"Paman sudah pulang?" sambut Belle menopang sikunya, menyamankan beban tubuh 'tuk bangkit.
Tertatih-tatih Belle datang menghampiri Marlon yang terduduk di sebrang, lelaki itu kelihatan sangat lelah sampai bicara saja enggan. Belle tersenyum hangat, membelai pipi kiri Marlon sebelum melepas dasinya, lalu duduk di pangkuan beliau bersandar manja. Tidak seperti biasa kali ini kedua tangan Marlon diam, terasa kaku, sama sekali tak membelai rambut Belle atau mengelus perutnya kian lama semakin besar.
Itu membuat Belle bingung sehingga dirinya bangkit, menatap Marlon seksama, dan bertanya lirih. "Kau baik-baik saja? Atau ..."
Kriing! Belle meremas ujung daster hamilnya sesaat mendapati Marlon beranjak mengangkat telepon, berbicara cukup lama sampai kaki kram.
Batin Belle merintih, tetapi gadis itu tetap bersikukuh menunggu Marlon hingga selesai, mendekati dirinya untuk meminta maaf. Ini sudah menit ke tiga puluh. Hasilnya masih seperti di awal dalam penantian, Marlon tak kunjung balik. Ada apa dengan pamanku? tanyanya sambil menyeka air mata yang entah sejak kapan keluar. Menangis.
Selama ini paman Marlon selalu bersikap ramah, sekalipun Belle ketus atau bahkan mengacuhkan. Tetapi sekarang, beliau seperti menjaga jarak pada Belle, masuk ke kamar terlebih dulu meninggalkan gadis itu sendirian di luar. Lagi-lagi, Belle hanya bisa meringis, berpikir jernih, ternyata jika kita diabaikan sangat luar biasa sakit.
"Kau ingin kubuatkan teh?"
"Tidak."
Okey, Belle mengangguk.
Melepas sandal bludrunya Belle naik ke atas ranjang, namun dengan cepat pula Marlon memunggungi. Paman Marlon yang biasa konyol kini sangat diam, dia seperti orang lain bagi Belle, kediaman lelaki itu patut dipertanyakan. Di waktu Belle bersungguh-sungguh ingin berubah menjadi baik, Marlon juga melakukan perubahan sebaliknya, lebih buruk.
"Paman, seharian ini aku menunggumu pulang, aku sudah belajar banyak dari ibuku memasak untukmu, bahkan aku menyuruh beliau kembali saat kupikir aku telah mampu. Mungkin kesadaranku agak lambat, tapi aku belum terlambat 'kan untuk berubah?"
Belle menatap langit atap, menerawang jauh, sedikit ragu melirik Marlon yang diam tak bersuara. Hiks! Menyapu wajahnya, pun Belle memberanikan diri menggapai pundak Marlon, membelai sebentar, lalu memberi kecupan ringan.
"Tidurlah, aku sangat mengantuk, Bell." Gadis itu tersentak sesaat Marlon mendorong tubuhnya, dia melukai hati mencinta.
"Ka-u kenapa?" tanya Belle bergetar, diiringi air mata, sikap acuh Marlon sudah tidak dapat ditolerir lagi.
Tak ada jawaban.
Hening.
Mengusut dada, perlahan Belle mengambil posisi menyamping, berlawanan arah dengan Marlon, dan membiarkan buliran kecil turun menggenangi pipi. Belle menangis tersedu-sedu, hatinya sakit sekali. Tahu begini 'kan lebih baik menutup diri tanpa cinta, kerap bersikap kekanakan dengan bahagia, sehingga tak ada hati yang tersakiti.
"Maafkan aku, Paman, aku menyesal telah menyia-yiakan kebaikanmu." Belle menggigit ujung bibirnya, menahan isak tangis yang keluar.
Pletak!
Belle tersentak manakala mendengar suara benda jatuh, bangkit dari tidur, matanya menemukan ponsel Marlon di lantai. Menyingkirkan selimut, pun Belle meraih benda itu dengan sangat hati-hati, ketika layarnya berkedip, dia menekan tombol mati. Hmm, di mana paman Marlonku? Batin Belle bertanya-tanya seraya mengambil langkah.
"Paman ..." panggilnya sambil mengitari ruangan, begitu di depan tatkala batin Belle memekik saat mendapati jam dinding.
Telah menunjukkan pukul 10 siang, astaga!
"Yaampun, bagaimana aku bisa bangun kesiangan di hari pertamaku tanpa ibu." Menggeleng pelan Belle mulai meracau, mengeluh, menyayangkan sebuah kesempatan telah hilang.
Apalagi semalam paman Marlon uring-uringan, seharusnya memperbaiki diri di pagi ini dengan tidak bangun kesiangan, huh.
