Toko itu sangat hening. Emma bekerja membersihkan rak penempatan barang-barang antik dengan sangat hati-hati. Matanya terkagum-kagum dengan guci dan porselen kuno yang indah. Sebuah mangkuk dengan penutup dari bahan porselen dihargai dengan angka dua yang menunjukkan barang itu memiliki harga diatas dua juta dolar dan dibawah tiga juta dolar. Dengan koleksi ratusan barang kuno di dalam toko ini tentu bisa dibayangkan berapa nilai barang yang ada di toko tersebut.
"Emma, perhatian tanganmu. Jika satu saja porselen ini pecah, Tuan Ronaldo akan marah," tegur Anderson mengingatkan Emma agar berhati-hati.
Emma mengangguk. "Baiklah Tuan, saya akan sangat berhati-hati."
Emma melihat kepergian Anderson. Entah kenapa ia mengenali hawa dingin ini. Sesuatu yang tidak asing, tapi dia tidak ingat dimana.
Sejak tadi Emma memikirkan Tuan Ronaldo pemilik toko tersebut. Namun ia hanya melihat punggung kursi yang besar di belakang meja kerjanya. Ia sangat penasaran.
Emma melihat sebuah gelang antik. Gelang dengan batu zamrud asli. Emma terpekik melihat harganya. " Wow, gue nggak pernah tahu ada gelang semahal itu. Tapi, aku seperti pernah melihat gelang seperti ini?" Alis Emma bertaut, gelang itu sangat familiar di matanya.
Tiba-tiba seorang pengunjung datang. Anderson mengajaknya berbicara, sepertinya ia adalah seseorang yang sudah biasa datang ke toko.
Pria dengan pakaian serba hitam menatap Emma. Samar-samar suaranya terdengar di telinga Emma.
"Apakah anak itu telah kembali?"
"Saya tidak yakin, selama dia tidak berhubungan dengan klan kita, mungkin dia hanyalah manusia biasa."
Emma kembali menoleh karena seperti sedang dibicarakan. Apa maksudnya klan dan apa maksudnya manusia biasa? Siapa yang mereka maksudkan?
"Itu tidak boleh terjadi, Tuan Ronaldo mengharapkan dia kembali," kata Anderson kepada pria berjubah hitam itu.
"Anderson, kau tahu Klark tak menginginkan untuk kembali kepada klan. Sewaktu-waktu dia akan mewujudkan keinginannya menjadi manusia biasa."
Emma masih menguping, 'siapa Klark ini?' mungkinkah ia salah seorang anak Tuan Ronaldo?
Sore hari, Emma mendapatkan upah yang lumayan. Sedikit melelahkan karena barang-barang itu harus disikapi dengan sangat hati-hati. Untungnya Emma terbiasa bekerja dengan waspada. Bibi Eleanor akan mengamuk jika ia membuat perabot yang ada di rumahnya gompel apalagi pecah.
Menyusuri jalan ke rumahnya memakan waktu hampir dua puluh menit. Emma bisa melihat mobil si tua di malam itu sudah terparkir di depan rumah Bibi Eleanor.
Emma berusaha tenang.
'Sial! Hidup gue serasa berada di neraka!' rutuknya dalam hati.
Langkahnya mengendap dari samping rumah. Ia bisa melihat sepintas wajah pria tua itu. 'Siapa pria itu sebenarnya?' Emma berdebar. Ada perasaan aneh menjalar di hatinya. Hal itu membuatnya penasaran mengenai sia
pa pria itu. Ia kembali mengintip dari celah kecil yang berada di pembatas ruangan.
"Nyonya Eleanor, saya peringatkan kepadamu agar tidak menyesali perbuatan Anda. Anda memiliki tipikal orang jahat."
"Manusia bahkan akan menggigit dagingnya sendiri jika lapar, Tuan Ronaldo. Saya tidak akan menyesalinya."
Bulu kuduk Emma merinding. Apakah yang sebenarnya mereka bicarakan?
"Biarkan saya melihatnya. Saya memberikan uang satu juta dimuka jika saya bisa membawanya malam ini."
Sambil mengucapkan itu, sorot mata pria itu menembus celah dimana Emma mengintip. Sangat tajam dan menghujam. Itu sangat aneh karena celah itu sangat kecil.
Emma mundur selangkah. Rasa takut menghampiri dirinya.
"Aneh! Apakah dia ngeliat gue? Nggak mungkin bukan?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Bersamaan dengan itu Bibi Eleanor Roosevelt melewati pembatas dan melihatnya dengan senyuman mengulas.
"Emma sayang, datanglah kesini. Seseorang ingin melihatmu."
Emma menggelengkan kepalanya.
"Tidak Bibi, Aku tidak mau!" tolaknya.
"Ini bukan apa-apa, Kau hanya bekerja di rumahnya. Tidakkah engkau melihat, Bibi hanyalah seorang janda dan kedua adikmu juga lebih membutuhkan biaya. Aku telah merawatmu setelah kematian orang tuamu, dan juga merawat mereka ketika itu. Tidakkah engkau merasa Bibi kesulitan saat ini?"
Emma terenyuh. Ada benarnya bahwa bibinya adalah satu-satunya yang perduli dengan hidupnya.
"Pekerjaan apa sebenarnya? Kenapa dia bertanya tentang keperawanan?" Emma menatap tajam.
"Aah, itu karena ia tidak mau mempekerjakan wanita nakal Emma sayang, mengertilah..."
"Tapi Bibi,"
"Ayolah, kau bisa melihatnya dulu apa pekerjaan yang harus dilakukan nanti malam Emma, jika kamu memang tidak mau kami tidak akan memaksanya," ujar Eleanor memelas.
Emma menghempaskan napas berat. "Baiklah, aku akan melihat pekerjaannya." Akhirnya dia menyerah.
Menuju ruang tamu dimana Tuan Ronaldo berada, Emma belum melupakan sorot mata tajam yang dihujamkan kepadanya pada celah kecil tadi. Emma yakin ada sesuatu yang tidak beres, tapi dia berusaha mengelak perasaannya sendiri.
Lagi, Emma terjebak dalam hawa dingin yang menusuk kulitnya. Terlebih saat sorot matanya bersitatap dengan pria itu. Hal itu membuatnya mundur beberapa langkah dan bersedekap mengurangi sensasi dingin yang ia rasakan.
Emma mengulurkan tangannya, menyentuh tangan pria itu yang terasa dingin. Ada sesuatu yang aneh yang mengalir di hatinya.
"Hallo Emma, aku adalah ayah Klark. Senang bertemu denganmu." ujar pria itu dengan senyum tipisnya.
'Klark? Siapa Klark? rasanya gue nggak punya temen bernama Klark?' Emma membatin, ia berusaha berpikir siapa Klark yang dimaksud?
Emma hanya mengangguk kecil, memicingkan mata dan menautkan alisnya. 'Kenapa aku merasa tidak asing dengan suasana ini?'