Ketika sore menjelang, Luna kembali pulang ke kediaman Abraham. Dilihatnya para pelayan tampak mulai kembali sibuk. Beberapa membersihkan rumah, sementara yang lainnya menyiapkan makan malam untuk disajikan pada keluarga konglomerat itu.
'Oh ya, aku masih punya agenda lainnya. Aku harus bisa membuat Rafael mau bergabung makan malam dengan keluarganya di meja makan. Bagaimana ya kira-kira aku akan melakukannya?' Luna mendesah napas berat sambil menggigit bibir bawahnya. 'Tch, aku emang digaji dengan jumlah fantastis dengan pekerjaan ini. Tapi di saat bersamaan juga aku seperti disuruh melakukan tugas yang nyaris mustahil. Karena siapa sangka si bodoh Rafael bakal jadi segalak dan menyebalkan itu sekarang. Dia benar-benar definisi manusia kulkas, sangat dingin dan mencekam.'
"Tita."
Luna memanggil salah satu pelayan yang paling akrab dengannya. Pelayan paling muda dan baru juga di tempat ini.
"Mbak udah pulang? Urusannya udah selesai, Mbak?" Gadis itu menyapanya dengan riang.
"Udah nih. Tapi… Rafa—maksudku Tuan Muda saat ini ada di mana?"
"Beliau ada di taman belakang, Mbak. Masih duduk-duduk di sana, melukis, sambil mengobrol dengan Mbak Serra."
Luna terdiam. Hm… kalau dia bersama Serra yang pastinya tak bisa diganggu. Tak hanya satu manusia kulkas seperti Rafael yang harus dia hadapi, namun juga kekasihnya yang tak kalah dingin itu. Apalagi jelas terlihat kalau Serra tak terlalu menyukainya.
"Apa Mbak Serra bilang dia makan malam di sini atau enggak?"
"Hm… kalau itu aku juga nggak tahu, Mbak. Tapi satu hal yang pasti… Mas Rafael nggak akan bergabung dengan mereka. Jadi kalaupun Mbak Serra makan di sini, palingan juga bakal di ruang makan bersama Nyonya dan Tuan. Tuan Muda tak akan ikut bergabung dengan mereka."
Sebenarnya apa sih penyakit Rafael? Maksudnya, tentu dia sedang dapat masalah dengan ingatannya. Tapi bukankah dia baik-baik saja dengan keluarganya dan Serra? Tapi kenapa dia memilih untuk tidak pernah makan bersama mereka?
"Kalau begitu aku yang akan mengantarkan makan malamnya kan nanti? Sekarang aku mandi dulu, tapi pasti nanti bakal langsung turun untuk mengurus dan mengantarkan makanan buat Tuan Muda Rafael. Jadi mohon pesankan pada orang dapur ya."
Tita tampak hanya langsung mengangguk. "Tapi apa tak apa-apa? Bagaimana nanti kalau Tuan Muda tak suka. Karena beliau bahkan melarang Mbak Serra untuk membawakan makan malamnya."
"Kita coba dulu. Kalau nanti ditolak kan besok aku tak perlu melakukannya. Yang jelas… biarkan aku mencobanya. Oke?"
Tita kembali mengangguk. "Baik. Tapi kalau nanti Tuan Muda marah—"
"Tak akan marah. Aku yang akan menjelaskan. Yang jelas lakukan saja keinginanku. Oke?"
Tita menganggukkan kepalanya. Lantas setelah itu mereka berpisah. Tita melanjutkan pekerjaannya membersihkan ruang tamu, sementara Luna segera menaiki tangga menuju kamarnya. Dia harus segera mandi untuk melakukan niat pendekatannya pada Rafael selanjutnya.
***
Kepada: Nyonya Bertha.
'Nyonya, saya berencana untuk mengantarkan makan malam untuk Tuan Muda Rafael nanti. Tidak apa-apa, bukan?'
Dari: Nyonya Bertha.
'Tak apa-apa. Malah bagus. Kalau bisa kamu harus membujuknya untuk mau kembali bergabung makan dengan kami ya. Itu juga penting.'
Kepada: Nyonya Bertha.
'Baik, Nyonya. Akan saya usahakan.'
Luna selesai berkirim pesan dengan sang permaisuri dari istana Abraham ini. Dia lantas segera bersiap-siap untuk keluar kamar. Tak lupa mengambil dua bungkus permen lollipop yang tadi dia beli.
