Hari yang melelahkan. Itulah yang dirasakan oleh Rama Aksa Megantara. Baru juga dimulai, ia bahkan belum sempat masuk ke dalam kelas untuk memulai pembelajaran pagi ini. Mood-nya sudah dirusak habis-habisan oleh si tua menyebalkan yang terus saja menargetkan dirinya untuk dimaki, dicaci, dan dihina tak ada puasnya. Kali ini bukan Rama yang bersalah. Ia berani sumpah melakukan hal baik kemarin. Ia bahkan menolong Nata yang hampir saja mati kelaparan. Toh juga, bukan kemauannya sendiri untuk menjelajahi belakang sekolah. Guru seni yang menyuruh mereka. Si wanita itulah yang menjadi dalang dari semua kehancuran yang ada di dalam hati Rama.
Rama merebahkan tubuh jangkungnya di atas kasur UKS sekolah. Mendesah kasar sembari memejamkan matanya rapat-rapat. pikirannya sejak tadi pagi selalu tertuju pada gadis yang baru saja berpisah dengannya --Nata. Entah mengapa, di tengah-tengah hatinya yang tak berada dalam keadaan baik-baik saja, wajah Nata muncul di dalam bayangannya. Terus menerus, tiada henti bak hujan di penghujung tahun.
Semenjak kejadian kemarin sore, karena kata-kata gadis itu, dinding pertahan Rama terus saja tergoyahkan. Saat gadis itu dengan plong-nya mengatakan bahwa Rama hanya butuh tau, bahwa sepi itu tak selamanya sendiri. Ia butuh teman dalam sepi laranya. Begitu yang ia tahu. Dalam lirihnya Nata berucap, perhatian Rama seakan tertarik pada gadis itu. Yang ia sebalkan saat ini adalah ia yang tak bisa menenangkan pikirannya agar tak tertuju pada gadis itu.
"Ram, ngapain?" Rama membuka perlahan matanya. Diliriknya sekilas remaja yang baru saja menarik kursi dan menyadarkan punggung lebarnya di sana. Itu Alby, orang yang tak biasanya berada di UKS jam pelajaran begini.
"Lo yang ngapain, bolos?" jawab Rama malas. Ia mengubah posisi tidurnya dengan menggunakan tangan kanannya untuk menyangga kepalanya. Pandangan mata tak lagi tertuju pada Alby, Rama kembali menatap langit-langit ruangan. Mencoba untuk mencari celah agar dirinya bisa benar-benar tenang pagi ini.
"Udah ijin. Ga enak badan." Alby menyahut. Ia berjalan ke sisi ranjang UKS. Duduk di ujung ranjang sembari mengarahkan pandangan matanya untuk Rama. Fokus, ia benar fokus mengarahkan sorot mata teduhnya itu untuk rama. Tentu, bukan sedang bertanya-tanya untuk apa Rama di sini? Mengapa remaja itu di sini? Dan bagaimana remaja itu bisa di sini? Semua pertanyaan itu kuno! Alby sudah terbiasa melihat Rama berada di UKS ketimbang melihat remaja jangkung itu berada di dalam kelas, duduk dengan rapi, melipat tangannya, mendengar dan memperhatikan apa yang diajarkan gurunya.
Bahkan, Alby berani taruhan, di dalam tas Rama hanya berisikan satu buku tulis kosong dan dari pena hitam yang sudah habis tintanya.
"Soal BK tadi ...." Alby memulai. Kalimat singkat itu menarik perhatian Rama. "Kenapa bisa bawa Lanata?"
Terkejut! Sedikit. Sejak kapan Alby jadi peduli dengan Nata?
Rama bangkit. Diliriknya sekilas Alby yang tersenyum seringai untuknya.
"Mama ga nelfon lagi?" Rama menyela. Mengubah arah pembicaraan, sebab ia tak mau membahas apapun yang berhubungan dengan Nata sekarang. Di dalam hati dan pikirannya saja Rama mati-matian untuk tidak memikirkan gadis itu. Sekarang, Alby malah membuat dirinya membahas Nata.
"Kamu aja kalau ditelpon ga pernah diangkat." Alby menggerutu. "Jangan membahas yang lain. Jawab dulu pertanyaan gue, Ram." Alby kembali pada topik pembicaraan mereka.
