Steven menggerakkan tangannya dan meraih daguku hingga kepalaku terangkat menatapnya. Ia menatapku dengan 'bolehkah aku?' yang tentu saja aku tanggapi dengan anggukkan kepala.
Perlahan kami berciuman. Rasanya canggung setelah sekian lama tidak merasakan ciuman dari kekasih, walau pun terakhir kali Steven menciumku, aku sedikit menepisnya.
Awalnya, aku merasa canggung. Ini ciuman pertamaku dengan Steven yang cukup dalam. Kemudian Steven dengan terampil menuntunku untuk menikmati sensasi ciumannya.
Ciuman Steven sangat lembut. Saking lembutnya, aku hampir tidak ingin melepaskannya. Tapi apa boleh buat, kami berada di tempat umum. Aku juga ingat bahwa aku masih harus kembali ke rumah.
"Aku akan membuatmu mencintaiku, Mayleen. Untuk saat ini, ikuti saja caraku, oke?" katanya kemudian.
Aku berdeham dan mengangguk. Aku belum siap untuk berbicara setelah ciuman kami, karena aku masih berusaha mengatur napasku.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanyanya untuk kedua kalinya.
Aku memberinya gerakan 'tunggu sebentar' karena aku masih butuh waktu. Itu aneh. Ciumannya bisa membuatku merasakan sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba ada perasaan malu dan senang yang sepertinya tumbuh di perutku. Kemudian seperti ada yang terbang, aku tidak tahu apa dan bagaimana menjelaskannya. Nah, intinya seperti itu.
"Ini ciuman pertama kita, Stev..." kataku padanya. "Ciuman yang sangat dalam," tambahku.
"Ya... lalu?" tanyanya dengan satu alis terangkat.
"Aku merasa aneh... kau tahu... ada perasaan suka dan bahagia?" kataku memberitahu.
Steven tersenyum dan membawaku ke dalam pelukannya. "Oh, Sayang... kau tahu betapa senangnya aku mendengar kabar darimu. Mungkin perasaan itu mulai tumbuh."
Aku mengangguk. Ia mungkin benar, pikirku. Karena aku tidak memikirkan bagaimana perasaanku tentang Hendrick saat aku merasa nyaman dengan ciuman Steven.
"Well, apakah kau keberatan jika aku menjemputmu besok dan kita pergi ke kantor bersama?" tanyanya berhati-hati.
"Jika kau tidak keberatan, maka aku pun tak keberatan juga," jawabku seakan membeonya.
"Oke. Aku tidak akan terima keterlambatan, Mayleen. Aku ingin kau siap saat aku menjemputmu. Kalau tidak... aku akan menghukummu," katanya tegas dan aku bisa menangkap kilatan tatapan nakalnya.
Aku tertawa. "Oke, Bos. Kalau begitu, aku harus kembali ke rumah sekarang."
"Apakah kau baik-baik saja?"
"Ya. Lebih baik. Terima kasih, Steven."
Kami berdiri dan saling berhadapan. "Biarkan aku menciummu lagi," katanya. Lalu ia mencium keningku dan aku tersenyum malu.
Aku masuk ke mobilku dan Steven masuk ke mobilnya. Kemudian ia membiarkan aku berada di depan sehingga aku bisa diawasi olehnya. Tiba-tiba suasana di sekitarku terasa lebih romantis dari yang pernah aku bayangkan.
***
Seperti yang dijanjikan kemarin, Steven menjemputku untuk pergi bersama ke kantor. Sebenarnya aku belum siap karena pasti penampilan kami akan membuat beberapa karyawan lain membicarakan hubunganku dengan Steven.
Apalagi Steven adalah seorang Bos sekaligus pemilik kantor. Tapi Steven telah meyakinkanku bahwa aku tidak perlu khawatir dan merasa cemas. Karena hal-hal seperti itu adalah hal biasa. Well, biasa untuknya tapi tidak untukku. Sebab ini adalah pertama kalinya aku berpacaran dengan atasanku sendiri.
"Mom, aku akan berangkat kerja," kataku pada Mom. Dad seperti biasa selalu menghilang lebih awal dan aku memang jarang melihatnya di pagi hari.
"Hati-hati, Mayleen."
"Kalau begitu aku pamit, Mrs. Ong," kata Steven sambil mencium tangan Mom.
Aku sedikit terkejut bahwa Steven mudah sekali mengambil hati Mom. "Oh, kau manis sekali, Nak," Mom memuji dengan gembira.
