"Seriusan? Kamu berduaan sama Rama kemarin?" Dila menyentak. Membuat Nata meletakkan seluruh sorot mata kini mengarah padanya. Bukan untuk nama Rama. Tapi, semua orang pasti berpikir hal yang sama, Lu kira ini hutan belantara apa?! Main teriak-teriak aja.
"Biasa aja, kali. Lagian ga sengaja juga."
"Terus? Terus? Kalian ngobrol apa aja? Kepo nih kepo." Dila terus mencoba menggoda gadis yang ada di sisinya itu. Sebelum masuk ke dalam kelas pagi ini, Dila ingin mendengar kisah Nata yang menghilang kemarin sore.
Nata menghentikan langkahnya, menatap sekilas Dila dan berdecak ringan. "Cih, kepoan," jawab Nata sembari terkekeh ringan. Membuat si teman dekat memasang wajah masam sekarang.
"Lanata?" --bukan hanya Nata, tetapi Dila juga ikut menoleh. Ditatapnya seorang remaja berperawakan kurus tinggi yang berjalan mendekat ke arahnya.
"Alby lagi tuh, samperin gih." Dila menggoda. Brengsek memang anak satu ini.
"Kenapa?" tanya Nata menyambut kedatangan Alby. Ekspresi wajahnya biasa tak ada semburat kebahagiaan sedikitpun.
"Dipanggil BK. Kamu kemaren bolos, ya?"
Persetanan. Semua ini gara-gara si brandal Rama itu. Kalau ia tak membantunya pergi ke galeri sekolah di belakang gedung utama, ia tak akan terjebak dalam masalah seperti ini. Siapa yang peduli jikalau sebenarnya Nata tak berniat untuk menghianati jam pelajaran sejarah kemarin? Semua orang hanya akan peduli satu hal, yang dipanggil ke ruang BK itu pasti anak-anak bandel macam Rama Azka.
"Sama Rama juga." Alby mengubah sorot matanya tepat mengarah ke remaja yang sedang berjalan di belakang Nata. Membuat gadis itu menoleh, mengikuti arah pandangan mata milik Alby.
Ah, Rama juga baru datang ternyata.
"Gue? Ngapa?" Remaja itu menyahut. Tak acuh, tetap dalam langkah kakinya yang melalui Nata juga Alby begitu saja.
"BK." jawab Alby singkat. Rama hanya mengangkat satu sisi bahunya. Kembali memasukkan tangannya ke kedua kantong celana panjangnya dan berjalan tak acuh tanpa mau membalas perkataan Alby.
"Kalian habis ngapain, sih? Kok sampek bolos segala?"
"Aku khawatir, tau?" lanjutnya pada Nata.
Nata mantap Dila sekilas. Raut curiga jelas tergambar dari wajah cantiknya. Nata yakin yang sedang diperdebatakan gadis itu dalam batinnya adalah --Ada hubungan apa antara Alby dan Nata?--
"Em, Nanti aja ya ngomongnya. Aku ke-BK dulu." Nata mengabaikan. Meninggalkan Alby dan Dila di sana. Ia tak ingin mengambil banyak resiko dengan mengubris remaja satu itu. Kalau-kalau engga jadi gosip ya, jatuhnya jadi bully-an
••• 100 Persen Itu Sempurna •••
Nata mendorong perlahan pintu kayu yang tadinya tertutup rapat. Lensanya berputar menyusuri setiap bagian ruangan. Seperti biasanya, suasana yang begitu tenang. Tentu, memang siswa gila dari planet mana yang berani teriak-teriak dan mengumpat di dalam ruang BK? Katakan saja seperti, seekor kucing yang mencoba untuk menghancurkan sarang lebah di atas pohon. Hasilnya, tewas mengenaskan dengan ratusan sengatan di bagian tubuhnya.
"Masuk, Nata." Suara seseorang terdengar tegas menyuruhnya untuk tak berada di ambang pintu. Nata berjalan mendekat. Seorang remaja berperawakan tinggi sedikit berisi itu jelas meliriknya tajam dan kembali memfokuskan sorot mata elangnya pada vas bunga di meja kaca depannya.
"Kamu tau kenapa saya panggil kamu ke sini?"
Nata mengangguk ragu sembari melipat tangannya dan merubah sorot mata sayunya. "Tau, Bu."