'Semoga nanti aku punya waktu untuk menunjukkan lollipop mangga ini padanya. Sehingga dengan begitu… mungkin saja aku bisa langsung membuat ingatannya terpicu.'
Setelah menyimpannya ke dalam saku, Luna segera berjalan ke luar. Gadis itu kini telah terlihat rapi dan segar sehabis mandi setelah pertemuan rahasianya dengan Gino tadi. Kini dia siap untuk melakukan tugasnya terhadap Rafael.
Namun baru saja menuruni tangga, matanya bertemu dengan sosok Serra. Dilihat dari arahnya, sepertinya wanita itu baru saja kembali dari kamar Rafael.
Serra juga tampak menghentikan langkah saat melihat dirinya. Sehingga Lunalah yang mempercepat langkahnya menuruni anak-anak tangga, sehingga mereka bisa bertemu di bawahnya.
"Sore, Non. Anda masih di sini?"
Serrra tampak mendesah berat. "Kamu ya… udah kusuruh panggil nama saja tapi masih aja lebih memilih ribet. Tch, terserahlah. Toh, kamu juga tak bisa diajak bekerja sama."
Luna hanya memberikan senyuman kaku atas sindiran dari wanita itu. Sementara Serra tampak mengamatinya dari kepala sampai ujung kaki.
"Tapi kamu mau ngapain? Apa kamu akan ikut makan malam juga dengan Tante Bertha dan Om Abra?"
"H-Huh? Tentu saja tidak, Non. Mana mungkin karyawan biasa kayak saya ikut makan bersama dengan mereka."
"Lalu?"
"Hm… saya mau mengantarkan makan malam buat Tuan Muda, Non. Kan seperti yang Non tahu kalau beliau masih belum bersedia makan bersama dengan anggota keluarga yang lain. Sehingga makanannya harus diantarkan langsung ke kamar, itulah yang saya dengar."
Ekspresi di wajah Serra tampak kurang senang lagi. Dia mengernyitkan dahinya.
"Kenapa kamu harus melakukan hal-hal yang dikerjakan oleh pelayan? Itu tak seharusnya menjadi tugas kamu, kan?"
Luna mengangguk cepat. "Memang benar. Hm… tapi saya menggunakan metode ini agar lebih dekat dengan beliau. Saya bahkan juga yang akan membangunkan beliau setiap pagi." Luna langsung tergagap setelahnya. Dia merasa baru saja salah memilih kata. "Hm… maksud saya bukan mendekatinya dalam artian yang lain, Non. Saya ingin lebih mendapatkan kepercayaan beliau, sehingga 'tugas' saya bisa segera dituntaskan. Saya bahkan telah meminta sepersetujuan dari Bu Bertha, lalu menurut beliau itu adalah langkah yang tepat untuk dilakukan."
Luna harap Serra memahami kata 'tugas' yang sedikit dia tekankan. Sehingga wanita ini bisa memahaminya tanpa perlu dijelaskan lebih rinci. Mengingat 'tugas' yang dilakukannya di sini memang sebuah misi yang rahasia.
Namun Serra tak memberikan reaksi yang signifikan. Dia masih saja terdiam sambil memandangi Luna. Ekspresi wajahnya masih saja tak enak.
"Y-Ya sudah, Non. Saya harus ke dapur karena kata pelayan makanan Tuan Muda harus diletakkan tepat jam tujuh malam. Saya nggak mau terlambat dan kena omel."
Luna pamit pada Serra setelah mengatakan hal itu. Mengabaikan tatapan panjang Serra yang mengantarkannya hingga memasuki dapur.
'Kenapa sih dia terus memperlakukanku begitu? Aku paham dia mungkin merasa cemburu dan tak nyaman dengan kehadiranku di sekitar tunangannya. Tapi kan dia sudah diberi tahu kalau aku hanya bertugas untuk membantu kesembuhan Rafael. Tapi kenapa dia seperti tak mengerti dan masih menganggapku layaknya sebuah ancaman?'
Luna mendengus tentang Serra di dalam hatinya. Walau kembali dia berusaha mengabaikan hal itu, lalu fokus dengan pekerjaannya. Rencananya malam ini dia akan melancarkan langkah pertamanya dalam memicu ingatan Rafael. Sehingga dia ingin segala persiapannya berjalan dengan sempurna.
***