"Kumohon, Aaron. Jangan memutuskanku!" seru Grace saat Aaron dengan tegas memutuskan Grace. Aku dan Steven hanya terpaku di sana. Rasanya aku ingin pergi dari sini tapi kakiku tak bisa melangkah.
Aaron menepiskan tangan Grace yang melingkar di lengannya. "Kau pikir aku mau dengan wanita murahan sepertimu? Aku tidak peduli, Grace, jika kau sudah tidur dengan laki-laki lain sebelum bersamaku, tapi di saat kita bersama? Kurasa kau bahkan tak mengingatku sebagai pacarmu," jelas Aaron.
Yang membuatku terkejut adalah ketika Steven menggapai tubuh Grace yang ditepis oleh Aaron. Menyadarkanku bahwa Steven mungkin sudah menyukai Grace juga. Ck! Dasar laki-laki buaya!
"Well, Mayleen ... tak ada salahnya juga kan, kau memutuskan laki-laki brengsek ini? Jangan sampai ada penyesalan, Mayleen. Karena aku bahkan tidak menyesal telah memutuskan Grace!" lantang Aaron.
Aaron pergi dari hadapanku. Sementara itu Grace masih mengejarnya dan Steven menghentikannya. Pemandangan ini memuakkanku. Aku langsung kembali ke mejaku dan meraih tasku. Setelah itu aku keluar dari kantor dan memilih menjauh dari suasana kantor yang sedang panas ini. Tidak peduli dengan ketidakhadiranku setelah ini, yang jelas aku memerlukan udara segar untuk dadaku yang mulai terasa sesak.
Kugenggam kartu nama Ken dan menimbang-nimbang apakah aku harus menghubunginya? Aku tidak ingin menghubungi Hendrick walau pun aku sangat ingin. Padahal sebenarnya yang kubutuh adalah Hendrick, bukan Ken.
Pada akhirnya, yang kutuju adalah apartemen Hendrick. Bahkan aku baru sadar saat aku menyuruh taksi untuk mengantarku ke alamat apartemen Hendrick.
Sebelum menekan bel apartemennya, Aku menghela napasnya. Lalu saat aku akan mengetuk, aku sadar bahwa pintu apartemen Hendrick sedikit terbuka dan aku mendengar suara.
"Hendrick, Hendrick ... aku mau keluar!" teriakan itu membuat tubuhku membeku. Mataku bahkan sudah berkaca-kaca dan mendadak aku hampir terjatuh.
"Well, kita akan keluar bersama, Sera! Akan aku percepat!" dengusan dan suara yang seperti memburu itu semakin membuatku yakin bahwa Hendrick sedang bercinta dengan Sera.
Aku membalikkan tubuhnya dan meninggalkan apartemen Hendrick dengan rasa sakit hati yang hampir sama seperti saat melihat Steven dan Grace.
Air mataku langsung terjatuh dan aku benar-benar bingung. Aku butuh sandran dan ketenangan. Butuh seseorang yang bisa memelukku. Itu saja. Tidak bercinta pun tidak akan masalah untukku.
Mungkin Ken akan cukup membantu. Ya, aku harus menghubunginya.
"Halo?" sapanya saat aku panggilanku sudah terhubung padanya.
"Ken, aku Mayleen."
"Mayleen, apa kau baik-baik saja?" Aku yakin suaraku tidak baik-baik saja di telinganya sehingga ia bertanya hal yang normal.
"Tidak," kugelengkan kepalaku sekali pun ia tidak melihatku.
"Kau di mana? Katakan. Akan kujemput."
Kukatakan keberadaanku dengan suara isak yang sudah membuatku tak kuat. Lalu aku mematikan panggilanku dan menunggunya datang.
***
Aku berpikir bahwa Ken akan mengajakku ke kafe atau suatu tempat untuk menikmati sesuatu. Tapi ternyata ia malah membawaku ke rumahnya yang mewah dan besar. Bahkan ia tak perlu susah payah membuka pagar rumahnya. Cukup mengatakan "buka pagarnya" saja, pagar itu sudah terbuka secara otomatis.
Keren. Itulah yang kupikirkan. Seperti yang kulihat dengan jabatan di kartu namanya, ia adalah seorang yang kaya raya.
"Minumlah," katanya seraya memberikan secangkir coklat hangat. Setidaknya aku tahu itu coklat karena dari aromanya.
Kuseduh perlahan sebagai penenang diri. Aku duduk di sofa sementara ia di depanku dengan dibatasi meja. "Kau merasa lebih baik?"
"Kurasa, ya," jawabku.
"Tenangkan dirimu dulu, lalu ceritalah padaku."
"Apakah kau tidak bekerja?" tanyaku mengalihkan.
