'Luna?'
'Huh? CEO sementara itu ternyata Gino?'
Baik Luna maupun Gino sama-sama terkejut begitu pintu dari ruangan dari Direktur itu terbuka dari dalam. Mereka langsung mengenali satu sama lain karena dulunya mereka juga satu sekolah. Luna mengenali Gino sebagai sahabat terbaik dari mantan kekasihnya, sementara Gino tahu Luna sebagai mantan pacar sahabatnya.
Dalam beberapa saat mereka hanya saling berpandangan. Sehingga tentu saja itu menimbulkan tanda tanya di otak Rafael. Ia merasa mereka berdua bertatapan terlalu lama dengan ekspresi yang terkesan aneh.
"Kalian saling mengenal?"
Sontak keduanya terkejut mendengar pertanyaan itu. Langsung saling melemparkan pandangan lagi satu sama lain.
Namun Luna baru teringat akan keadaan yang ada. Dengan cepat dia mengirimkan sinyal kepada Gino. Wajahnya sedikit meringis, lalu dia juga menggelengkan kepalanya. Memelas kepadanya agar tidak memberitahukan apapun pada si pemuda amnesia yang galak ini.
Gino tampak sempat bingung. Namun kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada Rafael. Sedikit susah memalsukan senyuman padanya. "K-Kenal? Tidak.
"Iya, Tuan Muda. Ini kali pertama saya melihat beliau. Mana mungkin kami saling mengenal."
"Tapi kenapa kalian bertatapan cukup lama? Mana juga dengan ekspresi aneh begitu?"
Rafael memang selalu punya naluri yang tajam sejak dulu. Ia selalu bisa membaca situasi dan keadaan dengan cepat, walau aslinya dia tak bicara banyak. Hal itu sepertinya masih berlaku hingga saat ini walaupun dia dalam keadaan yang kurang sehat.
"M-Mengenai itu… karena ternyata Direktur Gino lebih tampan daripada yang saya duga selama ini. Sehingga… itu sebabnya saya sedikit terpesona tadi, Tuan Muda. Direktur Gino mungkin juga merasakan hal yang sama pada saya."
Bukankah itu jawaban yang aneh? Kesannya seperti tengah menggoda saja. Bahkan menimbulkan rasa aneh bagi kedua pria itu.
"A-Atau mungkin Direktur Gino hanya merasa aneh saja karena saya terlalu memandanginya. Apapun itu… tak ada apapun, Tuan Muda. Tolong maafkan saya."
Rafael masih saja mengernyitkan dahi sambil memandang mereka berdua. Akhirnya Gino pun turun tangan untuk mengalihkan perhatiannya.
"Tak usah dipikirkan hal itu. Tak penting. Lebih baik sekarang kita masuk dulu dan bicara di dalam. Ayo."
"Hm…."
Rafael bergumam pelan. Dia berniat memasuki ruangan namun tiba-tiba menghentikan langkahnya lagi. Dia lantas beralih kembali pada Luna. Lagi-lagi dengan tatapan tajam yang membuat gadis itu kesulitan bahkan hanya untuk menelan ludah.
"Jangan biasakan seperti ini. Kemarin bahkan kamu juga melakukan hal yang sama pada saya. Saya tak tahu apa kamu punya hobi jelalatan pada pria tampan, tapi kamu nggak bisa melakukan ini terus-terusan di lingkungan profesional. Tak peduli apapun yang terjadi kamu harus tetap menjaga sikap kamu sepanjang waktunya. Mengerti?" tegur pria itu pada dirinya.
Luna kembali memalsukan senyuman di wajahnya. Lantas menganggukkan kepala.
"B-Baik, Tuan Muda. Sekali lagi maafkan saya. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi," kata Luna sambil sedikit membungkukkan badannya. Menyahut dengan cara sesopan mungkin.
Setelah itu Rafael lebih dulu masuk ke dalam. Sementara Gino dan Luna saling bertatapan. Sejenak mengirim sinyal satu sama lain. Luna meminta pengertian padanya dan pria itu tampak segera menyanggupinya.
***
"Jadi kamu berniat untuk segera kembali ke kantor, Raf? Kamu yakin?"
Setelah mendengar ucapan Rafael padanya, Gino mengemukakan kesimpulan akhir. Dipandangnya sang teman yang kini duduk di seberang meja. Berdampingan dengan ibunya, lalu juga ada asisten barunya yang ikut bergabung bicara dengan mereka.
