Theo baru saja tiba di mansion keluarga Nicholas, Mommy Theo bernama Adya lantas menyambut kedatangan anaknya.
"Sayang."
Theo mendekat ke arah Adya, "Mommy belum tidur?"
"Belum, Mommy ingin menunggumu pulang." Theo tersenyum, pasti ada yang sedang Adya pikirkan, makannya Mommy nya ini tidak tidur.
"Kenapa Mommy?" Theo mengusap punggung tangan Adya.
Adya tersenyum lalu bertanya, "Bagaimana persiapan kalian?"
"Semuanya sudah siap." Theo tersenyum manis.
Inilah Theo jika bersama dengan orang yang dia cintai. Theo akan bersikap manis dan lembut, berbeda jika dengan orang lain.
"Mommy istirahatlah."
"Kamu juga, jangan terlalu bekerja keras, sampai kamu tidak tidur."
"Iya Mommy." Theo memeluk Adya.
Kemudian Theo melepaskan pelukannya, dan Adya kembali bertanya, "Sayang, bagaimana dengan adikmu, apa dia akan pulang untuk menghadiri acara pernikahan?"
Theo tampak terdiam sebentar, "Sepertinya tidak Mommy, ini kan bukan acara penting."
Adya memukul pelan lengan anaknya, "Ya ampun sayang, ini itu acara yang sangat penting, adikmu harus datang." Acara pernikahan itu adalah acara yang sakral dan suci, tentu saja ini acara yang sangat penting.
"Dia sibuk di paris, tidak ada waktu untuk menghadiri acara nanti." Theo beralasan.
"Berusahalah agar adikmu datang, Mommy ingin Safira juga jadi saksi pernikahan kakaknya."
"Akan Theo usahakan."
Setelah banyak berbincang, Theo pun mengantarkan Adya untuk istirahat, barulah Theo pergi ke kamarnya.
.
.
.
Keesokan harinya seperti biasa Theo pasti akan pergi ke kantor TBN CORP, oleh sebab itu, Reina berinisiatif untuk pergi ke sana.
"Kak Reina, mau pergi kemana?" Tanya Nathan begitu melihat Reina turun dengan pakaian rapih.
"Ke kantor Theo," jawab Reina.
"Ouh." Nathan menganggukkan kepalanya.
"Nathan, bekerjalah di sana," saran Edwin.
"Aku tidak mau," tolak Nathan.
"Anak nakal, sampai kapan kamu mau jadi pengangguran dan hanya bermain game?"
"Ayah, meskipun aku bermain game, aku bisa mendapatkan uang." Ucap Nathan dan itu memang benar, hanya bermain game, Nathan bisa menghasilkan uang.
"Tidak bisa, lebih baik kamu kerja di kantoran, biar nanti Ayah yang bicara kepada Abang mu."
Nathan seketika merinding, bekerja di kantor Theo, itu bencana baginya. Dan Nathan sama sekali tidak ada niatan atau mau bekerja di sana, meskipun Theo sendiri yang memintanya.
"Aku gak mau kerja di perusahaan dia."
"Nathan."
"Ayah, Nathan, aku pergi dulu, sampai jumpa." Reina pergi tanpa melerai pertikaian ayah dan adiknya, karena percuma di lerai, mereka akan tetap bertengkar.
"Hati-hati sayang."
Reina naik taksi menuju kantor Theo. Begitu tiba di tujuan, Reina segera keluar dan tak lupa membayar ongkos taksinya.
Begitu melihat Reina, para karyawan jelas saja memusatkan perhatian mereka. Reina hanya tersenyum kikuk, masih tidak terbiasa dengan hal seperti ini.
"Nona Reina." Panggil seorang pria, yang Reina kenal sebagai sekertaris dari calon suaminya.
"Farel."
"Selamat siang, Nyonya Nicholas." Farel membungkukkan badannya untuk menyapa Reina.
"Tidak perlu menyapaku seperti itu."
"Maaf Nyonya Nicholas, saya sedikit tidak sopan tadi." Farel sangat segan, dia lupa cara menyapa calon Nyonya Nicholas dengan benar.
Reina tersenyum tipis, "Tidak apa Farel, dan lebih baik kamu memanggilku seperti tadi."
"Tidak bisa begitu Nyonya Nicholas."
"Aku bukan Nyonya Nicholas." Jelas Reina sedikit tidak suka.
"Tapikan sebentar lagi."
Reina terdiam, "Iya sih."
"Nyonya Nicholas mau bertemu Tuan?" Reina mengangguk kepalanya.
