"Nah, lihat anak-anak kita, mereka selalu terlihat serasi, bukan? Kenapa tidak kita jodohkan saja sejak dulu?" kata Olive memuji Hendrick dan aku yang baru saja datang.
Aku sangat senang mendengar pujian itu. Jika itu menjadi kenyataan, kurasa akulah orang pertama yang akan merasa bahagia.
"Mom! Aku punya pacar. Ingat?" kata Hendrick berbisik, sementara aku bisa mendengarnya dengan jelas karena kami begitu dekat.
Aku merasa jantungku berhenti berdetak saat itu. Seperti habis dibuat melayang, lalu jatuh begitu saja. Menghancurkan mimpiku dan membangunkanku tanpa kuminta. Aku berusaha bersikap senormal mungkin, berusaha membantu Hendrick yang sedang merasa terpojok karena pembicaraan orang tua kami tentang menjodohkan kami.
"Terima kasih, Olive. Tapi kita tidak akan menjadi pasangan seperti yang kalian katakan," kataku.
"Ah, sayang sekali. Tapi kami sangat setuju jika kalian berdua bisa bersama," kali ini Mom menambahkan, tentu saja ia membela Olive.
Aku menghela nafas. Lalu seketika, suasana berubah menjadi hening karena makan malam akan dimulai. Setidaknya aku lega dan tidak lagi merasa kasihan pada Hendrick. Dia pasti memikirkan apa yang dikatakan orang tua kamim
"Omong-omong, Sayang, kau mau ikut kami ke Paris? Kau tahu, sepupu Hendrick, Wesley, akan menikah bulan depan," Olive angkat bicara, menawarkanku untuk pergi ke Paris.
Aku terdiam sejenak dan menatap orang tuaku yang hanya mengangguk serta Hendrick yang hanya diam tidak memberiku respon. Sepertinya dia tidak ingin aku ikut, jadi aku akan menolaknya.
"Ah, ya, aku tahu, Olive. Tapi kurasa aku tidak bisa, sayang sekali. Aku harus bekerja," kataku sopan.
"Sayang, kau tidak akan bekerja di tempat itu lagi," Dad tiba-tiba menambahkan dengan suaranya yang tegas.
"A-apa? Dad... tapi-"
"Sudahlah, Mayleen. Ambil saja tawarannya, lagipula kau perlu refreshing, kan." Hendrick membuka suaranya dan menatapku dengan tatapan penuh arti.
Aku hanya bisa menghela nafas dan mengangguk. Yah, mungkin Hendrick berubah pikiran dan menyuruhku ikut dengannya ke Paris. Tapi ketika membicarakan pekerjaan, aku menatap Dad dengan serius yang menyiratkan bahwa kami harus membicarakannya lagi saat sampai di rumah.
"Well, oke! Aku senang sekali! Kalau begitu kau harus berkemas mulai sekarang," kata Olive bersemangat.
"Mom, masih sebulan lagi, tak perlu terburu-buru," jawab Hendrick.
"Siapa yang peduli, Sayang? Persiapan diperlukan mulai saat ini untuk bepergian yang jauh. Benarkah, Maymay?" Olive bertanya padaku, meminta persetujuan. Aku hanya mengangguk, apalagi dia sudah memanggilku dengan nama panggilan favoritnya. Terdengar sangat enggemaskan.
Makan malam berjalan sangat lancar. Suasana dan percakapan yang mendukung membuat aku merasa nyaman dalam beberapa jam. Tapi ketika Hendrick dan aku berada di mobil untuk pulang, ia hanya diam sepanjang jalan.
Entah apa yang membuatnya diam seperti ini, aku tidak ingin menanyakannya karena bisa saja jawabannya akan menyakiti hatiku nantinya, dan aku belum siap mendengar hal-hal yang menyakiykan.
"Antar aja aku langsung ke rumah," kataku tanpa memandangnya.
"Oke."
Lihat? Kalian dapat melihat bagaimana ia menanggapiku. Sesaat hatiku yang tadinya sedang gembira-gembiranya, merasa sakit di kemudian karena perilakunya padaku.
Benar ternyata, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik untuk efek ke depannya.
Saat mobil berhenti di depan rumah, aku langsung keluar dan menuju pintu. Meraih kunci rumah di tempat khusus kebiasaan di keluargaku ehingga kami tidak perlu membawa kunci serep.