"Ya. Mungkin akan ada sedikit persiapan dulu – karena memang keadaanku kan tak sepenuhnya baik. Tapi yang jelas… bulan depan aku akan segera masuk lagi," kata Rafael yang selalu saja tenang seperti biasanya.
"Apa kamu yakin, Raf? Maksudku… aku senang kalau kamu kembali. Perusahaan ini selalu lebih baik berada di bawah kekuasaanmu. Cuman aku mencemaskan kesehatanmu. Itu saja."
"Aku baik-baik saja. Seperti yang kamu tahu, masalah pengetahuanku nggak sepenuhnya terpengaruh. Walau tentu saja tak sebaik biasanya namun aku mampu menyerap dan mengolah informasi yang kudapatkan. Selama kamu mendampingiku dalam mengatur segalanya, maka semua akan baik-baik saja. Dan mengenai hal-hal lainnya." Rafael mengalihkan pandangannya pada Luna yang hanya diam dan mendengarkan sejak tadi. "Itu gunanya aku mempekerjakan asisten. Aku akan menyuruhnya untuk menghapal banyak informasi yang telah kulupakan dari masalah klien, hubungan dengan mereka, bahkan mungkin karyawan-karyawan penting. Dia dipekerjakan karena otaknya yang sangat pintar seperti ingatan program komputer. Sehingga itu sebabnya kami berniat memanfaatkan kepandaiannya itu."
Gino segera kembali memandang Luna. Sejenak tampak keheranan.
Bukannya apa-apa. Tapi dia juga telah satu sekolah dengan Luna selama enam tahun dari SMP hingga SMA. Selama itu setahunya Luna bukanlah siswa yang mencolok dalam hal belajar. Dia bahkan sering terdaftar di rangking terbawah. Sehingga itu sebabnya Gino ragu gadis itu memang memiliki kemampuan seperti yang Rafael bilang.
Namun sebenarnya kedatangannya terasa janggal sejak awal. Bahkan hubungan Luna dengan Bu Bertha juga. Karena tak wajar mereka berjalan beriringan begini, karena dulu Bertha pernah sangat membenci dan menghina Luna karena memacari Rafael. Walau bertahun-tahun berlalu namun semua itu adalah luka yang besar dan dalam bagi keduanya, sehingganya aneh kalau melihat mereka bersama-sama begini dio sekitar Rafael.
'Pasti ada sesuatu. Ekspresi Luna tadi juga aneh.'
Namun untuk sekarang dia tak bisa menebak-nebak. Dia hanya perlu melihat keadaan dulu sebelum nanti mungkin mengetahui jawabannya.
"Ya. Kalau begitu bagus. Aku senang malah. Pokoknya kamu tenang saja. Apapun yang terjadi padamu, aku akan selalu mendukungmu. Aku juga berharap agar kamu bisa segera pulih dan kembali ke perusahaan ini. Aku harap kamu bisa bangkit sepenuhnya."
Sementara Bertha tak banyak bicara seperti sebelumnya kini. Sebenarnya dia masih ragu dengan pemikiran Rafael yang ingin kembali dengan keadaannya sekarang, namun dia merasa kalau mereka juga tak bisa menunda waktu lebih lama. Karena jujur saja, walau dia telah mengenal Gino sejak dulu dan merasakan pengabdian dirinya beserta keluarga, tapi tetap saja aslinya dia orang asing di dalam keluarga mereka. Bertha tak bisa terlalu lama mempercayakan perusahaan ini di tangannya.
Lagipula hal seperti akademik dan inteligen Rafael memang terkesan telah normal. Dia yakin hanya dengan didampingi di awal-awal, pemuda ini bisa melakukan tugasnya sebagai CEO yang sebenarnya. Sisanya adalah para operator yang akan bekerja keras untuk menutupi kondisi hilang ingatan ini dari orang luar. Tentu saja kontribusi Luna untuk memancing ingatan-ingatan itu kembali juga perlu untuk dibicarakan. Entah bagaimana Bertha yakin kalau usaha ini mungkin akan berhasil.
'Semuanya pasti akan berjalan lancar dan sesuai dengan keinginanku. Rafael akan baik-baik saja dan kembali seperti semula.'
***