Ruang Seni, kelas pengembangan bakat.
16:16 WIB, Senja bertemu denganmu.
Kalau waktu boleh dihentikan dengan mudahnya, ingin Nata melakukan hal itu. Senja hampir saja menyapa. Pensil gambar yang Nata pegang masih runcing ujungnya. Sedang yang lain, sudah ulet dengan pencampuran warna yang membasahi ujung kuas mereka. Warna merah, kuning, hijau, dan kawannya terlihat begitu indah menyatu menjadi satu kesatuan yang padu. Mata Nata memandang dengan penuh kekaguman. Bagaimana bisa, orang-orang punya bakat sehebat itu?
Entahlah! Nata tak tau juga tak mengerti, sedang apa ia sekarang ini? Melukis? Tidak. Bahkan sedari dulu, ia tak pernah melakukan hal sekonyol ini. Ia tak bisa meluweskan tangannya untuk berkolaborasi dengan kuas membentuk sebuah tarian indah di atas kanvas yang nantinya akan menjadi sebuah lukisan bermakna yang jika akhir semester akan dipajang di pameran sekolah.
Bakat hebat semacam itu tak pernah ada di dalam dirinya. Semua yang ada di sini benar-benar menjadi beban untuk dirinya sekarang.
"Masih ga punya ide, Lan?" Suara seseorang membuyarkan fokusnya.
Tunggu, apa tadi? Fokus?Bukan itu terlalu dilebih-lebihkan. Pasalnya, Nata tak pernah fokus di kelas pengembangan seni ini. Dirinya duduk di sini hanya untuk formalitas semata. Sungguh, jika seseorang memberikan perintah untuk dirinya segera keluar dari sini, maka dengan senang hati penuh kebahagiaan di atas wajahnya, Nata akan melakukan hal itu.
"Mau aku bantu?" Nata mendongak. Kali ini matanya baru saja memotret sosok tak asing untuknya. Alby. Dia lagi.
"Aku juga anak kelas seni. Gimana? mau ku bantu?" Ia kembali menawarkan. Senyum tak pernah absen dari wajah tampan remaja jangkung satu ini. Alby hanya terus tersenyum sembari menunggu jawaban dari Nata. Pastinya, ia berharap gadis itu mau menerima tawaran darinya.
Nata menggeleng. "Enggak, aku bisa sendiri kok."
Ah, sial! Tak sesuai harapan. Nata menolaknya mentah-mentah. Bukan pasal perasaan, tetapi niat baik yang ia tawarkan. Alby memang tak sepopuler Rama Aksa Mengantara, sebab ia juga tak se-brandal remaja jangkung itu. Kalau ditanya apa yang membuatnya populer, maka hanya ada wajah dan prestasi saja. Tak seperti Rama, remaja satu itu populer dengan segala aspek yang ia punya.
Alby merebut pensil gambar milik Nata. Tanpa menghiraukan perubahan ekspresi wajah gadis itu yang jelas ingin mengumpat atau menyiram wajah remaja aneh ini dengan campuran warna yang ia buat tadi. Hitung-hitung, biar kepakai warnanya, Alby mulai mengerakkan pensil gambarnya untuk menari luwes di atas kanvas. Menciptakan satu goresan kecil yang perlahan ia kembangkan menjadi gambar wajah seseorang.
Sketsa wajah setengah jadi. Belum ada pewarnaan yang sempurna. Akan tetapi, Nata tak sebodoh dan sedungu itu untuk masalah lukisan. Itu wajahnya, dengan rambut panjang tergerai dan poni tipis yang menutupi keningnya. Mata bulat khas miliknya yang ia puji setiap kaca memantulkan perawakan tubuh kurusnya dan satu lagi, tahi lalat di mata kirinya. Alby sempurna dalam mengekspresikan apa yang ada di dalam imajinasinya saat ini.
"Gak ada yang melarang untuk membuat sketsa wajah yang sederhana. Mulailah dari hal kecil sebelum membayangkan objek objek rumit yang semua orang gambar di sini," tuturnya menggurui. Satu sentuhan akhir ia berikan. Kini pandang matanya kembali pada Nata yang masih diam, membeku.
Banyak hal yang membuat seperti sekarang ini. Alby jauh dari bayangannya. Ia bijak juga ia pandai.
"Aku?" tanya Nata lirih. Alby tersenyum ringan. Kepalanya mengangguk lalu memberikan pensil gambarnya untuk Nata.
