Dari dulu Belle memang tidak suka berhias, baginya itu hanya menghabiskan waktu serta pemborosan. Kecantikan gadis itu alami, jadi meski tanpa polesan auranya tetap bersinar. Belle memasuki halaman kantor, tak sedikit pekerja yang berada di lapangan menatap penasaran. Di mana para wanita juga berbisik, saling bertukar pikiran dengan tatapan mengarah kepada Belle.
"Kupikir istri bos besar kita seorang model papan atas yang sering ada di majalah, aku tak habis pikir ternyata malah bocah ingusan." Hah? Otomatis langkah Belle terhenti. Menoleh untuk melihat siapa yang berkomentar, namun dari samping Marlon datang.
Mencegah Belle berbalik, memeluknya hangat, lalu berbisik rendah. "Kenapa kau datang diam-diam?"
Sedikit mendongak Belle memandang wajah Marlon yang sudah menemani kesehariannya sejauh ini, dia tersenyum semringah. Kebetulan sekali Belle jadi tak susah mencari ruang kerja Marlon. Pertemuan mereka bak direncana. Membalas senyum maut Marlon, dengan manis Belle mengangkat bekal, sebelum akhirnya ingat komentar pedas berbau sampah di sebrang jalan.
Candice? Kening Belle berlipat, kantung matanya berkedut saat Gloe juga berdiri di sana.
"Paman ..."
"Oh, Candice. Ibu sengaja membawa gadis itu untuk mengenalkan beberapa bagian staff. Katanya dia ingin bergabung." Marlon menjelaskan, begitu santai, lantas menuntun tangan Belle masuk ke dalam.
Tidak ambil pusing Belle mendaratkan bokongnya di sofa empuk. Membuka bekal yang dia bawa dari rumah berikut pangsit. Menggelung noodle terlebih dulu, perlahan mengarahkan pada mulut Marlon yang mangap.
Satu detik,
Dua detik,
Tiga detik.
"Bell, apa kau membawa minum?" tanya Marlon tergesa, ekspresinya sulit diungkapkan, antara kepedasan atau kebelet.
Begitu Belle mengeluarkan botol minuman, tak sabar Marlon merampasnya, dan meneguk hingga tandas. "Sebentar, aku buang air kecil terlebih dulu."
Belle menatap Marlon tak mengerti. Enggan berdiam tanpa melakukan apapun, dia bangkit menuju meja kebesaran sang suami. Di situ Belle mulai merogoh laci demi laci seakan-akan mencari sesuatu, tetapi nihil, hanya terdapat sampah kertas juga beberapa pulpen. Ini seperti bukan dirinya. Belle seolah ingin membongkar kesalahan Marlon yang selalu bertingkah konyol.
Menggeleng pelan, Belle pun meraih map di ujung meja, membukanya satu per satu membaca kilat. Bagaikan wanita karir jari telunjuk Belle mengetuk-ngetuk dagu. Berkhayal menghadapi persoalan besar sebelum akhirnya Marlon datang di waktu tidak tepat.
"Apa yang kau lakukan?" telisik Marlon dengan mata menyipit, sementara Belle memberengut sebal.
"Berkhayal menjadi bos." Gadis itu menjawab apa adanya, entah terlalu jujur atau sulit berbohong.
"Baiklah! Nyonya Isabeau Chambell yang terhormat, siang ini aku sangat membutuhkan pekerjaan. Kau dapat memercayaiku. Pegang kata-kataku kita bisa bekerja sama dengan baik."
"Aaah, tidak, tidak! Aku tidak memercayaimu. Tampangmu terlalu sangar, dan sangat menakuti semua orang bahkan bayiku di dalam perut."
Terkekeh pelan Marlon mengedipkan mata genit, sesekali menyapu rambut gondrongnya ke belakang. "Badan serta tampangku memang sangar, tapi hati ini sangat halus seperti kelinci."
Apaan sih? Membuang muka Belle memutuskan beranjak, paman Marlon yang berlagak pilon.
Usianya tidak lagi muda, tapi entah perasaan Belle saja lelaki tua itu selalu bertingkah layakan anak muda baru netas. Serius! Akibat gombalan Marlon perutnya jadi membesar, dan kenyang selama 33 minggu tiga hari. Nyaris setiap detik putra kedua Gloe bersyair, memuja Belle dengan konyol.
Sungguh, menggelikan.
"Aku ingin pulang saja." Belle mengelus perutnya sambil berdoa dalam hati, agar anaknya tidak mirip dengan Marlon, itu buruk.
