Dengan sedikit rintik hujan Arini mengayuh sepedanya menuju villa Danu, di desa Arini ini memang sering turun hujan walaupun bukan musim hujan karena daerah sekitarnya pegunungan. Jam menunjukkan pukul 8 malam, dia baru tiba di villa yang sangat besar itu dengan pagar berwarna hitam logam. Dengan jaket yang sedikit basah, dia membuka pagar yang memang tidak terkunci, Arini kemudian menyandarkan sepedanya di bawah pohon. Arini melihat sekitar villa tersebut dengan rasa kagum, karena villa itu ternyata sangat indah dan pemandangan taman di sekitarnya sangat luas. Namun taman di depan tidak terlalu terurus, rumputnya sudah tinggi-tinggi dan juga daun-daun kering berserakan di mana-mana.
Tok ... tok ... tok ...
Gadis itu mulai mengetuk pintu. Beberapa menit Arini menunggu tapi ketukannya juga tidak memunculkan seseorang yang membukakan pintu.
"Apa benar villa ini ada penghuninya?" gumam Arini.
Akhirnya, Arini pun duduk di kursi seraya menunggu. 15 menit berlalu, tapi tidak kunjung ada yang membukakan pintu.
Jantung Arini mulai berdebar tak karuan karena dia merasa takut. Malam juga semakin larut dengan gerimis yang membuat suasana villa itu semakin sepi. Arini pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu itu lagi.
"Ini terakhir kali aku mengetuknya, kalau tidak ada yang membukakan pintu aku pulang!"
Tok ... tok ... tok
"Permisi, Tuan ada orang di dalam?" teriak Arini
Tiga kali ketukan juga tidak ada respon dari pemilik villa tersebut. Akhirnya Arini pun memutuskan untuk pergi, tapi ketika dia membalikkan tubuhnya tiba-tiba sosok pemuda jangkung berada tepat di depannya. Karena waktu itu Ardan menggunakan hoodie berwarna hitam dan dengan kupluk yang menutupi kepalanya ditambah lagi lampu depan yang remang-remang, membuat Arini begitu terkejut dan seketika itu Arini langsung berteriak dan tubuhnya lunglai tak sadarkan diri. Ardan yang melihat itu juga ikut terkejut, dan dengan sigap Ardan pun menangkap tubuh Arini
"Kenapa ini cewek?"
Ardan pun mengambil kunci yang ada di saku jaketnya, dengan sedikit susah payah dia membuka pintu karena tangan satunya menopang tubuh gadis itu. Ia pun segera menggendong gadis itu dan membawanya masuk ke dalam villa tersebut, setelah itu dia merebahkan tubuh gadis itu di sofa ruang tengah. Mata Ardan pun dengan seksama meneliti setiap inci wajah gadis itu.
"Ternyata gadis misterius itu, untuk apa dia kesini?"
Sepulang dari minimarket, mobil yang Ardan kendarai mengalami mogok. Ia mencoba memperbaikinya, tapi itu bukan keahliannya, hingga akhirnya dia pun menghubungi Danu untuk menjemputnya, ia pun pulang diantar oleh Danu sampai gerbang depan. Sampai akhirnya, ia melihat Arini yang berdiri di depan pintu.
Sedikit menyunggingkan senyum di wajah tampannya, dan Ardan pun berlalu meninggalkan gadis itu untuk mengganti pakaiannya yang basah kuyup.
Setelah berganti pakaian dia kembali dengan membawa minyak kayu putih di tangannya dan menghampiri gadis yang masih tak sadarkan diri tersebut.
"Belum bangun juga dia ternyata?" gumam Ardan.
Ardan pun membaluri tangan gadis itu dengan minyak kayu putih dan juga mengoleskannya ke hidung gadis itu. Sambil menunggu gadis itu sadar Ardan pun menatap lagi wajah Arini dengan seksama.
"Apa yang sebenarnya dia lakukan di sini?" tanyanya dalam hati.
Ketika dia hendak menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah gadis itu, Arini pun terbangun dan perlahan membuka matanya. Setelah kesadarannya benar-benar pulih, dia pun langsung terkejut dan menyingkirkan tangan Ardan dari keningnya.
"Apa yang baru saja kau lakukan padaku?" Seraya menutupi dada dengan kedua tangannya.
"Ckk ... kau harusnya berterima kasih sudah ku tolong, bukan malah menuduhku!" kata Ardan sambil sedikit melihatkan senyumnya.
"Di mana aku, dan ngapain kamu di sini?" tanya Arini kebingungan.
"Harusnya aku yang bertanya, ngapain kamu ada di villaku? Malam-malam gini lagi." Pergi meninggalkan Arini yang masih sedikit pusing setelah tidak sadarkan diri tadi.
Arini yang mendengar perkataan pemuda itu langsung berfikir. "Berarti pemuda itu adalah keponakan dari Pak Danu? Duh ... mati aku! Gak ada sopan-sopannya, mana asal nuduh lagi," batin Arini.
Selang beberapa menit, pemuda itu pun kembali dengan membawa hoodie miliknya yang diselempangkan di bahunya.
"Ini pakailah hoodie–ku! Jaketmu sepertinya basah?" Sambil memberikannya pada Arini.