Akhirnya, Steven dan aku keluar dari rumah untuk menuju mobilnya. Dia bahkan membukakan pintu mobil untukku. Sepertinya Steven mencoba yang terbaik untuk membuatku jatuh cinta padanya. Yah, sejauh ini aku sangat menghargainya.
***
Satu hari kembali bekerja di tempat yang sama membuatku pusing karena tiba-tiba rekan kerjaku menanyakan hubunganku dengan Steven. Salah satunya adalah Grace, dia sangat antusias ingin aku menceritakan bagaimana kami bisa mulai berpacaran.
Untungnya, Steven yang menjelaskan kepada mereka. Aku bahkan sedikit heran karena tidak pernah ada Bos yang menjelaskan sepenuhnya tentang bagaiman ia berpacaran bersama karyawannya.
Aku sempat menggeleng-gelengkan kepala karena Steven terlalu berlebihan saat akan menjelaskan kepada mereka. Bayangkan saja, ia bahkan mengadakan pertemuan di ruang konferensi dan menjelaskan semuanya. Ia pikir ini adalah pertemuan mengenai pekerjaan yang bisa disamakan begitu saja? Lucu dan unik.
Tapi yang aku suka adalah, Steven adil terhadap semua karyawannya. Maksudku, ia bahkan tidak peduli jika aku kekasihnya yang bekerja di kantornya, apabila aku salah di tempat kerja maka aku tetap salah. Semua sama-sama merasakan keadilan Steven.
Setelah sampai di rumah, aku langsung menyiapkan air panas untuk mandi. Akh merasa perlu menyegarkan tubuh dan kepala ku. Apalagi akhir-akhir ini aku terlibat hubungan asmara yang cukup aneh.
Tidak ada kabar dari Hendrick sejak kemarin. Aku rindu ia banyak bicara padaku. Tapi aku mulai sedikit gugup untuk memulai terlebih dahulu. Sudahlah, mungkin aku harus menghabiskan waktuku tanpanya.
Untungnya, setelah Steven mengantarku pulang, ia tidak bisa mampir. Kaj ingin 'me-time' sendiri, jadi dia juga mengerti apa yang aku butuhkan.
"Sayang, ada Hendrick di luar mencarimu. Setelah selesai, keluarlah." Suara ibu menyuruhku untuk menghentikan mandiku. Bukan karena Mom, tapi kehadiran Hendrick yang sepertinya muncul karena sugestiku. Sial! Padahal aku tadi sudah putus asa agar tak berharap bertemu dengannya.
Aku keluar dari bak mandi dan akhirnya mandi melalui pancuran. Membilas tubuhku dengan sabun yang sudah dibersihkan dengan air bersih, lalu aku segera keluar dari kamar mandi untuk bersiap-siap.
Dengan pakaian sederhana, hanya mengenakan kaos oblong dan celana mini, serta rambut yang masih sedikit basah, aku turun ke bawah. Hendrick datang ke sini pasti dia ingin mengatakan sesuatu.
"Nah, itu dia," kata Mom pada Hendrick.
Aku datang dan duduk di sofa. Sedikit menjauh darinya. Ia hanya menatapku sampai Mom meninggalkanku bersamanya.
"Aku sudah mengambil keputusan," dia memulai.
Satu alisku terangkat sehingga dia bisa melanjutkan apa yang dia maksud. Tapi awalnya aku juga tidak paham maksudnya.
"Kau akan ke Paris. Jadi kau tidak perlu memberi tahu Mom bahwa kamu tidak bisa ikut. Kau bisa ikut dan aku tidak ingin ada penolakan atau pertengkaran lagi," jelasnya.
"Apakah Sera akan baik-baik saja jika dia tidak ikut?" tanyaku.
Hendrick terdiam sejenak dan matanya tampak gelisah. Aku tiba-tiba merasa tidak enak.
"Dia... tetap akan ikut. Yah, Ibu sebenarnya tidak mengizinkannya dan tidak akan membelikannya tiket, jadi aku bersikeras agar Sera ikut dan aku yang akan menanggungnya," jawabnya.
Untuk sepersekian detik, perasaan yang tadinya senang karena aku akhirnya tidak harus membatalkan keterlibatanku ke Paris, mendadak jadi sendu karena tahu Sera tetap akan ikut, seperti yang Hendrick katakan.