Kicauan burung membelah kesunyian pagi. Cahaya kuning sang mentari tersenyum, menghangatkan siapapun yang ada di bawahnya. Sejuk angin pagi yang datang, seolah berbisik pada sanubari, pagi ini tak akan ada tragedi apapun. Waktu dari waktu yang berjalan akan dilalui dengan cara yang sederhana, tetapi manis. Sayup-sayup mata gadis berhidung mancung itu terbuka, menatap langit-langit kamarnya yang mulai terasa membosankan, padahal baru satu minggu Nata kembali ke Indonesia.
Ia bangun, kala suara alarm mulai jelas adanya. Kicauan burung dengan tetesan air hujan adalah melodi yang paling Nata suka untuk menyambut harinya. Pagi ini, adalah hari keduanya. Menjadi seorang siswi baru di sekolah menengah atas tahun terakhir.
Gadis itu bangkit perlahan-lahan, kakinya masih sedikit nyeri sebab adegan memberikan senja kemarin. Sekelebat ingatannya dibawa kembali pada malam kemarin. Perpisahannya dengan si asing itu tak bersahabat, ia bahkan lupa siapa namanya. Ah, mungkin Nata yang lupa bertanya. Bukannya tak bisa mengingat, ia enggan untuk mengingat itu.
Nata turun dari ranjang empuk miliknya, ia melempar selimut ke sembarang tempat, berjalan gontai menarik handuk mulai membasuh dirinya. Ia harus segera bersiap untuk memulai harinya pagi ini.
••• 100 Persen itu Sempurna Vol 01 •••
"Tumben rapi banget pagi ini." Tawa seorang wanita paruh baya hampir saja mengejutkan Alby. Ia tadinya berjalan ringan turun dari lantai atas dengan menapaki satu persatu anak tangga, kini mulai mengarahkan fokus pandangan matanya untuk sang ibunda.
"Alby 'kan emang selalu rapi, Bun." Ia menjawab. Ikut tertawa ringan dengan langkah yang kian tegas. Berjalan menuju ke arah meja makan untuk mulai menyarap bersama sang ibu.
"Ngomong-ngomong, Rama bilang gak akan mampir minggu ini?"
Alby menaikkan kedua sisi bahunya. Menjawab kalimat tanya dari sang ibu.
"Katanya kalian bertemu kemarin sepulang sekolah," protes wanita itu dengan nada lirih. Bibirnya mengerucut kala melihat sang putra tak acuh dengan pertanyaannya saat ini. "Kamu berbohong sama bunda lagi?"
Alby kini menghentikan aktivitasnya. Ia menatap ibunya dan tersenyum manis. "Alby benar-benar bertemu dengan Rama. Bunda tahu sendiri 'kan, ia benar-benar keras kepala." Alby menghela napasnya ringan. "Membujuk Rama bukan hal mudah, Bun."
"Meksipun begitu, dia adalah saudara tiri kamu. Cobalah untuk sedikit lebih akur dan bujuk Rama kembali tinggal di rumah ini." Wanita itu menghela napasnya kasar. "Jika suatu saat ada pembagian warisan, maka Rama lah yang pantas mendapatkan bagian terbesar."
Alby terkekeh. "Kenapa tiba-tiba jadi membicarakan soal warisan?"
"Maksud Bunda ... ah, sudahlah. Intinya sering-sering bujuk Rama untuk mampir ke sini lagi. Dia hanya datang satu tahun sekali, itu pun hanya sebentar."
Alby mengangguk ringan. Ia mengerti perintah yang diberikan oleh sang ibunda.
"Ngomong-ngomong, Alby. Di mana motor kamu?"
Alby tersedak. Kalimat pertanyaan dari sang ibu sukses membuat hatinya panas.
"Motor kamu gak ada di halaman depan," sambungnya.
Alby hanya diam. Ia mencoba mencari objek pandangan mata agar tak bertatap dengan sang ibu. Wanita baik itu akan terlihat begitu menyeramkan kalau sudah mulai mengomel.
"Alby, Bunda tanya sama kamu."
"Ada hal yang kamu sembunyikan?" tanyanya. Mencoba untuk memaksa sang putra berbicara.
"Alby ...." --Ah, seharusnya ia tak sesantai ini selepas melakukan sebuah kejahatan. Seharusnya ia menghindari sang ibunda. Bukannya malah bertemu dan bertatap muka begini.