"Pernah sekali," jawab Rama cuek. Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Kembali tidur dengan memposisikan tubuh senyaman mungkin. Pandangan matanya lagi-lagi tertuju pada langit-langit ruangan yang sedikit membosankan. Namun, bagi Rama itu benar-benar menarik.
Alby menghela kasar nafasnya. "Ram, gue mau tanya, nih." Ia sedikit kesal. Rama selalu saja seenaknya sendiri seperti itu.
Rama mengangguk. Samar melipat keningnya dan menyatukan kedua sisi alis garisnya. "Apaan?"
"Gue ubah pertanyannya. Bukan yang tadi," tukasnya dengan ringan. Helaan napasnya menandakan bahwa ia sedikit kecewa. Tentu saja, Rama bukan tipe orang yang akan mudah berbicara pada siapapun. Ia akan lebih memilih diam dan memendamnya sendirian.
"Kok lo bisa kenal Lanata?"
"Yang seharusnya tanya itu, gue." Rama menyahut. Boomerang! Pertanyaan itu kembali pada Alby lagi.
"Kok si cewe resek itu bisa kenal lo?" Rama menyeringai tajam. Menatap Alby yang jelas merubah ekspresi wajah kesalnya. Banyak hal yang tak disukai Alby terhadap Rama, salah satunya, kalau ditanya malah nanya balik.
"Namanya Lanata." tegas Alby.
"Dia resek," sahut Rama dengan ketus.
"Lo yang resek."
"Gue temen sekelasnya. Gimana ga kenal coba?" jawab Rama tiba-tiba. Memotong perdebatan kecil di antara mereka. Keduanya kini diam. Saling pandang satu sama lain. Tak ada suara yang menyela. Rama benar juga. Ia adalah teman sekelasnya. Alby sedikit bodoh kali ini.
"Gue juga temen sekolahnya juga, gimana gak kenal juga?" Alby tersenyum licik. Ia paham benar, bagaimana Rama itu. Meskipun orang itu adalah teman sekelasnya atau bahkan teman sekamarnya pun, kalau ia tak berminat mengenalnya atau mengajaknya berkontak, maka tak akan ada kata 'kenal' di kamus hubungan pria jangkung itu. Namun, Nata berbeda. Bukan hanya satu dua kali Alby memergoki Rama berpapasan dengan Nata. Mendapat momen berdua atau hanya sekadar saling pandang satu sama lain dari kejauhan. Seperti dua tokoh utama yang punya chemistry yang kuat.
Rama kembali merebahkan tubuhnya di kasur. Diliriknya sekilas Alby ikut memejamkan matanya perlahan. Seakan-akan keduannya sedang tertimpa beban berat yang tak bisa diselesaikan selain dengan memejamkan mata dan tidur.
"Baru kemaren, gue ngerasain rasanya bisa liat diri gue lebih dalem lagi." Rama mengoceh dengan nada lirih di bagian akhir kalimat.
"Bisa sadar juga, lo?"
"Entah kenapa, gue kepikiran terus, Al. Rasanya, kayak ada yang baru aja gempur tembok yang gue bangun kuat selama ini."
"Gue ga suka. Jadi aneh rasanya. Kepikiran terus." Rama mendesah kasar. Ia lagi-lagi bangkit. Kali ini dengan kasarnya ia mendesah.
"Gue ga suka perasaan kek gini,"
"Kenapa sih, kamu ga nyoba buka diri aja?" Alby menimpali. Ia menatap Rama fokus. Yang dibutuhkan remaja satu ini bukan kemewahan selama ini, yang ia butuhkan hanya teman. Untuk itu Alby sebisa mungkin menjadi teman untuknya. Menyingkirkan egonya sejenak untuk saudara tirinya itu.
Akan tetapi, setelah Alby menjadi temannya Rama. Ia mengerti satu hal lagi. Kalau Rama itu hanya butuh seseorang yang dengan hebatnya mampu membuka luka lamanya, membersihkan lukanya, dan dengan apik, mampu menutup lukanya agar tak terbuka kembali.
Seseorang seperti itu yang Rama butuhkan. Akan tetapi, jika Rama tak mengijinkan seseorang masuk dalam kehidupannya, mau gimana lagi? Remaja satu ini terlalu keras kepala.
.... Bersambung ....