Axton menatap wajah Ameera yang masih memucat. Bagaimana bisa seorang wanita sakit bisa secantik itu? Pikiran Axton bertanya-tanya. Rasanya memang tidak pernah ada wanita lain yang memiliki daya pikat sebaik Ameera. Selain menarik secara fisik, kepribadian Ameera yang Axton selidiki selama enam bulan terakhir juga sangat bagus. Wanita itu ramah, penuh ceria, naif, lugu, tabah, dan sangat luar biasa, sampai-sampai mampu membius hati seorang mafia.
Sepertinya perkataan orang mengenai pria bejat tetap menginginkan istri yang baik bukanlah sebatas isapan jempol semata. Axton sudah membuktikannya sendiri. Tidak peduli seberapa kejam dirinya, serta seperti apa identitas aslinya, Axton tetap sangat menginginkan wanita baik-baik itu. Apalagi kalau sudah berbicara soal hasrat, di mana Axton kerap kesulitan meredam keinginannya atas tubuh indah Ameera, sehingga membuat perasaannya terhadap Ameera semakin sempurna dalam segala segi.
Namun, Axton yang sudah sepenuhnya mencintai Ameera, selalu kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya dengan baik. Yang ada di dalam benaknya hanyalah kecemasan akut mengenai kehilangan Ameera. Ia benar-benar tidak bisa melepaskan wanita itu sampai kapan pun. Dan hal tersebut membuatnya terus-terusan memberikan tekanan agar Ameera ketakutan jika hendak kabur dari sisinya.
"Apa se-begitu sulitnya menerima pernikahan ini dan keberadaanku, Ameera? Sampai kau harus syok dan stres seperti saat ini? Tak bisakah kau hanya diam, lalu menjadi istri yang baik, tanpa harus memikirkan identitasku?" gumam Axton dan masih menatap lekat wajah cantik milik sang istri.
"Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Belum ada wanita lain yang mampu memikatku sampai sedalam ini, Ameera." Kata-kata Axton terdengar manis, tetapi sorot matanya masih saja tajam dan buas. "Aku bisa membuatmu menjadi lebih berharga. Aku bisa membuatmu menjadi ratuku, bukankah itu lebuh baik daripada dirimu harus menjadi budak ibumu sendiri? Tapi, mengapa kau terus melihatku sebagai monster? Bukankah hal itu sangat keterlaluan, Ameera?"
Andaikan Ameera dalam keadaan sadar, Axton yakin istrinya itu akan memberikan jawaban menohok dan sebuah pertentangan. Entah sampai kapan kiranya, Ameera dapat menerima pernikahan dan keberadaan Axton. Sepertinya tetap akan sangat lama dan pastinya begitu sulit. Sebesar apa pun, Axton berusaha, jika hati Ameera tetap berkata tak ingin mencintainya, maka penerimaan itu tetap sebatas angan-angan saja.
Entah. Menghasut ratusan pejabat, bagi Axton sangat mudah. Namun, membujuk seorang wanita agar bersedia mencintainya, mengapa sangat sulit? Namun, dengan kenyataan se-demikian rupa, Axton tidak pernah berniat untuk mundur sedikit pun.
Terdengar ketukan dari arah pintu kamar, yang tidak lama kemudian, Justin tampak masuk setelah mengetahui bahwa benda tersebut dalam keadaan tidak dikunci. Justin melangkah mendekati keberadaan Axton yang masih duduk di samping Ameera. Kemudian, ia merundukkan badannya sebagai salam hormat untuk atasannya tersebut.
"Tuan Axton, ada kabar dari Bertran Purnama," ungkap Justin.
"Katakan saja, Justin," sahut Axton sesaat setelah berdiri. "Apa yang dia sampaikan?"
Justin melirik ke arah Ameera. "Di sini?"
"Ya, jangan khawatir."
"Mm ... Bertran Purnama bersedia untuk bertemu dengan Anda, Tuan Axton. Besok malam, di sebuah gedung. Dia akan mengirimkan alamat gedung satu jam sebelum janji temu dilakukan."
Axton menatap tajam lurus ke depan. Kabar yang Justin katakan memang cukup mengejutkan. Setelah setengah tahun terus berusaha terhubungan dengan Bertran, pengusaha tambang sialan itu, akhirnya permintaan Axton diterima. Namun, ... mengapa seperti ada yang janggal?
Persetujuan yang Bertran berikan seolah akan memberikan kesialan tersendiri bagi Axton. Tidak mungkin pengusaha yang terus-terusan kabur itu tiba-tiba membuat keputusan berbeda. Axton yang sudah mengubah identitasnya, sepertinya tidak akan mampu menipu Bertran, sampai Bertran memilih menolak dan menghindar. Bukankah terasa aneh jika sekarang Bertran setuju untuk bertemu? Kecuali ... jika pengusahawan itu sudah memiliki cara atau dilindungi oleh organisasi besar lainnya, seperti yang sering Axton pikirkan.
"Masalahnya ... sekretaris Bertran Purnama mengatakan bahwa Bertran bersedia bertemu dengan Axton Axelcen, alias Anda sendiri, Tuan. Yang berarti identitas Anda sudah terbongkar, bukan?" Justin seolah tahu kekhawatiran Axton, dan langsung mengungkapkan fakta terbaru.
