Chereads / Suamiku Berbahaya / Chapter 8 - Murahan

Chapter 8 - Murahan

Tak!

"Kamu meminta kopi tanpa gula," ucap Reina.

"Jangan membantah, harusnya kamu mengerti, itu artinya gulanya hanya sedikit," jelas Theo.

"Tapi."

"JANGAN MEMBATAH LAREINA ZELINE." Bentak Theo.

"Terus mau kamu apa?" tanya Reina.

"Mau aku apa?" Theo mencengkram dagu Reina.

"BUAT YANG BARU." Reina menutup matanya begitu Theo kembali berteriak dan membentaknya.

Reina bangkit dan segera membuat minuman yang baru untuk Theo.

Theo memperhatikan Reina yang kembali dengan segelas minum di tangannya.

"Ini." Reina meletakkan teh panas herbal di hadapan Theo.

"Kenapa malah teh?"

"Kopi tidak baik untukmu, jadi lebih baik kamu minum teh."

"Berani mengatur?"

"Tidak."

"Aku menyuruhmu membuat kopi bukan teh."

"Kalau tidak suka ya sudah." Reina ingin mengambilnya kembali tehnya, namun lagi-lagi Theo mencegah.

"Simpan di situ."

"Sabar Reina." Batin Reina menjerit, karena terlanjur hilang kesabaran dengan manusia bernama Theo.

"Kenapa diam, duduk kembali di sana." Perintah Theo sambil menunjuk tempat di sampingnya dengan dagu. Reina dengan sabar kembali duduk di tempat semula.

Berjam-jam lamanya, Reina hanya diam, sedari tadi Theo hanya fokus dengan pekerjaannya. Sampai seorang maid mengetuk pintu kamar mereka, karena Adya dan Safira sudah menunggu untuk makan malam bersama.

Theo dan Reina segera pergi ke bawah, begitu tiba di meja makan, mereka langsung duduk di tempat masing-masing.

"Kak Reina." Safira yang awalnya duduk di samping Adya, langsung beralih tempat dan duduk di samping Reina.

"Safira, duduk bersama Mommy." Perintah Theo.

"Tidak, aku ingin duduk dengan Kakakku."

"Biarkan Safira duduk bersama Reina," lerai Adya.

"Iya Mommy." Theo akan mudah mengalah dengan Adya.

"Makanlah yang banyak Safira."

"Iya Kak Reina." Safira tersenyum membalas senyuman Reina.

Sepanjang makan malam mereka, Safira tak henti-hentinya membuat keluarganya tertawa.

"Safira, jangan banyak bicara, cepat habiskan makananmu." Perintah Theo.

"Nanggung Kak." Safira menatap kakaknya cemberut.

"Safira." Reina mengusap kepala Safira.

Safira tertawa kecil, "Iya Kak Reina." Safira akhirnya mau diam begitu Reina yang menegurnya.

Melihat hal tersebut, Theo sedikit tidak terima, biasanya Safira akan patuh dengannya. Tapi lihat sekarang, Safira malah patuh dengan Reina yang notabennya hanya kakak ipar.

Selesai makan malam, mereka kembali ke kamar masing-masing.

"Kak Theo, mau aku siapkan air hangat juga pakaiannya?" tanya Reina.

"Gak perlu so peduli."

"Baiklah." Reina mengangkat bahunya acuh.

Theo lebih dulu membersihkan diri, kemudian barulah Reina. Selesai membersihkan diri, Reina keluar dari kamar mandi.

"Kak Theo."

"Apa lagi?" Ucap Theo jengah.

"Apa aku tidur di sofa lagi?" Theo menatap Reina lekat.

"Terus, kamu mau aku membagi ranjang ini denganmu? jelas tidak."

"Jangan harap aku mau tidur bersama denganmu." Lanjut ucapan Theo.

Reina tidak peduli jika Theo tidak ingin tidur dengannya, yang Reina khawatirkan adalah tubuhnya, satu malam saja sudah membuat tubuh Reina pegal, apalagi dua malam dan seterusnya.

"Ya sudah, aku mau tidur di kamar yang lain."

"Berani keluar, aku akan menghukum mu."

"Ya terus gimana, aku tidak mau tidur di sofa." Jelas Reina.

"Jangan memancing amarahku."

"Kalau begitu, kamu saja yang tidur di sofa." Saran Reina yang membuat emosi Theo naik.

"Aku pemilik kamar ini, kamu berani memerintah hah?" Bentak Theo.

"Ya." Reina dengan terpaksa tidur di sofa lagi.

