey terlihat menghela napas. Ia tidak percaya bahwa waktu yang disebut oleh Wildy akan datang secepat ini. Tapi, ia merasa bahwa waktunya belum dekat.