"Silahkan Nyonya." Farel dengan sigap segera mengantarkan Reina menuju ruangan Theo yang berada di lantai paling atas.
Begitu sampai, Farel segera melangkah untuk mengetuk pintu ruangan Theo.
"Masuk." Suara izin dari Theo terdengar.
Farel membuka pintu untuk Reina, lalu Farel membungkuk ke arah Theo.
"Tuan, Nyonya Nicholas datang."
Theo langsung mengalihkan perhatiannya dari berkas-berkas yang dia pegang.
"Farel, kamu bisa pergi sekarang."
"Baik Tuan, silahkan Nyonya." Begitu Reina masuk ke dalam ruangan Theo, Farel langsung berpamitan dan menutup pintu.
"Ada apa?" Tanya Theo langsung ke intinya.
"Ada sesuatu yang ingin aku katakan," jawab Reina.
"Emm, duduklah." Reina duduk di sofa yang ada di dalam ruangan Theo, lalu Theo pun ikuti duduk di samping Reina.
"Kenapa?"
"Ini tentang pernikahan kita."
"Memangnya kenapa?"
"Emm itu." Reina merasa segan untuk mengutarakan pendapatnya.
"Apa ada yang kurang?"
"Tidak, bukan itu."
"Jangan bertele-tele, aku tidak suka menunggu." Mendengar suara Theo, Reina sedikit takut. Namun Reina harus menyampaikan pendapatnya.
"Menurutku sebaiknya kamu memikirkan kembali tentang pernikahan kita." Reina menatap Theo cemas, karena Reina baru pertama kali melihat tatapan tajam Theo yang mampu membuat nyalinya ciut seketika.
"Ma-maksudku, aku tidak ingin kamu menyesal karena menikah denganku."
"Aku tidak akan pernah menyesal." Theo menggenggam tangan Reina, jelas saja Reina terkejut dengan tindakan tiba-tiba dari Theo.
"Justru aku akan sangat senang jika kamu menjadi istriku, yang aku khawatirkan itu adalah rencana yang sudah aku buat dengan sangat rapih harus, gagal." Kalimat terakhir terdengar menakutkan di telinga Reina.
Keraguan Reina semakin menjadi, semalaman dia memikirkan masalah ini, sampai insomnia nya kambuh. Reina belum mengenal Theo dengan baik, begitupun sebaliknya, Reina khawatir pernikahan mereka tidak akan bertahan lama.
"Tapi." Ucapan Reina terpotong.
"Syut!" Theo menutup bibir Reina dengan jari telunjuknya, Reina membulatkan matanya, jarak mereka terlalu dekat.
"Jangan katakan apapun, cukup tunggu waktu, sampai kita berdua benar-benar resmi menikah."
Reina berusaha tenang, setelah tenang, Reina pun memanggil nama Theo, "Kak Theo."
"Cukup Lareina Zeline!"
"Aku tidak yakin," ucap Reina.
"Bagaimana caranya aku menyakinkan mu?" Theo makin mendekat ke arah Reina dan Reina mundur untuk memberi jarak di antara mereka. Karena tindakan Theo lebih cepat, Theo mendorong Reina ke belakang, alhasil Reina terbaring dengan Theo yang berada di atasnya.
"Kak Theo." Ucap Reina takut karena Theo tidak memberi jarak.
"Haruskah aku meyakinkanmu dengan sebuah ciuman?" Reina terdiam.
"Atau, haruskah kita melakukan hubungan intim sekarang juga?" Reina mulai panik.
Glek!
Reina menelan ludah susah payah, mana mungkin mereka melakukannya sekarang.
"Ti-tidak." Ucap Reina begitu gugup.
"Jawaban yang benar. Jadi sayang, tunggu dan bersiaplah." Theo tersenyum miring.
Theo segera bangkit dan berlalu menuju meja kerjanya meninggalkan Reina yang masih mematung di tempat. Theo kembali sibuk dengan berkas, sedangkan Reina masih berusaha menetralkan pernapasannya, bisa-bisanya Theo mengatakan hal seperti itu.
Karena Reina tidak ingin jika Theo benar-benar akan melakukan hal itu, Reina lantas bangkit dan segera pamit pergi. Theo menawarkan untuk mengantar, namun Reina menolak, saat ini yang terbaik adalah menghindari Theo. Reina sedikitnya mulai mengenali sifat dan sikap Theo, Theo adalah pria yang begitu berambisi, dan apa yang dia katakan atau kehendaki, maka itulah yang akan terjadi.