Dia adalah Lanata Calya Halwatuzahra, atau orang biasa memanggilnya dengan nama Nata. Sederhana, bukan? Ya. Tak serumit nama panjangnya. Bahkan artinya pun tak bisa dicerna hingga dewasa ini. Lanata diambil dari spesies bunga lavender yang ungunya tegas dan harumnya semerbak tak kalah dengan jenis lavender lainnya. Hanya saja kata orangtua gadis cantik ini, Lanvender Lanata itu sangat cantik. Mungkin itu harapan yang mereka sematkan dalam nama depan Nata, yaitu menjadi seorang gadis yang cantik, tak kalah cantik dari gadis lainnya.
Calya yang artinya sempurna. Setiap orangtua ingin bukan punya anak gadis yang sempurna? Harapan semua orang tua pada tangisan pertama anak bayi mereka pastilah itu. Sempurna, tak kurang apapun. Nyatanya, Nata ini tak sesempurna yang diharapkan. Ia kaku. Bukan tak bisa bergerak bak tiang lampu jalanan. Hanya saja, hatinya sudah beku. Nata ini memang pintar dalam kata berteori dan angka yang muncul kalau dicari nilai dibalik variabel -x dan y-, tetapi ia gagu pasal cinta di masa remaja.
--yang ditahu hanyalah menyusun masa depan yang gemilang bersama perluasan kebun kecil yang dibuat olehnya di atap rumah tempat Nata tinggal. Apapun yang tak berhubungan dengan itu, Nata enggan mengambil pusing dan enggan untuk ikut campur masuk ke dalamnya.
Tetakhir, adalah Halwatuzahra. Artinya bunga yang paling indah. Sebenarnya nama ini sama artinya dengan harapan nama awalnya. Menjadi bunga yang paling indah untuk orang tuanya. Menjadi yang paling cantik yang tak kalah cantiknya. Menjadi nama yang harum yang tak kalah harumnya dengan peringkat pertama di kelas.
Nata begitu menyukai lavender dan apapun yang berkaitan dengannya. Lavender itu unik, sederhana, tetapi terlihat mewah baginya. Ungunya yang tegas, harumnya yang menari ria dalam hidung, juga wujudnya yang tinggi mempesona penyejuk untuk siapapun mata yang memandangnya.
Sekian, cukup untuk berbasa-basinya. Hari ini adalah hari yang penting untuk Nata.
Hari ini ... Nata adalah murid baru. Bukan Nata yang disegani karena sikap dinginnya pada orang lain. Untuk itu ia harus menebar senyum sebagai tanda sapa pertemuan pertama dengan teman-teman barunya. Tapi, mau dipaksa bagaimanapun juga, sikap yang menguasai gadis itu hanya ada dua, dingin dan arogan.
Nata adalah tipe orang yang tak suka menebar senyum pada orang yang tak ia kenal--SKSD-- Begitu pikirnya.
Bel tanda masuk sekolah baru saja berbunyi, seakan memberi tahu gadis berperawakan kurus itu untuk mempercepat langkahnya. Jika ayahnya tidak kembali mengelola perusahaannya di Jakarta, ia tak perlu menyesuaikan diri seperti ini untuk yang kedua kalinya. Sungguh, pagi ini Nata ingin mengumpat sejadi-jadinya.
Langkah kakinya terhenti, di depan sana satu ruagan berpintu kayu yang terbuka lebar jelas menunggu kedatangannya sebagai anak baru--Kelas 3-3.
"Aduh!" erang Nata saat satu tas ransel mendorong sisi punggungnya hingga membuat tubuh mungilnya hampir tersengkur ke depan.
"Ga punya mata?" lanjutnya melirik Nata tajam.
"Aku? Kok jadi aku?" jawab Nata kesal. Ia berpaling. Meninggalkan gadis yang masih sibuk membenarkan posisinya begitu saja dan masuk ke kelasnya.
Tunggu, itukan kelas baru Nata! Sekarang waktunya untuk benar-benar mengumpat.
Tak mau pikir panjang lagi, ia enggan menghabiskan waktunya berdiri bak orang bodoh di depan pintu kelasnya, Nata kembali melanjutkan langkahnya. Memasuki kelas yang sudah penuh siswanya. Tidak, masih ada dua bangku kosong. Jelas yang satu untuknya dan yang satu untuk remaja aneh itu.
"Nata?" suara seorang wanita menyapa.
Dengan sigap Nata membungkuk. "Iya."
"Terlambat di hari pertama? Akan Ibu maafkan."
"Perkenalkan dirimu pada teman-teman barumu," lanjutnya menarik ringan tubuh Nata untuk berdiri di depan kelas.
