Akhirnya walau dengan keadaan yang kurang menyenangkan, mereka bisa melanjutkan kegiatan mereka juga dari sana. Dengan wajah kusut dan menyebalkan, Rafael akhirnya masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Menyisakan Luna yang mengomeli dirinya sendiri atas apa yang terjadi tadi.
'Panggil pelayan untuk membersihkan kamar. Lalu siapkan pakaian untuk beliau kenakan.'
Suara menyebalkan dari pihak operator kembali terdengar di telinganya.
"Siapa yang harus menyiapkan pakaian untuknya? Aku atau pelayan yang disuruh membersihkan kamar."
'Tentu saja kamu. Itu akan menjadi tugas kamu mulai dari sekarang. Kan sudah dijelaskan sebelumnya kalau kamu akan dengan sangat detail mengurus Tuan Muda. Hal itu dimaksudkan agar dia semakin terbiasa dengan kehadiranmu, sehingga juga merangsang otaknya lebih cepat mengingat kenangan kalian.'
Rumit sekali.
"Tapi kan aku nggak tahu selera berpakaiannya."
'Mengenai itu tenang saja. Kamu hanya perlu mengikuti instruksi dariku dan mengikutinya. Ingat. Jangan sampai melenceng sedikitpun.'
Luna mendesah berat sambil tanpa sadar menganggukkan kepalanya. "Yes, Sir!"
Luna pun ke luar kamar sebentar untuk meminta pelayan membersihkan kamar sang tuan muda. Lalu selanjutnya ia pun memasuki sebuah ruangan besar di kamar tersebut yang berisi khusus pakaian dan aksesoris milik Rafael.
"Woah… dia seperti punya mall pribadi di rumahnya. Semua ini isinya baju semua?"
Luna tak bisa menahan rasa takjub saat memasuki ruangan tersebut. Dia masih tak percaya saja dengan apa yang dia lihat.
'Jaga sikap kamu. Kalau kamu terus bersikap layaknya amatur atau bahkan mengenalnya begitu, bisa-bisa kamu kelepasan saat bersama dengan Tuan Muda Rafael.'
Pihak operator yang bertugas kembali mengomelinya. Sungguh, ini pekerjaan yang menyebalkan.
Namun Luna tetap melanjutkan pekerjaannya. Sesuai dengan penjelasan dan petunjuk dari orang yang terhubung dengannya dengan perangkap-perangkap ini, dia memilih beberapa hal yang akan dikenakan oleh Rafael nanti. Hari ini mereka memilih kemeja berwarna putih dengan celana dan rompi berwarna krim. Lantas disempurnakan dengan jam tangan dan sepatu yang sama-sama hitam.
"Hari ini kan dia hanya di rumah saja. Kenapa pakaian terkesan mahal dan formal begini?" tanya Luna begitu membawa semua barang-barang itu kembali ke kamar tidur Rafael. Dia meletakan pakaian itu dengan hati-hati di sana, kotak jam tangan di sampingnya, lalu sepasang sepatu di lantai.
'Baik. Sekarang selesai. Kamu tunggu di luar.'
"Baik."
Namun baru saja dia berniat beranjak ke luar kamar, tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Luna langsung menoleh. Seketika menelan ludah begitu melihat Rafael keluar dari sana hanya dengan handuk putih melingkari pinggangnya. Sekali lagi dengan tanpa sadar memandangi kulit tubuh pria itu.
'Kamu ngapain sih? Kenapa malah bingung seperti orang bodoh di sana. Kamu mau diomeli lagi apa?'
Luna tersadar mendengar omelan itu. Rafleks memukul kepalanya lagi dengan pelan. Namun ada yang mengganggunya. Karena Rafael hanya berdiri membisu di ambang pintu sambil bersedekap. Memandang gadis itu dengan kedua matanya yang tajam namun terkesan tak memiliki emosi.
"Enjoy what you see?" Pria itu bertanya dengan nada suaranya yang berat.
"T-Tidak, Tuan Muda. Saya tak bermaksud!" Luna langsung menyahut. Tampak dia sedikit gelagapan. "S-Saya berniat untuk meletakkan pakaian yang hendak Anda gunakan hari ini. Tapi ternyata Anda sudah duluan keluar."
Rafael melayangkan pandangannya menuju pakaian di atas tempat tidur. Ekspresi wajahnya tampak masih saja datar.
