Cahapter 2
Emma membuka pesan masuk pada benda pipih di atas meja. John Lindsay mengirim sebuah pesan untuknya bahwa ia tak bisa datang malam Minggu ini. Alasannya? John tidak mengatakannya, dia cuma bilang tidak bisa berkencan malam ini.
"Tak masalah, kita memang harus bersungguh-sungguh dalam belajar karena ujian sebentar lagi." John Lindsay satu tingkat dengannya hanya saja di lain kelas.
[ Oke. No problem.] send...
Emma menghenyakkan bokongnya di tempat tidur. 'Akan tetapi sebenarnya aku sedang bosan malam ini,' keluhnya dalam hati.
"Emma, apakah ini pantas untukku?" Isabelle berdiri di gawang pintu kamar sambil memamerkan sebuah pakaian berwarna biru Turkish. Pakaian itu adalah pakaian kesayangannya yang ia dapat dari mendiang ibunya.
"Apa yang kau lakukan Isabelle, bagaimana bisa kau menyentuh pakaian itu?" Emma sangat emosi. Dia ingat menyimpan baju itu cukup rapat di sebuah kotak penyimpanan. Dia berencana memakainya di hari istimewa nanti.
"Oh, aku tidak sengaja menemukan. Daripada rusak, akan lebih baik aku memakainya."
"Tidak sengaja? Aku menyimpannya pada kotak pribadiku, bagaimana bisa dikatakan tidak sengaja?"
Dalam keadaan yang sedang menegang, Eleanor datang melerai.
"Emma, kenapa seakan-akan kamu menganggap Isabelle orang jahat? Setidaknya kamu juga harus berterima kasih karena kamar yang engkau gunakan adalah kamar Isabelle. Isabelle telah banyak mengalah kepadamu, apa wajar kalau kamu pelit kepadanya?"
Emma mengepalkan tangannya, mendengar pembelaan Eleanor.
"Tapi bibi, baju itu adalah kenangan dari Ibu," ucap Emma lirih.
"Tenang saja, Sarah tidak pelit seperti kamu. Dia pasti mengijinkan baju ini dipakai Isabelle."
Emma mendesah, dia adalah putri Sarah, kakak perempuan Eleanor. Sarah hidup berkecukupan dari Danial ayahnya, kenyataannya Eleanor tidak menyukai ibunya karena hidup enak. Dia selalu datang menggoda ayahnya sehingga ayah dan ibunya bertengkar hebat. Emma telah menyadari hal itu, bahwa Eleanor selalu punya ambisi untuk mencari perhatian ayahnya.
Malam itu, mereka bertengkar hebat di mobil. Eleanor memanggil ayahnya beralasan Isabelle sakit keras dan butuh bantuan. Dengan tergesa ayahnya datang bermaksud untuk membantu Eleanor hendak membawa Isabelle ke rumah sakit. Tanpa diduga, ibunya Sarah juga berkunjung dengan membawa Emma bersama untuk mengantar bahan makanan pokok untuk membantu ekonomi adiknya.
Disitulah Sarah sangat murka melihat Danial datang di malam hari, sementara Sarah melihat Eleanor memakai pakaian yang sangat seksi seakan menunggu seseorang untuk berkencan.
Kesalahpahaman terjadi, mereka pulang dalam keadaan bertengkar hebat. Emma yang ada di bangku belakang hanya bisa menangis. Jalanan licin karena gerimis dan kabut membuat mobil kehilangan keseimbangannya. Danial tidak fokus menyetir dan mereka berakhir terperosok ke jurang antara menghantam pohon.
Emma sempat tidak sadarkan diri beberapa hari, hingga akhirnya sadar dalam keadaan kedua orang tuanya masih berada di meja operasi.
Bagaimana mungkin Emma melupakan kisah tragis kedua orang tuanya? Penyebab tragedi itu secara tak langsung disebabkan oleh kejahatan Eleanor.
"Baiklah. Gunakan saja, tapi aku tidak akan mengijinkan kamu memakainya lagi. Itu adalah kenangan dari ibuku." Emma meninggalkan mereka berdua dalam keadaan marah.
"Aku merasa buruk malam ini!" gerutunya. Lalu ia memakai Hoodie berwarna hitam dan sepatu kets berwarna kelabu. Melangkah keluar rumah mencari udara segar. Ia merasa moodnya terkoyak sampai luluh lantak. Mengenang kejadian tragis orang tuanya membuat hatinya hancur.
Akan sangat mudah menumpahkan kesedihan dengan melihat air yang mengalir. Berharap kesedihan itu ikut mengalir di air sungai Fludge yang jernih.
Ia berdiri di pagar jembatan yang dibangun rendah di atas air itu. Dengan tangannya di saku hoodie yang ia kenakan, menatap jauh kearah air yang pergi menjauh.
Lampu-lampu memaparkan sinarnya di atas permukaan air sungai sehingga membentuk kilatan-kilatan kecil disana. Emma hanya menikmati, tak ada keinginan apapun kecuali ingin diam dan menikmati malamnya.
Merasa bosan, Emma melangkah ke sebuah monumen kecil dengan kepala kerbau disana. Melihat lalu lalang kendaraan di dalam kegelapan tempat itu.
Namun tak berapa lama sebuah mobil sport yang cukup ia kenali berhenti tak jauh dari tempat itu. Sedetik hatinya bahagia, dia pasti John. Ia menegakkan tubuhnya, namun pada detik berikutnya pria itu turun melihat sesuatu pada roda belakang mobil itu, dan detik berikutnya lagi seorang wanita yang sangat familiar menyusulnya.
"Apakah tidak mengapa?" suara si wanita itu cukup jelas didengar Emma, dia adalah Isabelle.
"Jangan kuatir, ini tak mengapa." sahut pria itu menenangkan si wanita lalu memberikan usapan pada punggung si wanita.
Bibir Emma bergetar. "John... Isabelle apa yang telah kalian lakukan padaku?" Hati Emma hancur. Semua itu telah menjelaskan bagaimana kenyataan yang harus ia terima.
Langkahnya membeku, menatap marah pada dua sosok yang masuk kedalam mobil tersebut.
"Isabelle, kenapa kau selalu membuatku menangis?" Emma mengepalkan tangannya. Menyadari betapa tidak adilnya perbuatan Isabelle dan juga John yang berkhianat kepadanya, iapun menjadi marah.
Sepanjang jalan pulang, Emma selalu menyeka air matanya yang mengalir. Gerimis mulai jatuh membasahi dedaunan di tepi jalan. Ia melanjutkan langkahnya dan menghirup udara lembab malam itu.
Ia masuk ke dalam rumah, mendapati Eleanor berbicara dengan seorang pria paruu baya dengan penampilan parlente. Sepintas Emma berhenti di penyekat antara ruang tengah dengan ruang tamu. 'Apakah pria itu adalah kekasih Eleanor yang baru?' Emma membatin, ia menempelkan telinganya karena penasaran.
"Kau benar-benar menjamin anak itu masih perawan?"
"Tentu saja, aku menjamin. Aku yang merawatnya sejak kematian ibunya, tentu saja aku tau," Eleanor menjelaskan.
Emma menautkan alisnya, siapa sebenarnya yang mereka maksudkan? Emma menjadi semakin penasaran. Lalu ia menguping lagi.
"Jadi berapa uang muka yang engkau butuhkan?"
"Tidak banyak, aku mau satu juta dimuka," katanya.
Pria itu mendesah. "Sayangnya dia terlalu kurus, tapi baiklah. Aku setuju."
Tubuh Emma gemetaran, sekarang semakin jelas siapa yang telah mereka bicarakan.