"Lepaskan aku, Axton!" pekik Ameera sembari menepis jemari Axton yang hendak menyentuh bagian tubuh sensitifnya. Detik berikutnya, ia lantas bangkit dan bergegas meninggalkan suami serta ruangan tersebut.
"Ameera!" seru Axton dengan suara yang parau dan keras menggelegar.
Tentu saja karena kepergian Ameera yang benar-benar membuat Axton tidak senang. Lantas, pria itu pun segera mengambil sikap untuk menyusul istrinya tersebut.
Awalnya, Axton pikir Ameera hendak pergi ke kamar dan mengurung diri, tetapi istrinya itu justru singgah di salah satu kamar mandi terdekat. Axton mengernyitkan dahi di kala perasaan heran telah berhasil mengambil alih atas rasa kesalnya. Detik berikutnya, ia menuju keberadaan kamar kecil itu dan mencuri dengar apa yang terjadi sembari menempelkan telinga di pintu yang sudah terkunci rapat.
"Uh ...! Hoek!" Itulah yang terjadi, Ameera muntah parah, setelah sekian menit dirinya berusaha keras untuk menahan gejolak di dalam perutnya. Tentu saja bukan tanpa sebab, melainkan tindakan menjijikkan yang Axton lakukan padanya membuat diri mengalami syok parah dan berpengaruh pada kondisi lambungnya.
Ameera membasuh wajahnya, lalu memutar badan dan duduk meringkuk dengan lemah. Ia tidak peduli bahwa lantai kamar mandi itu sangat lembab, bahkan basah. Dingin ruangan juga tidak Ameera pedulikan. Ia hanya sudah terlalu letih, sampai-sampai lututnya terasa lemas dan napasnya terbilang pendek. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menahan rasa mual dan stres dadakan, tetapi pada akhirnya ia kalah pada kondisi badannya tersebut setelah menerima sebuah perlakuan tak senonoh yang meski dilakukan oleh suaminya sendiri.
"Ameera!" Tiba-tiba suara Axton terdengar membuat Ameera langsung tersentak. "Buka pintunya!"
"Tolong biarkan aku sendiri sebentar saja, Axton ...!" balas Ameera dengan suara yang entah bisa didengar oleh telinga Axton atau tidak. "Tolong ... biarkan aku."
Lagi dan lagi, linangan air mata jatuh menodai pipi Ameera yang putih bersih meski minim riasan. Ia sangat lelah, untuk semua hal yang terjadi hari. Apalagi persoalan tentang keinginan Axton atas dirinya, sampai pria itu nyaris merenggut kesuciannya. Ameera merasa sangat tidak kuat. Namun, sayang alih-alih sedikit memberikan pengertian, Axton justru datang menyusul dan mencoba membuka pintu.
Brak! Pintu tiba-tiba terbuka, bersamaan dengan munculnya sosok Axton dengan dua anak buah rekrutan asli dari negara itu, melainkan anak didik Herman pasca menjadi anggota geng Sayap Hitam alias Black Wings. Axton segera memastikan keadaan Ameera yang tampaknya tidak baik-baik saja. Memang benar, bahwasanya Ameera sudah tidak berkutik dan justru terdiam dengan lemah sembari memberikan pandangan sayu. Keadaan wanita itu benar-benar membuat Axton panik. Dengan cepat, Axton memutuskan untuk mengangkat tubuh sang istri.
"Ameera? Kau dengar aku, bukan? Ameera! Katakan sesuatu!" ucap Axton begitu cemas sembari terus melangkah sembari membawa tubuh sang istri dan menuju kamar.
"Panggilkan dokter, Sialan! Jangan malah membututiku!" tegas Axton pada kedua bawahannya yang justru begitu lambat saat melihat seorang wanita tak sadarkan diri.
"Baik, Tuan!" jawab kedua pria berjas hitam dengan badan super besar dan kekar tersebut. Detik berikutnya, mereka berjalan menjauh dari Axton untuk menemui Herman yang pastinya lebih paham mengenai dokter atau staf medis lainnya.