"Sketsanya udah jadi. Tinggal warnai aja," ucapnya penuh kelembutan. Lagi-lagi ia memberikan senyuman manis untuk gadis yang masih diam dengan ekspresi wajah yang membosankan. Nata tak tersenyum, ia juga tak terlihat marah atau kesal. Gadis itu hanya diam, tanpa ada ekspresi apapun. Bingung? Entahlah. Alby tak terlalu pandai menerjemahkan perasaan perempuan hanya dari ekspresi wajah datar seperti itu.
Rama lah yang pandai akan hal semacam itu.
"Bisa 'kan?" Alby kembali meneruskan kalimatnya. Menunggu Nata yang masih kokoh dalam diamnya saat ini.
Indah. Lukisannya benar-benar indah. Ia ingin memuji tapi bungkam lebih ia pilih sekarang ini. Nata hanya mengangguk ragu.
"Kenapa? Ga bisa juga?" Kali ini tawa ringan menyela. Alby tahu, Nata tak terlalu pandai dalam hal ini.
"Bisa," elak Nata tegas.
"Ya udah, aku keluar, ya? Ke kelas sebelah. Kelas seni sastra." Alby beranjak. Memberikan kuas yang sedari tadi masih kering ujungnya. Tanpa menjelaskan bagaimana cara memberi warna pada gambar wajah, Alby berlalu. Punggung tegapnya perlahan menghilang dari padangan Nata.
"Belum selesai juga, Ta?"
"Oh, Bu Rossa ..., Ya gitu deh." Ia tersenyum kuda. Wanita yang baru saja menyela fokus matanya dalam mengiringi kepergian Alby itu mulai tersenyum aneh saat melihat karya cipta yang hampir sempurna.
"Bagus juga gambarnya. Lumayan. Tinggal warna, kan?"
Apa tadi? Lumayan? Demi surutnya samudra pasifik, gambar seindah dan semewah ini dibilang lumayan olehnya? Lalu? Kalau Nata gambar sendiri, mau dicaci maki seperti apa nanti gambarnya?
"Warnai setelahnya baru kamu boleh pulang. Kumpulin di ruangan Ibu, ya?" Tanpa menunggu jawaban Nata, wanita setengah baya itu menepuk ringan pundaknya lalu berlalu begitu saja. Senyum menyebalkan tanda sedikit keraguan bahwa benar Nata yang menggoreskan penanya untuk sketsa wajahnya sendiri jelas menampar lembut hati Nata.
"Gimana nih?" Nata berpikir. Ia tak bisa menghancurkan gambar indahnya dengan kesalahan goresan warna. Tapi, mau gimana lagi?
"Lanata Calya, mikir dong! Ayo mikir!"
Nata membulatkan matanya. Ia baru saja berpikir, --hanya pembuat karya yang mampu menyelesaikan karya miliknya sendiri, bukan orang lain.
Ya! Alby. Untuk sekarang, demi kepulangannya dengan selamat. Ia akan menyisihkan harga diri yang ia junjung tinggi selama ini. Satu kali saja, ia akan memohon pada remaja aneh itu untuk memberinya bantuan. Sekali saja.
Nata berlari kecil menuju ambang pintu. Tak menghiraukan jika derap langkahnya itu akan mengganggu fokus teman-temannya yang lain. Yang ia butuhkan hanya bertemu Alby sebelum remaja jangkung nan aneh itu kembali ke rumahnya.
"Argh~" Nata melirih. Kala sisi bahunya menabrak seseorang yang baru saja ingin masuk ke ruang lukis. Membuat keduanya mulai saling pandang satu sama lain.
"Ga punya mata?" pancingnya pada Nata.
"Punya. Dua. Kanan kiri. Masih sehat kok. Sorry!" Nata mengabaikan, masa bodoh. Mau Rama atau bukan, tujuannya sore ini hanya Alby Aditya.
"Hobi nabrak gue?" --baru juga Nata ingin melangkahkan kakinya. Omelan kasar yang baru saja menusuk lubang telinganya itu membuatnya terhenti.
"Sorry! Aku buru-buru. Mau ketemu Alby." Ia ingin mengalah, apapun masalahnya, Nata yang akan mengalah.
"Alby? Ngapain nemuin sodara gue?"
Mata Nata membulat. Tunggu, apa tadi? Saudara? Demi apa? Mereka bersaudara?
... To be Continued ....