"Jadi kamu bahkan akan menyiapkan pakaianku segala? Tapi… kenapa kamu memilih pakaian ini? Ini kali kedua kita bertemu, tapi sepertinya kamu sudah tahu saja selera berpakaianku."
'Bilang saja kalau kamu bertanya pada pelayan yang biasa bertugas. Bilang juga kalau kamu sudah bisa langsung mempelajari karakternya hanya dengan melihat beberapa foto saja.'
"S-Saya bertanya pada pelayan yang bertugas, Tuan Muda. Selain itu… hanya dengan melihat beberapa foto Anda, saya seperti dapat menebak selera Anda dalam berpakaian. Saya juga langsung memantapkannya saat melihat jenis pakaian di lemari Anda."
Bukankah itu penjelasan yang terdengar masuk akal? Semoga Rafael mempercayainya.
Namun apa yang bisa diharapkan? Pria itu masih saja tak mengatakan apapun, sambil memasang ekspresi yang datar itu di wajahnya.
"Ya sudah. Apa lagi?"
Luna tersadar mendengar ucapan sang tuan muda. Mengangkat wajahnya untuk melirik pria itu lagi. "Maksud Anda, Tuan?"
"Saya mau ganti baju. Kenapa kamu saja berdiri di sana? Kamu nggak ditugaskan untuk memakaian pakaianku segala, bukan?"
Seketika Luna langsung panik dan tergagap. "T-Tentu tidak, Tuan. S-Saya akan segera ke luar kok. M-Maaf telah membuat pekerjaan Anda tertunda."
Setelah mengatakan itu Luna segera berlari ke luar dari kamar. Menyisakan Rafael yang masih saja menatapnya datar hingga hilang dari pandangan.
"Dasar wanita aneh."
Rafael lebih mendekati pakaian tadi, lalu memeriksanya lagi. Sepertinya pilihan wanita ini tak buruk. Dia juga berada di suasana hati yang pas untuk mengenakan semua pilihannya ini.
***
Setelah menunggu hampir satu jam, pintu kamar Rafael akhirnya terbuka. Luna bangkit dari sebuah sofa tempatnya menunggu. Menemui pria itu yang tampak sudah gagah dengan pakaian-pakaian yang dipilihkan oleh operator tadi.
'Woah… aku nggak mau bersikap norak. Tapi harus kuakui kalau dia semakin terlihat tampan dari yang kukenal terakhir kali. Padahal dulu dia hanya remaja yang walaupun kaya tapi hidup layaknya anak seusianya. Sekarang dia benar-benar sudah jadi pria dewasa yang tak hanya punya uang dan ketampanan, tapi aura yang tajam.'
Luna ingin menampar dirinya sendiri karena pemikiran itu. Tapi mau apalagi? Pada nyatanya dia tetap wanita biasa yang tak bisa menolak pesona dari pria-pria tampan.
"Selanjutnya kita ada terapi dari dokter lagi untuk melatih ingatan Anda, Tuan. Jadi—"
"Cancel."
Rafael menyela ucapannya tiba-tiba sambil memeriksa jam di pergelangan tangannya.
Luna dengan cepat memandangnya. "Cancel, Tuan? Anda yakin?"
"Ya. Karena saya sedang ingin pergi ke suatu tempat."
"Suatu tempat ke mana?"
Bukannya menjawab, Rafael malah melirik padanya. Sejenak membuat Luna tegang saat bertemu pandang lagi dengan kedua bola matanya yang hitam kecokelatan. Yang tampak sangat dingin dengan minimnya ekspresi yang dia keluarkan.
'Dia kenapa harus menyeramkan dan misterius begini sih? Kadang bikin aku jantungan saja.'
"Soal itu aku jelaskan nanti. Sekarang aku lapar, jadi aku ingin sarapan dulu. Apa menu sarapan hari ini?"
Luna menjelaskan hal yang sudah ditanyainya pada pelayan sebelum ini. Lagi-lagi karena instruksi dari operator yang terus membuntuti semua yang dia kerjakan.
"Ya sudah. Suruh mereka membawanya ke kamarku sekarang.
"B-Baik, Tuan Muda."
Omong-omong Luna gagal di misi itu. Tadi operatornya bercerita kalau dia harusnya mengajak Rafael untuk bergabung sarapan dengan anggota keluarganya yang lain. Namun karena tadi Rafael sulit untuk dibangunkan, waktu mandi yang lumayan lama, serta lamanya bertukar pakaian, hal itu jadi tak terwujud.
'Mungkin di lain waktu saja saat aku terus berusaha untuk membujuknya.'
***