"Alby, jawab, Bunda. Di mana motor kamu dan ...."Tatapan mata itu berubah. Kali ini melirik ke salah satu siku milik sang putra. "Luka apa itu?" tanyanya.
"Aku ...." Alby mencari-cari alasan. Matanya tak bisa fokus menatap apapun yang ada di depannya saat ini. "Aku terlambat! Alby lupa kalau ada jam pagi." Tiba-tiba saja, ia bangun dari tempatnya. Membuat wanita paruh baya di depannya saat ini diam sembari membuka matanya lebar-lebar.
"Alby!"
"Alby pergi dulu, Bun." Ia tak menghiraukan. Melenggang pergi begitu saja meninggalkan sang ibunda.
••• 100 Persen itu Sempurna Vol 01 •••
"Hati-hati di jalan, Neng. Jangan bikin bapak khawatir lagi." Pria tua yang duduk di kursi kemudi melambaikan tangannya ringan. Wajah tua itu berkerut, tanda cemas sedang menguasai hatinya.
Tentu, mengetahui keadaan Nata yang pulang dengan langkah pincang dan beberapa lupa dengan darah yang masih segar, tentu membuatnya hampir saja bertemu dengan malaikat pencabut nyawa. Ia syok berat.
"Tenang aja, Pak Dan. Nata bisa urus diri sendiri kok," ujarnya dengan mantap. Mencoba meninggalkan kesan baik sebelum membiarkan supirnya itu pergi.
"Bapak mungkin akan sedikit terlambat nanti, Neng. Ada dokumen yang harus bapak antar ke perusahaan Tuan besar. Jadi, neng Nata gak boleh pergi kemana-mana setelah kelas tambahan nanti. Tunggu bapak di tempat ini," ucapnya dengan memberikan banyak penekanan. Ia ingin Nata menurut sejenak saja.
Nata mengangguk dengan ringan. "Tentu. Aku akan menunggu di sini."
Senyum mengakhiri pembicaraan mereka. Kaca pintu mobil ditutup dan gas diinjak dengan pelan. Mobil hitam itu kini meninggalkan Nata yang berdiri di sisi gerbang sekolah.
Suasana ramai kini ia rasakan selepas fokusnya dilepaskan begitu saja. Ia memandang suasana yang ada di sekitarnya. Tentu saja, sekolah di luar negeri dengan di Indonesia pastilah jauh berbeda. Nata rindu apapun yang berhubungan dengan Indonesia.
Nampak dari kejauhan, ia melihat perawakan tubuh jangkung yang tak asing untuk Nata. Tidak, sampai ia memastikan bahwa itu adalah Rama. Rama Aska Megantara.
"Ah, dia lagi." Nata ingat. Hari pertamanya bersekolah tak benar-benar dilalui dengan aman dan nyaman. Hatinya terus saja dibuat tak tenang dengan kesialan yang datang bertubi-tubi. Di sini ia tak hanya membicarakan pasal Rama, tetapi juga remaja asing yang berpisah tepat di depan rumahnya kemarin malam. Dua-duanya punya kesamaan.
Selain sama-sama jangkung, bertubuh bagus dan tampan. Keduanya juga biang kerok yang membuat hari pertama Nata menjadi rusak. Kali ini, ia tak akan mengijinkan siapapun untuk merusak harinya.
Mata gadis itu terus tertuju pada Rama. Tak disangka, berandalan itu benar-benar populer. Setiap langkah yang diambil oleh dirinya selalu menjadi point perhatian untuk semua kaum hawa di sekolahnya. Aneh, padahal semua orang tahu kalau Rama adalah pembuat onar. Namun, dengan bangganya mereka menganggap itu adalah hal yang lumrah.
Katanya, gak papa berengsek yang penting dia tampan dan mempesona.
"Cih, dasar orang-orang aneh."
"Siapa yang aneh?" Seseorang menyejukkan Nata. Gadis yang datang tiba-tiba menepuk pundaknya dengan kasar. Membuyarkan fokus Nata yang sedari tadi tertuju pada Rama.
"Lagi ngeliatin Rama?" tanyanya.
Ah, Dila. Seharusnya dia berbasa-basi terlebih dahulu.
"Kamu suka sama Rama?" tanyanya lagi. "Pada pandangan pertama?"
Ck, sialan! Cerewet betul gadis satu ini.
... To be Continued ...