Cepat, Axton segera menatap Justin. "Sekretaris si Tengik itu menyebut namaku?"
Justin mengangguk. "Benar, Tuan, dan hal itu sangat aneh."
"Sudah kuduga," gumam Axton. "Persetujuan dadakannya pun terbilang aneh. Jika dia terus menolak bertemu dan kerap menghindar, bukankah dia memang sudah mengetahui bahwa Antones adalah nama samaranku? Investasi yang aku tawarkan juga sangat besar, tidak mungkin dia menolak jika sejak awal dia tidak mengetahui bahwa Antones adalah aku. Lalu, dia tiba-tiba setuju. Sepertinya dugaanku benar, mengenai sebuah organisasi besar yang melindunginya. Mungkin juga, kelompok itu sudah tiba dan mengatasi ketakutan Bertran terhadapku, yang kemudian membuat Bertran berani mengambil keputusan untuk bertemu denganku."
"Saya rasa mereka ingin menjebak Tuan Axton."
"Ya. Pertemuan itu akan menjadi pertemuan luar biasa."
"Lantas, apakah Tuan akan tetap datang?"
Axton menyeringai. "Tentu saja, Justin. Sebab aku sendiri merasa sangat penasaran siapa yang melindungi Bertran Purnama."
"Tapi, Tuan, bukankah hal itu sangat berbahaya?"
"Akan sangat menyenangkan jika kita mengatur strategi dengan baik, Justin. Ini menarik!"
Justin mengerjapkan mata. Cukup khawatir sebenarnya, sebab jika dugaannya benar tentang rencana jebakan yang Bertran pikirkan, posisi Axton pasti akan semakin sulit. Jika seandainya, Bertran tidak memiliki kerja sama dengan organisasi hitam, tetapi justru kerja sama dengan pemerintah dan FBI, bukankah akan semakin berbahaya?
Di sisi lain, keputusan Axton memang selalu sulit diubah. Selain itu, daya pikir Axton terlalu pintar. Semua strategi yang ia atur selama menjadi anggota hingga pimpinan Sayap Hitam alias Black Wings tidak pernah gagal sedikit pun. Itulah sebabnya, sang mantan raja mafia sebelumnya yang sekaligus ayah angkat dari Axton tidak segan untuk menyerahkan organisasi di bawah kekuasan Axton.
"Ayo!" ucap Axton sembari mengambil langkah, sesaat setelah memberikan kecupan di dahi Ameera.
Justin segera mengikuti langkah sang atasan yang sepertinya hendak mengumpulkan beberapa anak buah, baik yang baru datang dari Amerika, atau anggota didikan Herman.
"Herman!" seru Axton ketika sudah berada di balik pintu kamar Ameera untuk memanggil Herman yang kemudian begitu cepat datang, seolah pria tua itu sudah mengetahui bahwa Axton akan memanggil namanya sebentar lagi.
"Ya, Tuan Axton," jawab Herman sembari merundukkan badan.
Axton menatap Herman lalu menghela napas. "Kuperintahkan padamu, perketat penjagaan rumah ini. Beri dua orang penjaga di depan kamar Ameera. Dan pinta beberapa orang yang sudah bertugas semakin ketat dalam berjaga. Terakhir, kumpulkan anak-anak didikmu dan katakan pada mereka agar melatih otot. Jika besok malam ada sebuah tragedi, maka kita harus mengirim pasukan terkuat."
"Baik, Tuan Axton," jawab Herman yang sebenarnya memiliki pertanyaan besar tentang apa yang akan terjadi. Namun, ia tidak kuasa untuk mempertanyakan hal itu pada Axton.
Baik Axton, ataupun Justin dan Herman, sama-sama mengambil langkah untuk pergi dari depan kamar Ameera. Mereka hendak melakukan agenda masing-masing. Perihal pertemuan itu, Axton juga tidak ingin menyepelekan. Ia harus mempersiapkan segala hal untuk memastikan keamanan diri serta organisasinya.
Sementara itu, Ameera sudah membuka mata. Sebenarnya, ia sudah terjaga sejak Justin berada di dalam kamarnya. Bahkan, ia sempat mendengar beberapa hal mengenai pembicaraan Justin dan Axton.
"Bertran Purnama?" gumam Ameera, lalu menelan saliva. "Siapa dia? Musuh Axton? Ka-kalau begitu ... bisakah aku meminta bantuan padanya, agar terbebas dari tempat ini? Ta-tapi, bagaimana caraku menghubunginya, di saat aku sendiri tak bisa keluar dari tempat ini? Ya Tuhan ... meskipun ada setitik harapan, tapi mengapa tetap sulit untuk aku raih?"
Sebenarnya, Ameera berpikir, jika Bertran Purnama adalah seorang pengusaha, bahkan meski telah menjadi musuh Axton, pria itu bisa saja tidak terlalu berbahaya. Yang artinya, Ameera bisa membuat penawaran agar Bertran membantu membebaskannya dari jerat Axton dan mansion tersebut. Hanya saja ... ia harus berpikir keras untuk dapat terhubung dengan pria itu dengan segala keterbatasan pergerakan, bahkan tanpa memiliki ponsel, karena Axton menyita benda elektronik tersebut darinya.
"Bi Surti? Memiliki ponsel bukan ...?" gumam Ameera teringat akan pelayan pribadinya.
***