Aku membukanya dengan begitu cepat membuat tanganku bergetar dan kuncinya jatuh teoat di bawahku Kemudian Hendrick meraihnya tepat saat aku hendak mengambilnya. Ia menatapku sejenak, dan aku mengambil kuncinya dengan paksa.
"Kau marah padaku," katanya lebih ke pernyataan.
Dia bercanda, ya? Sebenarnya, siapa yang memulai keheningan pertama dengan ekspresi kesal? Dia, kan? Dan aku... Aku terbawa suasana hingga membuat suasana hatiku menjadinberantakan.
"Tidak, aku tidak marah. Pulang saja, Hendrick. Aku lelah," kataku sambil masuk dan menutup pintu. Aku segera berlari ke kamarku dan mengunci jendela agar Hendrick tidak masuk seperti biasanya. Kali ini aku butuh waktu sendiri tanpa gangguan darinya.
***
Seperti biasa, alarmku berbunyi. Aku langsung mematikannya karena aku tidak tidur sama sekali tadi malam. Tadi malam, seperti yang kalian tahu, aku mengunci jendela kamarku dan mematikan lampu kamar. Lalu aku bisa melihat bayangan Hendrick di balik tirai jendelaku. Dia memaksaku untuk membukanya, tapi aku tetap diam dan menatap jendela kamarku seolah-olah aku sudah tidur.
Sekarang, aku masih berbaring menatap jendela kamarku. Sinar matahari cukup banyak masuk dan membuat mataku terasa silau. Aku tidak bangun dari tempat tidur karena merasa malas sudah menggerogoti diriku.
"Mayleen... sayang, kau sudah bangun?" Suara Mom terdengar saat ia mengetuk pintu kamarku.
Aku tetap diam dan tidak bergerak. Aku hanya menghela napas. Hari ini aku ingin bermalas-malasan sebentar. Jika aku tidak bisa bekerja di kantor itu lagi, maka aku ingin waktuku sendiri.
"Sayang, Hendrick datang untuk sarapan bersama. Bangunlah," kata Mom lagi. Ah, sepertinya Hendrick sengaja datang untuk memastikan bahwa aku tidak benar-benar marah padanya.
Kali ini aku langsung menggerakkan tubuhku menatap langit-langit. Memejamkan mataku sebentar lalu aku duduk.
Aku langsung menuju cermin dan melihat diriku sendiri. Sekarang bisa kulihat kantung mataku berwarna hitam karena aku memang tidak biasa bergadang. Lalu aku segera mencuci muka dan mengaplikasikan foundation ke area di bawah kantung mataku agar aku tidak ketahuan bahwa semalaman aku tidak tidur.
Dan sekarang aku merasa mengantuk di sertau mataku yang terasa perih.
Aku berganti ke tank top dan hot pants. Membuat diriku sedikit berantakan seolah-olah aku baru saja bangun tidur. Lalu aku keluar kamar dan turun ke bawah. Sebelum benar-benar Hendrick melihatku, aku sudah melihatnya sedang berbicara pada Dad. Bagaimana aku bisa terlalu lama kesal padanya jika ketampanannya terkadang membuatki luluh? Apalagi ia sangat pintar mengambil hati kedua orang tuaku. Aku jadi heran, bagaimana bisa ia bukan kekasihku melainkan hanya seorang sahabat?
"Maaf, aku tidur terlalu lama," kataku pada Mom dan Dad. Aku segera mengambil sereal dan kemudian menuangkan susu.
"Hei, Mayleen... bagaimana kalau kita pergi ke Central Park setelah ini?" tanya Hendrick.
"Aku tidak bisa, Hendrick. Maaf," kataku tanpa memandangnya.
"Baby girl, ikut Hendrick dan jangan menolaknya. Kau harus jalan-jalan agar pikiranmu segar," Das tiba-tiba memerintah, menyuruhku mengikuti Hendrick.
Aku mencibir kesal. Karena jika Dad sudah memerintahkan dengan suaranya yang besar itu, aku tidak akan bisa menolak. Sebenarnya kepada Mom pun aku tak bisa menolak. Jika keduanya menyuruhku untuk melakukan hal yang tak kusuka, aku akan tetap menjalankan perintah mereka walau dengan gumaman kesalku.
Aku pun mengangguk pasrah, lalu pandangan terarah pada Hendrick, ia tersenyum penuh kemenangan padaku karena tahu aoa kelemahanku jika berada di hadapan Dad atau Mom.