Tak berselang lama, akhirnya Axton sampai di kamar Ameera. Dengan dibantu oleh Surti, ia merebahkan tubuh sang istri di atas ranjang yang memiliki model bak tempat tidur putri keraton.
Axton menghela napas, lalu berkata, "Tinggalkan kami."
"Baik, Tuan," jawab Surti.
Sepeninggalan Surti, Axton duduk di sisi Ameera yang masih sangat lemah dan kini justru memejamkan mata. Axton tidak mengerti mengapa Ameera mendadak tak sadarkan diri, padahal belum lama ini wanita itu masih memberikan perlawanan atas aksinya.
***
"Nona Ameera dalam keadaan baik, Tuan. Beliau hanya mengalami syok dan stres, sehingga kondisi badannya langsung drop," ucap seorang dokter berusia tua pada Axton, sesaat setelah memeriksa tubuh Ameera.
Axton menghela napas lega, lalu ia berjalan menghampiri keberadaan Ameera tanpa memberikan sepatah kata pun mengenai ucapan terima kasihnya, sampai dokter tersebut agak heran.
Jujur saja, sebagai dokter yang sudah memiliki pengalaman selama bertahun-tahun, baru kali ini ia dipanggil ke sebuah mansion mewah tersebut. Keberadaan Axton yang tampaknya seorang milyarder pun terasa sangat aneh. Biasanya, seorang milyarder akan langsung terkenal nama dan wajahnya, tetapi Axton? Mengapa pria itu tampak asing dan seolah tidak dikenali orang?
Entah! Sang dokter yang merasa penasaran akhirnya memutuskan untuk mengabaikan semuanya. Mungkin sosok Axton ini memang memiliki prinsip hidup tidak ingin menjadi terkenal, meskipun dirinya sangat kaya raya. Akhirnya, setelah berpikir sedemikian rupa, sang dokter memutuskan pamit. Ia diantarkan oleh Herman yang sejak tadi juga berada di dalam kamar. Melalui Herman-lah, dokter itu menyampaikan pesan agar Ameera tidak diberikan beban pikiran terlalu banyak.
"Kalau begitu, saya pamit terlebih dahulu, Tuan Herman," ucap sang dokter sesaat setelah memberikan pesannya.
Herman mengangguk dan merunduk dengan sopan. Sikapnya menunjukkan sebuah tindakan seorang kepala pelayan yang sering sang dokter lihat di beberapa acara. "Kami akan mengantar Anda, Pak Dokter."
Dokter itu hanya tersenyum lalu melangkah lagi. Sebelum memasuki sebuah mobil yang disiapkan oleh Herman, dokter itu menatap ke sekeliling mansion. Mewah dan sangat luas. Tipikal kediaman yang pemiliknya harus seorang milyarder.
Hanya saja ... mengapa banyak sekali pria berpakaian serba hitam? Dan mengapa jarang ada sosok wanita dengan rumah sebesar itu? Hanya Satu orang yang berada di dalam kamar Ameera, bukankah itu aneh? Lalu, beberapa bendera bergambar sepasang sayap berwarna hitam pun berdiri di beberapa titik di pekarangan mansion tersebut. Seperti rumah komplotan bersenjata saja, pikir sang dokter lalu menghela napas dan berangsur menyelinap ke dalam mobil.
"Singkirkan dokter itu kalau dia melakukan sesuatu yang membahayakan untuk Tuan Axton dan anggota organisasi yang berada di mansion ini," ucap Herman pada salah satu bawahannya.
"Baik, Tuan Kepala," jawab sang anak buah tersebut.
Herman, orang kepercayaan Axton setelah Justin itu memang tak pernah main-main soal kesetiaan. Apalagi untuk situasi saat ini yang mengatakan bahwa Axton sedang dikejar oleh para aparat negara atau bahkan FBI sudah turun tangan atas dakwaan penambangan secara ilegal yang sampai menimbulkan bencana. Axton sudah dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab, karena aksinya tidak main-main. Beberapa petugas keamanan kawasan pertambangan itupun sedang diadili sekarang, karena diduga menerima suap dalam jumlah besar dari pihak Axton. Keadaan itu membuat Herman harus berhati-hati setelah memasukkan siapa pun yang masuk ke dalam mansion. Sebab menjaga keamanan Axton merupakan tugas terpenting dalam hidupnya saat ini.
