Setelah kejadian semalam, Reina menjadi banyak diam. Adya dan Safira yang sadar dengan perubahan sikap Reina tentu bertanya-tanya.
"Kak Reina kenapa?" tanya Safira.
"Tidak apa Safira," jawab Reina.
"Sayang, jujur dengan Mommy."
"Dia hanya pusing." Jawab Theo sambil memakan sarapannya.
"Jika sakit, bawa istri mu ke dokter sayang," saran Adya.
"Sebentar lagi juga sembuh."
"Tidak bisa begitu."
"Mommy, aku tidak apa." Reina menengahi pembicaraan Theo dan Adya.
"Yah, padahal aku ingin jalan-jalan dengan Kak Reina."
"Maaf yah Safira, mungkin lain kali."
"Iya Kak Reina."
Begitu selesai sarapan, mereka kembali ke kamar kecuali Safira, karena Safira hari ini ingin jalan-jalan keluar, sudah lama Safira tidak melihat keramaian kota seoul.
Reina langsung berbaring di sofa karena semalam dia kurang tidur.
"Jangan banyak drama di depan keluargaku." Reina tidak bereaksi dengan ucapan Theo.
"Dengar ucapan ku Reina!" bentak Theo.
Reina bangkit dari sofa lalu menghampiri Theo.
"Apalagi yang mau kamu lakukan?" tantang Reina.
"Kamu menantang ku?" Theo menyeringai.
"Kita baru saja beberapa hari menikah, tapi kamu sudah membuatku muak." Reina mengeluarkan isi hatinya.
Reina sudah memikirkannya semalam, dia tidak boleh lemah, jika lemah, maka Theo akan semakin berbuat seenaknya.
"Wah, punya nyali juga ternyata." Theo tertawa kecil.
Reina sebenarnya tidak berani, tapi jika seperti itu terus Reina akan lebih menderita.
"Kita lihat sampai sejauh mana keberanian mu." Theo mendekatkan wajahnya dengan wajah Reina.
Reina terdiam, kini Reina bingung dengan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Aku ingin keluar," ucap Reina.
"Boleh saja, tapi ada syaratnya, kamu boleh keluar jika kamu berhasil membuatku bungkam." Reina berusaha memikirkan caranya.
"Bisa, aku rasa tidak." Ucap Theo meremehkan Reina.
Seketika ide gila itu muncul, "Hanya itu?" Tanya Reina untuk memastikan.
"Emm," jawab Theo.
Reina tampak ragu dengan idenya, namun dengan secepat kilat.
Chup!
Reina mencium bibir Theo sekilas, merasa tidak ada pergerakan dari Theo, Reina tersenyum itu artinya dia menang. Dengan senyum kemenangan, Reina segera keluar dari kamarnya.
Theo blank, Theo masih berusaha mencerna perbuatan istrinya, begitu menyadari Reina pergi, Theo menampar wajahnya sendiri. Theo tidak mengira jika Reina dengan berani akan menciumnya.
"Sial!" Theo marah karena kesalahan bodohnya.
.
.
.
Safira berjalan-jalan di sekitar sungai han, ini adalah tempat favoritnya jika sedang di korea, Safira melihat banyak perubahan di tempat favoritnya ini.
"Banyak sekali perubahan selama aku tidak di korea," monolog Safira.
Setelah jauh berjalan menyusuri sungai han, Safira melihat street food jalanan, dengan langkah santai Safira mendatangi tempat makan tersebut.
"Permisi, aku mau pesan tteokpokki, odeng, sotteok dan juga hottang," ucap Safira.
"Mohon ditunggu Nona."
"Iya."
Safira menunggu makanannya siap, di sebelahnya ada seorang pria sedang asik makan juga. Begitu pesanannya siap, Safira langsung memakan makanannya dengan rakus, jujur Safira sangat rindu dengan makanan ini.
Setelah selesai makan, Safira pun membayar makanannya.
"Maaf Nona, kami hanya menerima uang cas."
"Tidak bisa pakai kartu yah?"
"Tidak bisa Nona."
Safira kebingungan, "Aku tidak membawa uang cas."
"Ada apa?" Tanya pria di sebelah Safira.
"Nona ini ingin membayar dengan kartu, tapi kami hanya menerima uang cas," jelas sang penjual.
"Biar aku saja yang bayar, berapa harganya dengan makananku?"
"23,000 won Tuan."
"Ini uangnya." Setelah membayar, pria itu langsung pergi.
Safira segera menyusul kepergian pria itu, "Tunggu sebentar." Safira menghadang jalan.
"Ada apa?"
"Terima kasih banyak, aku harus menganti uangmu."
"Tidak usah." Pria tersebut kembali berjalan.
"Tunggu dulu." Namun Safira lagi-lagi menghadang jalannya.
"Ada apa lagi Nona?"
"Aku tidak suka memiliki hutang, jadi ayo ikut aku untuk membawa uang." Safira menarik tangan pria yang menolongnya.
"Bisa tolong lepaskan tanganku Nona?"