"Tidak perlu, lebih baik saya langsung pamit untuk pulang. Terima kasih sudah menolong saya. Maaf sebelumnya, Tuan, saya tidak tahu kalau Anda keponakan Pak Danu." Arini berdiri, tapi saat hendak berdiri, lengannya ditahan oleh tangan besar milik Ardan.
"Kau yakin akan pulang? Di luar sedang hujan deras dan ini juga sudah larut malam. Menginaplah di sini besok pagi aku akan mengantarmu pulang!" tawar Ardan pada Arini.
"Tidak masalah hanya karena hujan, saya sudah terbiasa," jawab Arini dingin sembari melepaskan lengannya yang masih dipegang oleh tangan Ardan.
"Tenanglah! Aku tidak akan melukaimu apalagi memperkosamu!" sela Ardan.
Dengan mempertimbangkan perkataan pemuda di depannya itu, ada benarnya juga, di luar hujan sangat deras dan jalanan menuju pulang pun gelap dan sepi, dengan sedikit ragu Arini pun mengiyakannya.
"Ada perlu apa kau ke sini?" tanya Ardan.
"Aku hanya disuruh ibuku untuk memberikan titipan Pak Danu padamu," jawab Arini.
"Barang titipan?" Arini tiba-tiba ingat sesuatu, barang dari Pak Danu masih ada di keranjang sepeda, dan sepeda Arini ada di bawah pohon kehujanan.
"Oh ... berarti kau anak Bu Rahmi?" jawab Ardan.
"Kalau begitu gantilah bajumu! Kamar mandi ada di sebelah sana," kata Ardan seraya menunjuk ke arah kamar mandi yang berada dekat dapur.
"Terima kasih." Arini pun berlalu meninggalkan Ardan.
Saat Arini keluar dari kamar mandi, dia melihat Ardan yang tengah berada di dapur sedang memasak sesuatu. Pemuda itu pun melirik ke arah Arini.
"Aku sedang membuat mie instan, kau mau?"
Arini menggelengkan kepalanya.
"Tidak perlu sungkan, duduklah!" ajak Ardan.
Arini pun menurut, situasi ini membuatnya malu setengah mati. Pemuda ini baik tapi dengan lancangnya dia menuduh yang tidak-tidak.
"Aku sudah menghubungi Paman Danu agar memberitahu ibumu, kalau kau sedang bersamaku." Sambil menyerahkan semangkuk mie instan yang masih panas pada Arini.
"Iya, terima kasih banyak," ucap Arini.
"Iya sama-sama, selamat makan!"
Mereka berdua pun menyantap mie instan itu bersama-sama dengan rasa canggung yang dirasakan oleh Arini.
Dengan memakai hoodie berwarna navy dan celana panjang berwarna abu-abu, ditambah lagi rambutnya yang masih basah karena kehujanan tadi. Tampan sekali, perempuan mana yang tidak terpana dengan pesonanya, pemuda dengan tinggi 185 cm itu memang sangat ramah kepada orang di sekitarnya, namun juga terkadang bersikap dingin dengan orang yang belum dia kenal. Sifatnya yang mudah berteman membuat orang-orang disekitarnya nyaman ketika bercanda maupun sekedar mengobrol dengannya. Seperti sekarang, dia terus mengajak Arini untuk berbicara walaupun hanya dibalas dengan iya dan iya oleh Arini. Ardan pun selesai dengan makanannya, dan dia menuju lantai atas. Entah apa yang akan dia lakukan.
Beberapa menit, dia kembali dengan selimut tebal di tangannya. Menyerahkan selimut tebal berwarna putih. "Ini pakailah! Ruangan di sini masih belum semuanya dibersihkan. Hanya kamarku dan kamar tamu saja," ujar Ardan.
Arini yang tengah sibuk memakan mie instannya pun mendongakkan kepalanya. "Terima kasih," jawab Arini singkat.
Ardan tersenyum dengan melihatkan kedua lesung pipinya. "Kau rupanya sangat lapar, maaf hanya itu yang bisa aku masak."
"Harusnya saya yang meminta maaf sudah merepotkan, Tuan. Saya janji besok pagi akan saya buatkan makanan untuk, Tuan," jawabnya sopan.
"Waahh ... kau sopan sekali, tidak perlu se sopan itu padaku. Aku lebih suka orang yang santai ketika berbicara kepadaku," ujar Ardan.
"Baiklah, Tuan." Arini tersenyum canggung.
"Panggil aku Kakak saja! Baiklah, aku ke atas dulu! Oh iya, kamarmu ada di sebelah sana." Seraya menunjuk ruang kamar yang berada di ujung dekat ruang tv.
Setelah itu dia berdiri dan pergi ke lantai dua untuk beristirahat.
Arini pun menganggukkan kepalanya mengerti dan berlalu sambil membawa mangkuk dan gelas yang kotor ke dapur.
Ardan merebahkan tubuhnya pada kasur yang empuk, dengan tangannya yang menjadi bantal. Menatap langit-langit kamar sambil tersenyum sendiri. Di tengah lamunannya, dia mengingat sesuatu tentang berkas yang ia minta dari Danu. Tapi mungkin berkas itu ada pada Arini, dia pun duduk dan berniat ingin menanyakan berkas itu kepada Arini. Namun niatnya itu ia urungkan, mungkin besok saja dia akan menanyakannya pada gadis itu.