Chereads / My First Love Has Amnesia / Chapter 18 - Wajah Familier

Chapter 18 - Wajah Familier

Namun begitu mereka hendak memasuki gedung perusahaan itu melalui pintu utama, sebuah mobil yang familier tampak berhenti di belakang mobil yang mengangkut mereka tadi. Dari dalamnya tampak sosok Bertha yang melangkag keluar dari dalam kendaraan. Dengan tergesa-gesa berlari menuju mereka.

"Sayang, kenapa… kenapa… kamu ke sini?" tanya Bertha dengan napas yang tersengal-sengal. Mungkin merasa lelah karena harus berlari meninggalkan kegiatan apapun yang beliau lakukan tadi, saat mendengar putranya mendatangi tempat ini.

Rafael tak menyahut. Dia malah melayangkan pandangannya menuju Luna. Sekilas tampak tajam dari biasanya, seakan hendak menegurnya.

'Rafael pasti marah karena mikir aku ini seorang tukang adu. Astaga, aku juga tak menyangka Bu Bertha akan menyusul kami ke mari.'

"Sayang, kenapa kamu diam saja? Mama tanya kenapa kamu datang ke sini?"

Bertha kembali mengambil alih perhatian mereka. Bertanya lagi pada putranya yang malah diam dan sibuk memelototi asistennya.

"Tapi Mama kenapa bisa ada di sini? Siapa yang memberi tahu Mama kalau aku berkunjung ke perusahaan."

Sontak Bertha dan Luna saling melemparkan pandangan. Mereka tampak sama-sama sempat bingung akan menjawab apa. Sebelum pada akhirnya Berta kembali tertawa canggung sambil menatap putranya.

"Siapa yang memberi tahu apa maksudmu? Tentu saja ini semua kebetulan. Mama memang berencana datang ke perusahaanmu ini, tapi tadi Mama malah melihat kamu turun dari mobil. Sehingga itu sebabnya Mama menyusul kamu."

Rafael masih terlihat sanksi. Tentu saja, walaupun dalam keadaan yang tak prima dia tetaplah pria yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Sehingga tak mudah baginya mempercayai alasan yang terdengar kurang masuk akal itu.

"Benar begitu? Apa jangan-jangan ada yang mengadukan pada Mama?"

Pandangan tajam dan kurang ramah Rafael kembali kepada sang asisten. Membuat Luna sedikit tergagap untuk membantahnya.

"B-Bukan saya, Tuan Muda. L-Lagipula mana mungkin? Saya kan sejak diajak tadi selalu sama Tuan Muda. Saya nggak punya waktu untuk menyelinap menghubungi Nyonya atau sebagainya, bukan?"

Rafael kini terdiam. Kalau dipikir-pikir benar juga. Sejak diajak tadi Luna selalu berada di sampingnya. Jadi rasanya tak mungkin gadis itu bisa menghubungi Ibunya tanpa dia sadari. Di titik inilah dia akhirnya percaya kalau semua ini mungkin memang hanya kebetulan semata atau kalau tidak orang rumah yang mengabari Bertha. Yang pasti bukan karena Luna sepertinya.

"Sudahlah. Jangan diperpanjang. Sekarang jawab pertanyaan Mama tadi. Rafael, kenapa kamu datang ke sini?" tanya Bertha berusaha kembali mengalihkan bahan pembicaraan. Dengan serius memandang putranya itu.

"Ini kan perusahaanku. Jadi tentu saja aku bisa datang ke sini kapanpun yang aku mau. Memangnya aku nggak boleh ke sini?"

"Tentu bukan itu maksud Mama, sayang. Tapi—"

"Ma, sudah kukatakan, bukan? Aku ingin segera kembali ke perusahaan. Aku bosan hanya tinggal di rumah tanpa melakukan apapun. Mama juga bilang kalau Mama sepemikiran denganku, bukan?" Rafael lantas mengalihkan pandangannya pada Luna. "Sehingga itu sebabnya kita mempekerjakan asisten ini. Karena dia akan menggantikanku dalam mengingat tentang hal-hal yang aku lupakan. Mama bilang dia ini seorang jenius yang memiliki ingatan sebaik komputer, sehingga aku bisa mempercayakan masalahku padanya lalu dapat bekerja dengan normal seperti biasanya, bukan? Lalu apa lagi masalahnya? Langsung kita mulai saja."

'Tunggu? Apa? Bu Bertha bilang begitu pada Rafael tentangku? Apa jangan-jangan itu alasan utamanya mau menerima untuk menjadi asistennya?' Luna mengernyitkan dahinya. Memandang Ibu dan anak itu secara bergantian. 'Omong-omong mungkin aku bisa melakukan peran itu dengan seluruh peragkat yang menghubungkanku dengan operator. Merekalah yang akan mengerjakan segala informasi yang dibutuhkan. Tapi tetap saja… bukankah ini berisiko? Sambungan tak mungkin baik selamanya. Bagaimana kalau terjadi gangguan sinyal dan semacamnya di suatu yang penting sehingga membuat kacau segalanya?'