Sesaat Belle mendongak, matanya melotot melihat Marlon melepas kancing kemeja yang dia kenakan dengan cepat. "Kenapa dibuka?"
"Gerah sayang, hmm, aku juga ingin kau mengelusku sebelum pulang." Seringai nakal Marlon tercetak jelas, membuat Belle jantungan.
"Kau sinting!" umpat Belle sambil mengetuk kening Marlon, namun belum sempat pergi tangannya sudah dirantai.
Ketahuilah tangan kekar paman Marlon itu terbuat dari lelehan besi tua yang dipanaskan, seperti hulk.
Tidak melepaskan Belle begitu saja, dengan agresif Marlon mendekap tubuh berisi istrinya tanpa harus menekan, tetapi gadis itu tetap kesulitan bergerak. Menghirup aroma tubuh Belle sejenak pandangan Marlon berkunang. Hanya dengan mengendus sudah membuat pikirannya meracau ke mana-mana.
"Heh, Paman!" pekik Belle teringat sesuatu, sebelah alis Marlon naik. "Paman Marlon harus bangga padaku, soal-soal yang kau berikan telah kukerjakan dengan benar."
"Oh, yaa ..." Membentuk mulut huruf O Marlon terpelatuk, agak bingung dengan jalan pikiran Belle yang selalu melenceng.
Sangat di luar ekspetasi. Saat Marlon ingin bersikap sok manis, gadis itu malah memikirkan hal lain. Mau tak mau Marlon jadi ikut ke dalam pembahasan Belle. Keduanya duduk bersisian, membicarakan pelajaran, bahkan Belle juga menulis. Dia benar-benar belajar. Mau bagaimana lagi? Belle memang sukar ditebak, Marlon juga tak dapat melarangnya untuk tidak bertingkah aneh.
"Maaf, permisi, waktumu sudah habis Nyonya," sela Candice yang mendadak muncul dari luar, melirik jam sambil memutar jari.
Kening Belle mengernyit, dia bangkit mendekat. "Enak saja, paman Marlon suamiku, ini kantornya. Siapa kau seenak jidat mengusirku?"
"Marlon, katakan padanya, wanita miskin tidak boleh berada di kawasan orang kaya." Candice semakin lancar menghina Belle, tidak seperti awal pertemuan merek. Dia telah berubah sinis.
Semua terjadi begitu cepat saat kedua tangan Belle merengut kepala Candice, menjambaknya dengan kuat sambil menyumpah. Tidak tinggal diam apalagi memberi jalan Candice membalas, buru-buru Marlon menengahi. Memisahkan kedua anak manusia itu bertepatan dengan kemunculan Gloe, yang otomatis membuat Marlon dilanda kebingungan.
Tidak tahu harus berada di pihak siapa, antara Gloe ibunya, atau Belle si kecil?
"Heh, bocah ingusan! Seharusnya dari awal aku tidak membiarkan anakku menikahimu. Kau tidak lebih dari bocah tujuh tahun yang suka membuat kekacauan pada orang lain."
Sontak Belle membeku, hatinya mengecil seakan-akan dihimpit beban cukup besar.
Candice merapikan rambut sambil menggerutu sebal, Belle sangat liar dan buas. "Bibi, kupastikan bocah ini tak akan mampu merawat bayi. Lihat kelakuannya, masih sangat kekanakan."
"Marlon, kurasa aku sudah cukup sabar menghadapi istri pilihanmu. Aku tidak bisa mentolerir sikapnya. Setelah melahirkan aku ingin kau menceraikan dia dan menikah dengan ..." Gloe melirik Candice, yang dimaksud hanya senyam senyum kegirangan.
"Ibu, sudahlah, lagipula niat Belle menemuiku baik, dia memasak untukku." Meski jantung kembang kempis Marlon tetap bersuara, lalu merengkuh kepala Belle ke dada. "Jangan mengatur hidupku apalagi mengurusi hatiku, ini perasaan bukan waktu yang dapat dikendalikan."
"Tapi ..."
"Ketika aku memilih Belle untuk dijadikan istri, maka aku harus siap mengambangi seluruh kekurangannya. Bagiku tak masalah, asal hatiku selalu bahagia." Di saat isak tangis Belle pecah, dengan begitu Marlon menghelanya keluar, melewati Gloe dan Candice yang mematung.
Rasanya hati kecil Belle sakit sekali, tapi di lain sisi dia juga sangat bahagia mendengar pernyataan Marlon. Bagian dalam diri Belle bersumpah akan mengubah segalanya dari titik terendah. Dia harus mempertahankan paman Marlon, dan tidak boleh menikahi gadis lain apalagi Candice.