Tanpa membuang waktu Belle langsung memasak makanan kesukaan Marlon, membuatnya penuh cinta, berharap dengan usaha ini pamannya memaafkan. Selesai! Menepuk tangan dua kali senyum Belle pun mengembang lebar, lalu bersiap mengenakan dress beserta sedikit polesan.
"Rose, yaa aku baik, hmm apa kau bisa mengantarku ke kantor paman Marlon? Ah, iya kebetulan sekali, aku tunggu di rumah." Tut! Sambungan telepon terputus, dengan begitu Belle mengunci pintu, lalu duduk di depan rumah.
Tidak sampai lima menit Belle menunggu Rose datang lebih cepat, berlari menghampirinya, dan memekik. "Astaga, Bell! Kapan terakhir kali kita bertemu? Kau berubah menjadi bola, bahkan juga sangat keibuan."
Kedua bola mata Rose mengamati penampilan Belle dari bawah ke atas, berdecak tak percaya, bahwa teman karibnya akan menjadi seorang ibu. Belle terlihat anggun meski dengan perut blendung, tidak sia-sia kerja keras paman Marlon, padahal Rose pikir ini terlalu dini. Tapi ... ah sudahlah, tak masalah, dia juga sudah sangat ingin mempunyai keponakan yang lucu.
"Cepat lahir yaa, sayang, bibi Rose memiliki banyak boneka barbie." Dengan gemas Rose mengelus perut Belle, seolah tidak sabar, sementara yang dielus membeliak lebar.
"Sialan sekali, kau pikir calon anakku perempuan jadi-jadian, hah?" Belle mendengus berat, sedang Rose hanya terkikik geli.
Faktanya Belle pernah melakukan USG dua kali, kelak calon anaknya nanti berjenis kelamin laki-laki. Rose menyebalkan, iew!
"Kau harus tahu Bell, anak perempuan itu jauh lebih baik daripada anak laki-laki."
"Aku tidak membutuhkan argumenmu, yang jelas anakku berjenis kelamin laki-laki, baik atau buruk aku tetap menyayangi darah dagingku." Wow, Belle tertegun sesaat, dia terlampau kaget dengan ucapannya sendiri.
"Yaa, baiklah, aku hanya berpendapat, Bell," timpal Rose seraya menggandeng lengan Belle, menuntun gadis itu menuju mobil.
Tepat di waktu istirahat Belle dan Rose tiba di kantor, keduanya berjalan berdampingan, meskipun banyak sepasang mata memandang sama sekali tak mengurungkan niat. Tidak hanya berbicara di belakang, bahkan jauh lebih buruk. Belle kerap menahan Rose yang ingin melabrak, siapapun dirinya bagi paman Marlon tentu tak mengubah apa pun.
Belle hanyalah gadis kecil yang sungguh beruntung, dan kurang bersyukur.
"Rose Miller? Astaga! Lama kita tidak bertemu, bahkan kau terlihat semakin ..."
"Tidak perlu basa-basi Vic, aku hanya ingin bertanya apa kau melihat paman Marlonku?" Tanpa sungkan Rose memotong ucapan wanita sexy di hadapan mereka, malas mengecek ruangan Marlon secara langsung, iya kalau ada, kalau tidak 'kan percuma.
"Eum, Tuan Marlon baru saja keluar dengan Candice sektretaris baru itu, aku tak tahu mereka akan pergi ke mana, sepertinya makan siang, tetapi entahlah." Victoria melirik reaksi Belle yang mematung, menyalip ruang di antara mereka, lalu menarik tangan Rose.
Mengumpat sebal, Rose menatap Victoria dengan jijik, dia memang kelewat bodoh dan tak tahu malu. "Kemarin sore aku pergi menemui ayahmu, kau tahu, kami menghabiskan malam dengan teriakkan."
"Tutup mulut kotormu Vic, tidakkah kau merasa puas keluargaku hancur karena ulahmu?!" Spontan wajah Rose merah padam, dengan bangga Victoria malah menunjuk kissmark di lehernya, menjijikkan.
Memijat pelipisnya, untuk beberapa saat hati Belle mengkerut, mengeksplor sekeliling sebelum berlari kecil melewati pintu keluar tanpa Rose yang murka. Belle mengikuti instingnya menuju parkiran, tidak meleset, orang yang dicari langsung memenuhi objek pandang gadis hamil itu.
Jantung Belle seakan berhenti berdetak.
Napasnya terengah saat melihat paman Marlon bergandengan tangan dengan Candice, mereka dekat sekali, masuk ke dalam mobil meninggalkan kantor tanpa mengetahui Belle yang menangis luluh lantak.