Hari yang dijalani oleh Ameera rasanya semakin buruk. Langit yang tampak cerah pun di matanya begitu mendung. Hal yang semakin menyakitkan yakni dorongan dari Daisy supaya ia tetap bertahan hidup sebagai istri dari seorang mafia kejam. Membelotnya Daisy yang merupakan sahabat terbaiknya menorehkan luka mendalam bagi hati Ameera. Tak semata karena Daisy meminta Ameera untuk tetap berada di sisi Axton, tetapi juga cara Daisy berbicara, seolah-olah Ameera sudah tidak berarti lagi.
Raga masih bisa bergerak, mata masih kerap terjaga setelah melewati malam panjang penuh dengan tekanan, pun pada jantung yang belum pernah berhenti berdetak. Namun, Ameera justru merasa hampa, hatinya kosong, pikirannya apalagi. Raganya bagai tak bernyawa, meski ruh belum meninggalkannya. Pasrah adalah jalan terbaik, tetapi tampaknya kematian masih menjadi cara yang paling tepat untuk melarikan diri dari nasib buruk tersebut.
Andaikan menyayat kulit tak terasa perih, mungkin Ameera sudah melakukannya sejak awal. Melihat ketajaman pisau saja, dirinya menjadi bergidik gemetaran. Hal itulah yang membuatnya selalu urung untuk membunuh dirinya sendiri dan masih tetap bernapas sampai saat ini.
"Nona Ameera." Pelayan pribadi yang sudah Axton berikan untuk Ameera, lantas berkata sesaat setelah masuk ke dalam kamar megah milik Ameera. "Tuan Axton telah menunggu Anda di ruang bawah."
Ameera menatap pelayan yang memiliki nama Surti tersebut. Seorang wanita paruh baya yang begitu kurus dan tampak lugu, tampaknya Axton sengaja mencari orang yang benar-benar payah dalam hal intelektual. Ameera paham, mungkin Axton ingin melindungi identitas aslinya, sehingga merekrut pelayan baru dengan kriteria se-demikian rupa.
"Katakan padanya, aku akan datang sepuluh menit lagi, Bi Surti," jawab Ameera begitu lemah, lalu kembali menatap langit cerah yang tampak dari balik jendela kaca.
"Baik, Nona."
Setelah itu, Surti undur diri untuk melakukan tugasnya. Sementara Ameera baru mengubah sikap selepas Surti menghilang dari dalam kamarnya. Ia teringat akan ucapan Axton kemarin malam, yang memintanya untuk selalu tampil anggun setiap kali diminta untuk datang. Masalah pakaian, sepatu, riasan, perhiasan, dan perlengkapan wanita lainnya sudah tersaji di dalam kamar itu. Axton telah mempersiapkan segalanya, demi membuat Ameera tetap bertahan di sisinya.
Hanya saja, tidak ada secuil kebahagiaan pun yang Ameera rasakan pasca mendapatkan banyak fasilitas mewah. Selain tidak bisa menerima pernikahannya dengan Axton, ia juga dikurung di dalam mansion tanpa boleh melihat dunia luar. Apalagi setelah melakukan percobaan melarikan diri, Axton semakin ketat dalam menjaganya.
Banyak sekali pria berjas hitam yang merupakan bawahan Axton, yang belum lama ini telah dikirim secara bertahap dari Amerika. Mereka memiliki ras berbeda-beda, dan ditugaskan untuk menjaga setiap pintu mansion itu. Bagaimana tidak tertekan hidup Ameera yang diibaratkan seperti terdakwa kasus pembunuhan. Cara Axton mencintainya benar-benar ekstrim dan di luar nalar manusia. Oh, jangan-jangan bukan cinta, melainkan obsesi gila yang Axton rasakan pada Ameera. Entah!
"Nona, Anda sudah terlalu lama. Ini sudah lebih dari sepuluh menit."
Sambutan peringatan dari Herman yang tiba-tiba saja berada di balik pintu kamar Ameera pasca dirinya keluar, cukup membuat jantung wanita itu sangat terkejut.
Mata Ameera mengerjap dan ia menghela napas. "Tidak bisakah dia bersabar sedikit saja?" tanyanya, ketus.
"Tuan Axton bukan pria penyabar, Nona. Saya pun hanya sebatas bawahan yang mengurus rumah ini, sekaligus menjadi wakil atas kepemilikan rumah ini. Dengan kata lain, saya tidak memiliki hak untuk mengatur batas kesabaran Tuan Axton," jelas Herman. "Ada baiknya Anda pun segera memperbaiki sikap Anda pada Tuan Axton. Jika Anda cukup paham tentang kebejatan seorang mafia, tentu saja Anda akan memilih untuk lebih berhati-hati."