"Ini adalah tahun pertamamu, kamu sudah mau jadi brandalan seperti Rama?" Wanita tua itu menujuk tepat di depan Rama. Menoleh pada remaja itu sejenak untuk memastikan bahwa bibir berandal satu itu tak komat-kamit mengumpat.
"Bukan gitu, Bu. Tapi ...."
"Mau alasan juga? Saya peringatkan kamu ya, jika ini terulang saya tidak segan-segan kasih kamu hukuman berat."
Nata mendongak. Baru saja ia mendengar kata hukuman? Di tahun pertamanya? Berandal! Ehh, Bukan gurunya. Akan tetapi Rama.
"''Kan saya sudah bilang, Bu. Kita terjabak hujan di belakang sekolah. Lagian, salahin guru seni, lah. Ngapain nyalain kita?" Rama menyela. Ucapannya tegas membela. Kali ini, gadis berambut sebahu itu setuju dengan brandal satu ini.
"Kamu itu ya!" Wanita paruh baya itu menghela napasnya. Ia sudah hapal dengan Rama, tetapi belum tahu seperti apa gadis cantik bernama Lanata Calya Halwatuzahra. "Sudah. Saya tidak mau mendengar alasan lagi. Ambil kertas yang di sana itu, tulis surat pernyataan. Sekarang."
Nata mengangguk ringan. Tanpa pikir panjang gadis itu membungkuk dan memutar badannya. Tetapi untuk Rama? Si jangkung itu hanya berdecak ringan. Melirik Nata sekilas dan kembali membuka celah bibirnya.
"Ga bisa gitu—" Sebelum Rama menyelesaikan ucapannya, Nata menariknya. Lagi-lagi membungkuk untuk memberi hormat. Keduanya berjalan ke arah meja yang ditunjuk untuk mereka, mengambil kertas dan pulpen di sana. Lalu, berjalan keluar dari ruangan itu.
"Lo gila?"
Tidak, keduanya tidak mengumpat di ruang BK. Selepas gadis itu keluar dan menutup pintu, barulah ia bisa mengeluarkan semua kekesalan di dalam hatinya untuk situasi ini.
"Kamu yang gila ... udah syukur cuma disuruh nulis surat, gimana kalau dihukum beneran?" Nata melepas genggamannya. Ditatapnya sinis Rama yang menautkan alis tebalnya.
"Syukur kata lo? Tulis ndiri suratnya!"
Rama berlalu. Meninggalkan Nata yang mematung di tempatnya. Nata berdecak. Rama itu aneh. Kemarin ia marah-marah, mengumpat dan berkata kasar untuknya. Dihari yang sama pula, sisi lembutnya muncul. Membawa Nata menerjang hujan untuk membawanya ke warung rawon belakang sekolah. Saat diam, sisi sakitnya terlihat. Yang Nata lihat waktu itu bukan Rama--brandalnya sekolah. Tapi, Rama--remaja yang butuh teman dalam sepinya.
Sekarang, sisi kasarnya kembali lagi. Bukan kasar untuk menyakiti Nata seperti biasnya, tetapi kasar untuk membela gadis itu dan tentunya untuk membela kedudukannya juga. Nata tak bisa menyimpulkan, watak macam apa yang mengakar dalam kepribadian remaja itu.
Nata berjalan malas. Setidaknya ia tak harus menyapu halaman sekolah atau berdiri memanggang diri di bawah panasnya sengatan sang surya hanya untuk menghormat pada bendera merah putih. Ia hanya cukup menulis surat pernyataan yang berisikan bahwa ia tidak akan mengulang perbuatan cerobohnya lagi. Dengan bubuhan tanda tangan orang tua di sisi bawah kiri kertas itu. Mudah, bukan? Tentu. Hanya cukup menulis kata-kata berbumbu pencitraan dan hiperbola yang harus ia tulis. Yang susah itu, ya, minta tanda tangan orang tua.
Ia tak menyangka kalau hidupnya akan terus menerus 'apes' begini. Sejak pertama kali dirinya bertemu dengan Rama, tak pernah sekalipun Nata punya hari yang baik. Ia.memulai semuanya dengan terpaksa, lalu di dalam perjalanan, ia mengalami hal yang lebih tak mengenakkan dari fakta bahwa ia memulai semua ini dengan terpaksa. Bertemu Rama Aksa Megantara
... Bersambung ...