"Aku menyerahkan pekerjaanku pada Will. Dia tangan kananku saat aku sedang di luar seperti ini."
"Oh. Maafkan aku karena mengganggumu."
"Tidak, tidak. Kau sama sekali tidak menggangguku. Sebel bersamamu, kau sudah di luar kantor."
Aku meletakkan cangkir yang kupegang dan menghela napasku. Lalu aku bercerita selayaknya aku bercerita pada Hendrick. Tidak ada yang kutupi. Dari perasaan hingga tentang seks.
Ken sama sekali tidak memotong ucapanku. Ia mendengarkan dengan khusyuk. Aku sedikit terpesona dan terganggu dengan ketampanannya.
"Jadi karena itu kemarin kau berusaha mengajak seks?" tanyanya tanpa merasa sungkan.
Aku mengangguk lemah dengan bibir menipis. "Aku merasa melakukan itu akan membuatku jauh lebih baik, Ken."
"Well, tapi setelahnya kau akan merasakan kesakitan itu lagi," katanya.
Harus aku akui, bahwa apa yang ia katakan itu benar. Aku hanya akan merasa baikan saat seks sedang berlangsung. Lalu setelahnya aku kembali merasakan sakit itu lagi.
Ken berdiri dan mengatakan "tutup tirainya", membuat tirai rumahnya benar-benar tutup. Keadaan sedikit menjadi gelap dan aku menjadi bingung. Ia menatapku seraya melepaskan dasinya.
"Well, bagaimana pun, aku akan melakukannya untukmu," katanya dan menaruh dasinya di sofa.
Tangannya terulur padaku hingga aku berdiri. Tanpa ragu dan bimbang, aku membalas ciuman Ken. Aku sibuk dalam pikiranku yang kupikir ia tidak akan melakukannya. Entah karena belas kasihannya padaku, atau apa, ia akhirnya melakukannya.
Aku melepaskan kemejanya dengan terburu-buru dan ia membuatku duduk di pangkuannya. Lalu aku menarik diri karena teringat sesuatu. "Apa ada orang?" Dan Ken menggeleng untuk menjawabnya. Lalu kami kembali berciuman.
Kulepas pakaianku dan menyisaka bra yang menutup payudaraku. Ken mengeluarkan keduanya hingga ia mengisapnya sangat dalam. Bagaimana pun aku tersihir oleh kepandaian mulutnya.
"Kau sangat nikmat, wangi, dan memabukkan," katanya.
"Dan kau menolaknya," kataku.
"Sekarang tidak."
Selama melakukan pemanasan, aku dan Ken sudah menanggalkan pakaian kami. Aku bisa merasakan ereksinya sudah menegang di dalam diriku. Sengaja aku bergerak pelan untuk membuatnya frustasi karena sejak awal ia sudah menolakku.
Namun Ken rupanya luar biasa kuat dan sangat nakal. Ia menggendongku hingga aku melingkarkan kedua kakiku dipinggangnya. Menggerakanku dan membuatku gila.
"Aku akan membuatmu merasa berbeda saat bersamaku," katanya.
Sambil tetap bergoyang, Ken membawaku ke dapur dan mendudukkanku di sana.
Harus aku akui, Ken sangat ekstrem ketika bercinta denganku. Dan ia membuktikan kata-katanya. Bahkan aku sudah sangat lemas tak berdaya.
Entah jam berapa aku membuka mata dengan keadaan masih mengantuk. Aku melirik ke kanan dan kiri, ternyata aku sudah berada di sebuah kamar dengan selimut menutupiku.
Kamarr yang mewah dengan ukuran kasur king size. Bahkan besarnya seperti tiga kali lipat ukuran kamarku.
"Kau sudah bangun? Minumlah ini," katanya. Ia memberikanku vitamin C dan segelas air mineral.
"Hmm, jam berapa ini?" tanyaku setelah itu.
"Tujuh malam."
"Shit! Aku harus pulang!" kataku segera beranjak. Aku meraih pakaianku yang sudah rapi terlipat. Membuatku berkerut karena wangi pakaianku seperti habis di cuci. Tapi aku tidak ingin berpikir jauh, jadi aku tetap mengenakannya dan bercermin.
"Tunggu, aku akan mengantarmu," kata Ken lalu ia mengganti pakaiannya dengan kasual.
Aku menatap dirinya melalui cermin. Baru aku sadari betapa indahnya tubuhnya itu.
"Jangan menatapku seperti itu, Mayleen. Atau kau akan terjebak dalam seks lagi bersamaku," katanya tanpa melihatku, namun ia tahu aku memperhatikannya. Membuatku bergidik dan menelan ludahku dengan susah payah.