"Ouh iya, maaf, aku tidak sengaja." Safira menatap jalanan sekitar, dari kiri ke kanan, dari depan ke belakang.
"Di sini tidak ada mesin ATM?" tanya Safira.
"Di sebelah sana, tapi jauh," jawabnya.
"Dimana yah? aku tidak tau, karena aku baru saja pulang ke korea."
"Tidak apa, lagi pula, kamu tidak perlu menganti uangku."
Safira menggelengkan kepalanya, "Tidak bisa begitu, tapi sebelum itu, perkenalkan aku Safira." Safira memperkenalkan namanya.
"Nathan." Pria tersebut ternyata adalah Nathan.
"Aku merasa familiar dengan nama itu." Safira merasa pernah mendengar nama Nathan.
"Urusan kita sudah selesai, kamu tidak perlu mengganti uangku, anggap saja sebagai salam perkenalan."
"Baiklah, terima kasih."
"Kalau begitu aku pergi," pamit Nathan.
"Kak Nathan." Nathan berbalik lalu menatap Safira
"Sepertinya kamu lebih tua dariku, jadi tak apakan aku memanggilmu Kakak."
"Iya tak apa."
Safira tersenyum lalu berkata, "Kak Nathan, bolehkah aku meminta bantuan?"
"Bantuan apa?" tanya Nathan.
"Aku tidak tau jalan pulang, apa bisa Kakak tunjukan dimana halte bus terdekat?"
"Ayo," ajak Nathan.
"Kakak tidak keberatan kan?"
"Tidak." Nathan jalan lebih dulu dan Safira mengikuti langkah Nathan dari belakang.
Mereka tiba di halte bus terdekat, Safira pun mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih dan sampai jumpa Kak Nathan."
"Sama-sama, semoga kita tidak bertemu lagi." Nathan langsung pergi begitu telah mengantar Safira.
"Dasar aneh, kalau terpaksa ya bilang." Safira menggerutu kesal, tapi mengingat kebaikan Nathan, Safira pun memilih diam.
.
.
.
Reina sedang menemani Adya melihat-lihat tanaman yang ditanam oleh mertuanya di kebun indoor.
"Bunganya sangat cantik."
"Kamu suka bunga apa sayang?" tanya Adya.
"Tulip berwarna ungu," jawab Reina.
"Kita memiliki selera yang sama, tapi Mommy sebenarnya suka dengan semua jenis bunga." Adya melihat-lihat bunga mawar di sebelahnya.
"Ini bunga kesukaan Safira."
"Mawar merah?" tanya Reina.
"Iya, atau kalau tidak, bunga tiger lili." Adya menunjukan bunga-bunganya.
"Ternyata Safira juga pencinta tanaman."
Reina dan Adya banyak berbincang entah tentang Safira atau tentang bunga yang sedang mereka lihat.
"Waktu semakin sore, tapi Safira belum juga pulang." Adya mencemaskan anaknya.
"Sebentar lagi Safira pasti pulang Mommy."
"Hai." Pucuk di cinta, ulat pun tiba.
"Aku di sini Mommy, Kak Reina." Safira menghampiri Adya dan Reina.
"Darimana kamu sayang?"
"Aku habis jalan-jalan di sungai han Mommy." Ucap Safira dengan ceria.
"Kamu menikmatinya Safira?"
"Iya, di sana sangat asik, lain kali aku ingin pergi dengan Kak Reina."
"Mommy tidak di ajak?" Adya bertanya sambil tersenyum.
"Tentu dengan Mommy, itupun kalau Mommy mau." Mereka bertiga tertawa.
Tak terasa malam pun tiba, Reina, Adya dan Safira sedang asik berbincang di dapur sambil membuat makan malam.
"Reina pintar sekali memasak," puji Adya.
"Aku tidak sehebat Mommy," ucap Reina.
"Lain kali, aku mau belajar memasak bersama Kak Reina," ucap Safira.
"Boleh."
"Ekhem!" Theo datang menghampiri keluarganya.
"Kak Theo, lihat hasil masakannya Kak Reina, Kak Reina membuatnya sangat bagus bukan?" Tanya Safira begitu antusias.
"Emm, sangat bagus." Theo menghampiri Reina, lalu memeluk pinggang Reina dari samping.
"Bagus, sampai lupa dengan suaminya." Reina ingin menghempas tangan Theo, tapi tidak bisa, dia takut mertuanya juga Safira curiga.
"Kak Theo menganggu." Safira menjauhkan Theo dari Reina.
"Lebih baik Kak Theo tunggu di sana, ini wilayah kekuasaan para wanita." Adya tersenyum melihat tingkah kedua anaknya.
"Ya baiklah, Kakak mengalah untuk sekarang." Reina bernapas lega, untung saja Safira membantunya.
"Kak Theo sangat mengganggu kan Kak Reina?" tanya Safira.
"Iya." Reina tersenyum.
Makan malam sudah siap, mereka segera memulai acara makan malam bersama.