Reina langsung memposisikan diri untuk tidur, karena percuma berdebat dengan Theo, yang ada dia hanya akan kena marah.

"Reina, kita belum selesai bicara."

"Tidak ada lagi yang perlu di bahas." Reina mulai memejamkan matanya.

Namun detik berikutnya, tubuh Reina menegang, bagaimana tidak, Theo langsung menindih tubuhnya begitu saja.

Reina membuka mata, dengan tatapan terkejut, "Kak Theo minggir."

Napas Theo jelas terasa di kulit wajah Reina, dan sialnya, detak jantung Reina berdegup sangat kencang.

"Kenapa hah?" Theo tersenyum miring.

"Aku bilang minggir." Ucap Reina takut.

"Wanita murahan, hanya begini saja kamu langsung bereaksi." Theo mendengar bagaimana kencangnya detak jantung Reina.

Mendengar kata yang Theo ucapkan mampu menusuk hati Reina, bagaimana bisa Theo dengan mudah mengatakan dirinya wanita murahan. Dengan sekuat tenaga Reina memukul lengan Theo agar bangkit, "Pukulan mu sama sekali tidak ada efek." Theo langsung bangkit dari posisinya.

"Kenapa?" Tanya Theo melihat Reina menatapnya marah.

"Jaga ucapan mu."

"Ucapan ku yang mana?" Pancing Theo.

"Aku tidak mau bicara lagi denganmu." Reina bangkit bermaksud untuk keluar, namun Theo langsung mencengkram tangan Reina.

"Lepas." Reina berhasil menghempas tangan Theo.

"Mau pergi kemana hem?" Namun Theo malah memeluknya dari belakang.

"Lepas." Reina berusaha melepas pegangan tangan Theo di perutnya.

"Jangan harap kamu bisa pergi seenaknya." Dengan kasar Theo mendorong Reina sampai jatuh ke atas sofa.

Theo berjalan ke arah pintu, mengunci pintu, lalu memasukan kuncinya di saku celana yang dia pakai.

"Gak usah cengeng." Theo tau, pasti Reina akan menangis sebentar lagi.

Theo terbaring di atas ranjang dan Reina terduduk di sofa sambil menahan air matanya yang ingin keluar.

Reina menahan air mata dengan jari tangan, namun memang pada dasarnya dia adalah wanita yang begitu berperasaan, akhirnya air mata itu jatuh juga, membasahi pipinya dan Reina mencoba untuk tidak terisak.

"Dasar wanita lemah, murahan, berhenti menangis!" sarkas Theo.

Reina menatap Theo sendu, seenaknya saja Theo mengatakan jika dirinya murahan, Theo tidak tau bagaimana dirinya, kenapa dengan mudah menilai Reina murahan. Jika Theo mengatakan lemah, itu wajar dan Reina sadar kalau dirinya memang lemah.

Theo menutup matanya dan Reina masih berusaha menghentikan tangisannya. Karena terganggu, Theo membuka mata, lalu menatap Reina tajam.

"Berhenti menangis! kamu mau aku hukum?" Ancam Theo.

Reina mengusap kedua pipinya, "Aku tidak menangis."

"Kamu itu menganggu."

"Aku tidak mengganggumu." Reina bangkit lalu pergi ke kamar mandi.

Reina menatap pantulan dirinya di cermin, Reina membasuh wajahnya lalu tersenyum sedih.

"Ayah dan Nathan sedang apa yah kira-kira." Reina merindukan keluarganya.

Dua pria yang begitu sangat menyayanginya, mereka tidak pernah berprilaku kasar seperti Theo. Mungkin sudah takdir, Reina malah berhadapan dengan pria kasar seperti Theo.

Reina keluar dari kamar mandi, begitu keluar, Reina melihat Theo yang sudah tertidur pulas. Reina berjalan ke arah sofa, mendudukkan dirinya, lalu berbaring.

Reina berusaha untuk tertidur, namun matanya belum juga mau tertutup, Reina sudah beberapa kali ganti posisi. Reina menghembuskan napasnya pelan, menarik napas lalu menghembuskan nya lagi, sampai tak lama Reina pun bisa tertidur.

Theo membuka mata, sedari tadi Theo memang belum tidur. Theo menatap ke arah Reina, tidak ada rasa kasihan atau iba, Theo hanya ingin memastikan apa Reina masih bangun atau tidak, karena Theo tidak ingin Reina menganggu tidurnya. Saat mengetahui Reina telah tertidur, Theo pun kembali memejamkan matanya.