"Nata," ucap gadis berambut coklat tua itu singkat. Sangat singkat. Membuat seisi kelas menatapnya aneh.
Perkenalan macam apa itu?
"Hanya itu?"
"Senang bertemu kalian," lanjutnya tersenyum kaku. Melambai ringan dan memusatkan sorot mata bulatnya pada satu objek yang terduduk rapi di sudut kelas. Remaja itu, yang baru saja mengatai Nata atas kesalahanya
"Kalau begitu kamu boleh duduk."
Lagi-lagi hanya membungkuk ringan. Berjalan ke bangku paling belakang di barisan kedua.
"Nata? Aku Dila." sapanya pada Nata yang baru saja meletakkan pantatnya di kursi. Gadis yang kiranya seumuran dengan Nata, matanya sipit seperti orang asing. Bibirnya tipis sedikit pucat, satu tahi lalat di mata kirinya yang dihias kacamata bulat ber-frame tipis dan kucir kuda yang menyisakan poni miring yang jatuh tepat di alis tipisnya.
"Dia manis, cantik, mirip lavenderku," batinnya.
"Rama! Siapa yang suruh kamu duduk?" bentak wanita tengah baya pada seorang pria yang baru saja meletakkan pantat di kursi pojok kelas.
"Kenapa kamu telat lagi?"
"Tadi ada kecelakaan, Bu," jawabnya datar.
"Kemarin juga, sekarang lagi?"
"Namanya Rama Aska Megantara. Aku biasa memanggilnya Rama. Dia itu Badboy sekolah ini. Kadang keren, kadang belagu, kadang ngeselin juga," sahut Dila menjelaskan di tengah lamunan Nata.
"Rama?" ulangnya lirih. Meliriknya sekilas sebelum akhirnya tersadar satu hal. Aku pernah bertemu dengannya sebelum ini. Bukan di lorong depan kelas. Tapi, di perempatan lampu merah pagi tadi.
Brandalan itu, yang dimaki tak goyah, yang dicaci tak berekspresi, dan yang diteriaki tak gemetar. Dia, Rama.
"Tapi sayang, dia ga punya Shinta," sambung Dila sembari tertawa kecil.
••• 100 Persen Itu Sempurna Vol. 1 •••
Langkah Nata jelas menyusuri lorong sekolah yang tadinya ramai kini mulai menyepi. Bukan tanpa alasan gadis itu menghabiskan tenaga untuk berjalan tanpa arah tujuan begini. Nata bukan tipe orang yang seperti itu. Sebelum bel istirahat berbunyi, seseorang memanggilnya yang katanya disuruh menghadap ke ruang BK untuk menemui guru di sana. Tradisi siswa baru—begitu katanya.
Nata mengetuk pintu kayu yang sedikit memberi celah karena orang yang masuk sebelumnya tak menutup pintu dengan sempurna. Mata bulatnya mengintip di balik celah pintu. Kosong. Tak seramai pikirnya. Perlahan ia mendorong pintu ruangan. Memutar kepala untuk mencari penghuni tetap ruangan bercat putih bersih itu.
"Masih mau begini sampai akhir tahun nanti?" sentak seseorang pada anak lelaki yang melipat tangan di belakang punggung tegapnya.
"Rama! Kamu ini sudah besar, mau kupanggilkan ayahmu?" Aku menoleh saat mendenar satu nama jelas dipanggil.
"Kecelakaan? Kamu terlibat kecelakaan? Alasan yang sama lagi?"
"Kali ini serius, aku harus mengantar bapak itu ke rumah sakit dan mengobati lukaku juga," tunjuknya pada lengan kiri yang berbalut perban putih.
"Alah, alasan saja kamu itu!"
"Pokoknya saya ...."
"Permisi," sela Nata ramah. Bukan untuk membebaskan pemuda sombong yang masih berani mendongak saat orang yang jauh lebih tua meninggikan suara tanda kesal hatinya itu, tapi untuknya sendiri yang mulai bosan pada tontonan drama anak brandalan yang tak kunjung jera terkena omelan karena sikap kurang ajarnya.
"Saya Nata, anak baru di kelas 2-3," sambungnya tanpa mau melirik lelaki yang sepertinya ikut menatap Nata aneh.
"Nata? Oh, Nata. Duduk dulu."
"Dan kamu, Rama, pergilah ke kelasmu. Pulang sekolah temui ibu lagi."
Tanpa salam dan bungkukan badan, lelaki berponi naik itu berlalu begitu saja, meliri Nata sekilas sembari tersenyum licik.
"Gue utang satu sama lo," lirihnya berlalu pergi.
... Bersambung ...