"Aku tidak membutuhkan tindakan yang hati-hati di kehidupan yang sudah sesuram ini, Pak Herman. Bahkan jika harus kehilangan nyawa, rasanya pun tak apa."
"Sayangnya, bukan nyawa Anda yang berbahaya, Nona," sahut Herman cepat. "Saya jamin Tuan Axton tidak akan pernah membunuh Anda, tapi, untuk orang-orang yang Anda sayangi akan menjadi taruhan ketika diri Anda membuat Tuan Axton sangat marah."
Ameera tersenyum kecut. "Sayang sekali, saya sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi."
"Benarkah? Bukankah Anda masih memiliki seorang ibu yang juga memiliki kaitan besar dengan Tuan Axton? Nyonya Catarina, bukan? Saya tahu seberapa berartinya beliau untuk diri Anda, Nona, tidak peduli seburuk apa sikap beliau pada Anda."
Ucapan Herman mengenai sosok ibu membuat Ameera lantas tercenung dan terdiam. Ia menelan saliva setelahnya. Kenyataannya memang begitu, tidak hanya Axton yang kejam, tetapi semua bawahan Axton sangat mengerikan. Termasuk Herman sendiri. Pria pengurus mansion yang namanya dijadikan sebagai pemilik rumah super mewah tersebut, begitu ketus dan dingin. Tubuh kurus kering, kulit keriput, dan rambut putih karena menua tidak membuat Herman tampak lemah. Sepertinya, Axton cukup pandai dalam mendidik para bawahannya menjadi orang-orang yang berbahaya.
Demi menghindari pertanyaan pedas lainnya dari Herman, Ameera memutuskan untuk segera turun menggunakan fasilitas elevator. Memang benar, menghadapi Axton jauh lebih sulit, tetapi Ameera tidak punya pilihan lain lagi. Di mana pun dirinya berpijak di rumah itu, selalu saja merasa serba salah. Jadi, untuk apa banyak mempertimbangkan pilihannya mengenai situasi sekarang.
"Ada apa kau memanggilku siang-siang begini, Axton?" Baru sampai di sebuah ruangan yang menyajikan televisi besar dan sofa-sofa empuk, di mana Axton tampak duduk santai di sana, Ameera sudah mempertanyakan maksud dan tujuan suaminya tersebut.
"Aku merindukanmu, Ameera," jawab Axton setelah sempat menatap penampilan sang istri dengan gaun berwarna putih, lalu menyeringai tajam. Wajah tampannya bak singa yang sedang mengincar betina. "Kau istriku, jadi untuk apa harus mempertanyakan sesuatu hal tentang keinginan suamimu sendiri?"
"Secara resmi ya, kita sepasang suami-istri. Tapi, secara pribadi, kau hanyalah sampah yang tidak pantas untuk aku sebut sebagai seorang suami."
"Ayolah, Ameera. Lunakkan sifat keras kepalamu itu. Kau harus segera menerima kenyataan ini. Ingat, Sayang! Yang kau miliki hanyalah diriku. Ibu dan sahabatmu sudah membuangmu."
Ameera menelan saliva getir. "Kau—"
"Kemarilah dan duduk di sampingku, Nona," potong Axton. "Menurutlah demi menyelamatkan satu nyawa."
Pria itu kambuh lagi. Insting psikopatnya bangkit, dan hal itu membuat Ameera lagi-lagi tidak punya pilihan lain. Jika Ameera menentang dan kembali ke kamar, ada kemungkinan Axton benar-benar menyerang salah satu orang di mansion tersebut demi melampiaskan kemarahan. Hal itu sudah pernah terjadi, ketika Ameera hendak melarikan diri, Axton yang marah besar menghajar salah satu bawahan dengan kejam. Dan Ameera mendengar kejadian tersebut dari Justin.
Gemetar, Ameera mendekati sisi Axton yang masih kosong. Namun, karena pergerakannya sangat lamban, membuat Axton begitu gemas dan tidak sabar. Axton lantas menarik lengan Ameera secara paksa, lalu memangku Ameera dengan jerat tangan yang begitu erat terkalung di pinggang istrinya itu.
Napas Ameera berderu, lidahnya kaku, dan tenggorokannya tercekat. Keadaan itu membuatnya benar-benar tidak bisa mengeluarkan suara atau sedikit perlawanan. Gejolak yang ada pada diri Ameera semakin tidak terkendali, saat Axton tiba-tiba saja memainkan lidah di punggungnya yang terbuka.
"He-hentikan, Axton!" Sekuat tenaga, Ameera memberikan peringatan.
Namun, sayang, Axton terlalu tidak peduli dan semakin gencar dalam melakukan aksi tersebut. Bahkan, tak segan-segan Axton memberikan gigitan.
***