Mengingat bagaimana Axton menyelamatkannya dari amukan masa sekian tahun yang lalu, saat dirinya dituduh sebagai pencuri perhiasan, membuat Herman harus terus sadar diri. Ia pernah dimasukkan ke dalam penjara dengan tidak adil, karena kenyataannya ia tidak melakukan kejahatan itu. Akibat dari menjadi narapidana, ia diceraikan oleh sang istri dan anaknya pun meninggalkannya. Hidup Herman nyaris berakhir, meski tak berselang lama dirinya dibebaskan. Hanya saja ... tiba-tiba seorang pria muda yang pernah menyelamatkannya kembali datang.
Pria muda itu memberikan tanda keanggotaan di sebuah organisasi hitam bernama Black Wings atau sering disebut sebagai Sayap Hitam di negara Herman tinggal. Rupanya, pria itu adalah Axton Axelcen, putra angkat raja mafia sebelumnya yang begitu jenius. Nama organisasi Sayap Hitam sendiri sering dibicarakan oleh para narapidana, sehingga Herman menjadi paham.
"Aku adalah orang yang berasal dari negara ini, Herman," ucap Axton pada saat itu, sikapnya benar-benar tidak sopan dan tampak mengerikan.
"Lalu, apa maksudmu menemuiku di sini, Anak Muda? Kau yang pernah menyelamatkanmu, bukan? Dan apakah kau hendak meminta imbalan dariku?" tanya Herman memastikan.
Axton menyeringai lalu menjawab, "Benar sekali. Sebentar lagi aku akan menjadi pimpinan baru atas organisasi Sayap Hitam. Aku ingin memperluas kekuasaan organisasi itu dan aku membutuhkanmu."
"Jadi?"
"Ingatlah, kau sudah tidak memiliki apa pun dan siapa pun di sini. Hanya aku yang bisa kau andalkan, Pak Tua."
Herman menelan saliva. Agak bimbang hatinya, sebab yang memberikan penawaran adalah putra dari seorang pimpinan mafia besar. Membayangkan seberapa kejamnya mereka saja, Herman sudah bergidik ngeri. Namun ... ketika teringat bahwa dirinya sudah sebatang kara, tidak lagi berharga, bahkan sering mendapatkan perlakuan semena-mena dari para rekan narapidana, akhirnya tidak ada pilihan lain, selain mengangguk setuju.
"Aku akan memberikan uang untukmu dalam jumlah yang sangat besar. Beli sebuah mansion megah atas namamu. Mansion itu akan menjadi tempat tinggalku ketika pulang ke negara ini. Lalu, rekrut anggota baru sebanyak-banyaknya. Didiklah mereka untuk menjadi orang yang kuat, dan bantu aku menguasai dunia. Kau tahu? Ayah angkatku sudah sekarat saat ini, jadi pengangkatanku sebagai penerusnya tidak akan lama lagi."
"Ba-baiklah, Tuan Axton," jawab Herman dengan getir.
"Sebelum itu, tentu saja aku yang akan mendidikmu terlebih dahulu, Pak Tua."
Herman menghela napas lalu sejenak memejamkan matanya. Kenangan awal pertemuannya dengan Axton tersebut memang memberikan pengaruh besar atas hidupnya. Ia tak lagi tinggal di rumah sempit dan menjadi hinaan orang lain. Ia tinggal di sebuah mansion dan bahkan bisa makan enak serta memiliki fasilitas terbaik. Banyak sekali anggota Sayap Hitam di negara itu yang ia rekrut untuk mendukung kekuasaan Axton yang justru sering beroperasi di Amerika.
Walau pada akhirnya, Herman harus menanggalkan kepribadian baiknya, lalu berubah menjadi kejam atas wujud pengabdiannya pada Axton Axelcen sekaligus organisasi Sayap Hitam alias Black Wings.
***