Chereads / Vampir Buruk Rupa / Chapter 3 - chapter 3

Chapter 3 - chapter 3

Chapter 3

Emma membanting tubuhnya di kasur miliknya. "Haruskah gue melarikan diri dari rumah ini?" Emma berpikir keras.

Setelah apa yang telah Isabelle dan John lakukan kepadanya, sekarang Bibi Eleanor bermaksud menjualnya kepada pria tadi. Ia membalik tubuhnya pada selimut tebal dan menangis meraung-raung mengingat nasibnya.

"Bibi... kenapa kau hancurkan hidup kami?" Emma benar-benar merasa hancur.

"Gue harus pergi dari rumah ini!" gumamnya pelan. Matanya telah berair sejak tadi.

Ia mengambil tiga setel pakaian dan dua setel pakaian sekolah, mengambil buku-buku sekolah dan memasukkannya ke dalam ransel. Dan juga sebuah komik "Vampir buruk rupa" milik Linda yang belum sempat ia kembalikan.

"Linda, gue masih belum selesai membacanya. Jadi gue masih meminjamnya," Emma berbisik pada komik tersebut.

Emma merapikan ransel miliknya, lalu meletakkan di kolong tempat tidur agar tidak kentara. Ia harus mengambil waktu yang tepat untuk pergi dari rumah itu.

Beberapa kali menyusut air matanya dengan kain yang kasar membuat matanya semakin bengkak.

Mengingat sebuah pesan yang mengatakan bahwa dia tidak bisa datang malam Minggu ini, John Lindsay telah berbohong kepalanya dan sangat jelas dia berselingkuh darinya. Lalu dengan Isabelle yang memakai pakaian kesayangannya, telah menginjak harga dirinya, tanpa rasa malu mengambil kesempatan diantara mereka. Sangat mengejutkan!

Dan sesuatu yang paling membuatnya takut adalah rencana bibi Eleanor Roosevelt untuk menjualnya kepada pria tua tadi.

"Tapi gue mau lari kemana ya?" desahnya ragu. "Sekolah juga masih kurang setahun lagi, apa mungkin gue bisa bertahan?" Emma berpikir, lalu memikirkan sebuah pekerjaan yang bisa ia lakukan sambil bersekolah.

Kali ini Emma menangis lagi, perutnya yang tadinya lapar sekarang telah penuh sesak dengan ketakutan. Ia tak ada waktu untuk memikirkan sesuatu yang bisa mengisi perutnya.

"Ibu, aku rindu padamu ibu. Ayah, aku merindukanmu..." Emma terisak. Menjadi puing diantara reruntuhan itu adalah bagian dari hidupnya.

Pintu kamarnya terdorong oleh seseorang.

"Nih! Aku nggak butuh lagi bajumu!" Emma melempar baju itu di kepalanya. Tak ada rasa bersalah atau berterima kasih. Baju itu pasti telah terkotori keringatnya.

Namun Emma masih berpikir itu lebih baik daripada dia terus menggunakannya. Isabelle masih berdiri di pintu dengan hinaan yang tak pernah berhenti.

"Oh, ya. Seseorang telah membelikan baju untukku. Lihatlah, pakaian ini tampak sangat berkelas. Aku sungguh beruntung!"

Emma mengangkat wajahnya saat mendengar ucapan Isabelle. Bukankah seseorang itu yang dia maksud adalah John Lindsay?

Melihat tampilan Isabelle di dalam situasi ini, tidakkah itu menyedihkan? Emma menatap Isabelle yang tersenyum mengejek kepadanya.

Isabelle bersuara lagi, "Dengar, aku merasa kasihan kepadamu. Kamu menangis hanya karena baju murahan itu, itulah sebabnya aku tunjukkan kepadamu bahwa aku bisa membeli yang lebih bagus darimu, bajumu memang murahan!"

'Elo lebih murahan dari baju ini. Tidak perduli John Lindsay adalah seorang yang kaya raya, gue nggak pernah mau menerima pemberian seorang pria begitu saja.'

Emma bangga dengan prinsipnya, ia tak mau berutang dan terikat dengan pria tanpa tali pernikahan. Sekarang kenyataan jelas mengatakan bahwa John Lindsay bukanlah pria idamannya.

"Baiklah, lakukan sesukamu dan keluarlah dari kamarku sekarang juga!" Emma menggeram, muak dengan semua orang.

Lalu ia membanting pintu kamarnya sekuat tenaga karena luka yang masih menganga.

Emma mengambil baju itu, menatapnya dengan sedih. Tanpa sengaja melihat baju itu telah koyak pada bagian roknya. "Inikah rasa terimakasihmu Isabelle?" Emma meremas pakaian itu, ia sudah tak bisa bersabar lagi.

*

Kejadian semalam membuat Emma terlambat bangun. Padahal ia berencana pergi di pagi buta, mungkin ia terlalu lelah karena energinya terkuras untuk menangis.

Syukurlah hari ini hari libur, iapun berpikir untuk keluar rumah dulu mencari pekerjaan atau rumah yang bisa ditempati. Dengan begitu, ia hanya tinggal menjalankan rencananya.

"Paman Edward, bisakah engkau mempekerjakan aku beberapa hari ini? Aku sangat membutuhkan pekerjaan."

"Maafkan aku gadis manis, kami tidak punya karyawan karena toko sedang sepi. Maafkan," Paman Edward adalah kenalan ayahnya semasa hidupnya. Tokonya memang sedikit sepi akhir-akhir ini.

Bisa terlihat dari jumlah pengunjung yang datang yang tak begitu ramai. Emma keluar dengan senyuman, ia bisa mengerti paman Edward tak bisa menolongnya.

Lalu ia merasa tertarik dengan sebuah toko barang antik yang berdiri megah di hadapannya.

Dengan sedikit harapan ia membuka pintu kaca yang berwarna gelap, Emma melangkah ke dalam.

Seorang pria botak berdiri menyambutnya.

"Adakah yang bisa kubantu Nona?"

"Maaf, Tuan. Sebenarnya saya sedang mencari pekerjaan," jawabnya sedikit ragu.

Pria botak itu menatap pada sebuah kursi besar yang membelakangi mereka, seakan meminta pendapat orang yang berada dibalik kursi itu.

"Bagaimana Anda bisa datang tepat waktu Nona, kami memang membutuhkan seorang pekerja."

"Benarkah? Ini membuatku sedikit...," Emma tak bisa melanjutkan, ia merasa senang hingga tak tahu harus bicara apa.

"Itu tidak masalah, kami memiliki banyak pekerjaan yang sesuai," pria botak itu tersenyum lebar.

"Apakah yang harus aku lakukan, Tuan?"

"Panggil aku Anderson, aku adalah asisten Tuan Ronaldo. Pekerjaanmu adalah membersihkan barang antik yang berada di lantai atas Nona."

"Oh ya, namaku Emma. Terimakasih Anderson."