Namun Luna kembali menggelengkan kepalanya. Dia berusaha menepis seluruh pemikiran pesimis itu, lalu hanya perlu optimis tentang semua ini. Segalanya akan baik-baik saja – hanya itu yang perlu dia yakini.

Kembali Luna mengalihkan pandangan pada kedua orang di depannya.

"Iya, Mama memang bilang begitu. Tapi Mama nggak menyangka kamu akan langsung datang tanpa pemberitahuan seperti ini."

Ada beberapa karyawan yang lewat, sehingga membuat Bertha sedikit mengajak mereka menyingkir dari pintu masuk. Terlihat sangat berhati-hati agar tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.

"Lagipula Luna kan belum menghapal semuanya juga. Mama baru aja akan memberikan data kepadanya. Sehingga menurut Mama begitu… ini bukan waktu yang tepat."

Rafael terdiam. Sepertinya untuk yang satu ini dia tak bisa membantahnya. Karena memang dari awal dia melakukan ini karena sebuah rasa penasaran. Ia bosan di rumah serta ingin melihat perusahaannya secara langsung. Karena sekarang ada asisten yang bisa diajak pergi, jadi menurutnya ini kesempatan yang baik.

"Ya sudah. Lagipula sekarang kan juga sudah terlambat. Aku sudah ada di sini. Mending kita masuk sebentar untuk melihat-lihat. Aku juga hanya berniat untuk menemui Gino saja." Itulah yang dikatakan Rafael beberapa saat setelahnya. Dipandangnya lagi sang Ibu. "Lagipula karena ada Mama di sini, Mama mungkin bisa membantuku kalau terjadi hal yang tak diinginkan di dalam. Iya, kan?"

"Iya sih. Tapi tetap saja Mama tak terlalu tahu juga soal perusahaan kamu ataupun orang-orangnya. Tapi mungkin ide itu tak buruk. Kita hanya perlu langsung menemui Gino, sehingga tak perlu bertemu banyak orang dulu. Kayaknya kita bisa melewati ini." Bertha akhirnya memutuskan. Melirik putranya lagi dengan penuh keyakinan. "Ya sudah. Ayo. Kita naik ke atas. Mama akan mendampingi kamu."

Bertha berjalan lebih awal di depan. Sementara Luna selalu dengan setia mengiringi Rafael. Berjalan di belakangnya.

***

Semua berjalan seperti yang direncanakan. Mereka hanya tinggal memasuki lift menuju ruang direktur, tanpa takut harus bertemu dengan seseorang yang bisa mengetahui rahasia yang mereka simpan. Karena selain para karyawan biasa yang menyapa dengan hormat, mereka tak bertemu dengan para petinggi khusus yang bisa menyadari perubahan sikap Rafael.

Hingga akhirnya mereka sampai di depan pintu ruangan Direktur perusahaan. Letaknya ada di lantai dua puluh. Level tertinggi dari perusahaan ini.

"Saya mau bertemu Gino. Apa ada di dalam?" tanya Bertha pada seorang wanita muda yang memiliki meja kerja di depan pintu ruangan tersebut.

"Beliau ada, Bu." Wanita itu tampak kaget melihat Rafael. "Astaga, selamat datang Pak Rafael. Senang melihat Anda sudah terlihat kembali sehat."

Rafael hanya memberikan reaksi datar karena sapaan itu. Namun dia sedikit memiliki petunjuk. Kalau gadis ini adalah sekretaris sementara dari sang pemimpin perusahaan, mungkin bisa dipastikan kalau dia dulunya adalah sekretaris yang bekerja untuknya. Namun Rafael tak mau salah menebak sehingga dia memilih diam saja.

"Ya sudah, Rafael. Kamu masuk dulu. Bantu dia Luna. Sementara Mama harus menelepon teman Mama dulu. Tadi Mama meninggalkannya begitu saja di salon."

Sambil mengeluarkan ponselnya, Bertha berjalan menuju salah satu sudut di tempat itu. Sementara Luna mengajak Rafael untuk segera memasuki ruangan setelah sekretaris tadi menghubungi Gino tentang kedatangan mereka.

Hingga itu sebabnya, tak lama kemudian pintu pun terbuka. Menampakkan sosok yang rapi dengan setelan jasnya di sana.

"Raf, kamu ke sini. Kenapa tak bilang-bilang…."

Ucapan Gino menggantung sebenarnya. Karena di detik selanjutnya, dia baru menyadari sosok lain yang berdiri di samping sahabatnya itu. Keduanya sama-sama terkejut saat menyadari satu sama lain.

'Luna?'

'Huh? CEO sementara itu ternyata Gino?'

***