Chereads / My First Love Has Amnesia / Chapter 12 - Janji Luna Pada Serra

Chapter 12 - Janji Luna Pada Serra

"Tapi sebenarnya… ada hal lain yang ingin kuminta pada kamu, Luna."

Wanita itu menepis pemikirannya itu, lalu melirik wanita di depannya lagi. Di mana Serra kini masih saja memandangnya tanpa ekspresi. Entah itu sejenis kode etik bagi para bangsawan ini. Luna benar-benar aneh kenapa sangat sulit sekali bagi mereka untuk sekedar berekspresi.

"Apa itu, Non… maksudku… Serra?"

"Laporkan segala perkembangan kerjaan kamu padaku juga." Serra menyahut tak lama. "Hal-hal mengenai apa yang kamu lakukan, serta bagaimana Rafael menerimanya… aku juga pengen tahu itu semua."

"Aku nggak masalah sih. Tapi… memangnya bagaimana menurut Bu Bertha?"

"Kamu nggak usah tanya pendapatnya. Ini bisa jadi urusan di antara kita."

Serra menyela ucapannya. Hal yang membuat Luna jadi sedikit berfirasat buruk. Jadi ini semacam pekerjaan rahasia di belakang Bertha? Yang benar saja, bagaimana mungkin Luna melakukannya. Nanti yang ada malah dia terkena masalah.

"Aku nggak yakin dengan Tante Bertha. Sebenarnya dia janji akan terbuka denganku masalah ini, namun aku merasa beliau tidak akan sepenuhnya memegang ucapannya. Takutnya malah nanti beliau hanya menyampaikan beberapa hal kecil saja, lalu menyembunyikan bagian lainnya. Aku nggak suka itu. Aku ingin selalu tahu tentang keadaan Rafael."

"Tapi aku nggak mau terlibat dengan hal seperti ini. Aku hanya akan bekerja dengan Bu Bertha sesuai dengan kapasitasku. Sehingga aku nggak mau melakukan sesuatu yang mungkin akan membuatku dianggap menyalahi kontrak di antara kami."

"Bahkan walau aku bersedia membayar sekalipun?"

Luna agak terdiam. Dia memandang Serra sedikit lama, tampak bingung harus menjawab apa. Tentu saja, siapa yang bisa mengabaikan kata 'uang' begitu saja?

"Aku bakal kasih sepuluh juta setiap bulannya. Gimana? Lumayan, kan?"

Luna terdiam sejenak. Lagi-lagi dia merasa cukup tergiur. Walau kemudian dia dengan cepat tersadar. Dengan cepat ia menggelengkan kepalanya.

"Maaf, Serra. Tapi aku nggak bisa. Karena aku—"

"Gimana kalau lima belas juta?"

Serra tak peduli dengan penolakannya, malah terus mencoba. Luna lagi-lagi jadi bimbang karenanya. Kembali dia tergoda. Walau kemudian gadis itu akhirnya menggeleng dengan lebih kencang.

"Tidak, Serra. Maaf banget. Tapi saya nggak bisa melakukan itu. Tolong mengerti ya kedudukanku ini?"

Serra akhirnya diam. Kali ini dia tak mengatakan apapun lagi, walau ekspresinya tampak menjadi lebih dingin lagi. Dia marah padanya, Luna bisa langsung membaca itu. Tapi mau bagaimana lagi? Dia mengajukan permintaan yang cukup sulit.

"Ya sudahlah. Kalau kamu nggak mau bekerja sama, aku bisa apa? Aku hanya bisa pasrah dengan segala kegilaan ini."

Serra akhirnya bangkit dari tempat duduknya, lantas melenggang menuju pintu. Sepertinya benar-benar menyerah membujuk Luna karena tak berhasil. Di dalam hati Luna merasa tak enak sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi? Dia juga harus mengutamakan dirinya sendiri.

Namun….

"Serra, tunggu sebentar."

Seruan itu berhasil membuat wanita itu menghentikan langkahnya. Tanpa berbalik dia hanya memutar kepalanya. Memandang tanpa minat pada perempuan itu.

"Ada apa lagi?" tanyanya dingin.

"Enggak. Aku cuman mau bilang. Kalau kamu khawatir aku bakal menggoda Rafael, kamu nggak perlu takut. Karena aku pastinya nggak bakal melakukan itu. Aku benar-benar hanya ingin membuatnya sembuh, tanpa ada unsur perasaan lain dalam hal ini."

"Baguslah kalau emang kamu berniat begitu." Serra memandangnya sedikit sinis sambil buang muka. "Tapi apa kamu yakin? Tidak ada yang tahu apa yang terjadi ke depannya, kan? Bisa aja karena kalian terlalu banyak bersama – sambil bernostalgia juga – siapa tahu pada akhirnya hatimu malah menginginkan hal yang lain."

"Itu nggak mungkin. Percayalah padaku, kalau aku nggak bakal ngelakuin itu," kata Luna dengan sangat bersungguh-sungguh.

Serra akhirnya mengangguk.

"Oke. Aku pegang kata-kata kamu. Kuharap kamu serius dengan hal itu dan bukannya malah memakan ucapan sendiri."

Setelah mengatakan itu Serra langsung melangkah ke luar kamar. Menyisakan Luna yang memandang punggungnya hilang dari ruang matanya.

"Tentu saja aku yakin dan serius. Aku juga nggak akan memakan ucapanku sendiri. Ini semua hanya soal uang dan pekerjaan, aku nggak mungkin akan menyukai Rafael lagi," gumam wanita itu dengan suara pelan.

***

Bu Bertha:

'Besok kamu akan mulai bertugas.'

'Untuk saat ini kamu hanya perlu menjaga sikap di depan Rafael, serta tunjukkan keseriusan kamu dalam bekerja.'

'Para operator juga akan siaga memantau kamu, jadi aktifkan semua alat yang diberikan tanpa terkecuali.'

'Kamu juga harus mulai memikirkan soal kenangan kalian. Pikirkan hal-hal yang mungkin akan merangsang otak Rafael untuk mengingat segalanya. Kalau saya sudah kasih aba-aba nanti, barulah kamu mulai bertindak.'

'Selalu jaga sikap pokoknya. Bermainlah dengan cantik. Jangan sampai kamu ketahuan.'

Luna mendesah berat setelah membaca chat panjang dari wanita paruh baya itu. Lalu langsung menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Perutnya terasa kenyang karena baru saja makan malam. Mana menu yang disajikan tidak main-main. Semuanya terasa enak dengan berbagai cuta rasa, sehingga membuatnya makan setengah kesetanan.

'Perutku jadi padat sekarang. Rasanya mau langsung tidur saja.

Tapi dengan cepat wanita itu tersadar. Dia perlu terjaga dulu, untuk mulai memikirkan strateginya dalam misi ini. Cara yang harus dia tempuh untuk mendapatkan uang tiga ratus juta rupiah.

"Sepertinya ini saatnya aku mengeluarkan senjataku."

Luna bergumam begitu, lalu mengalihkan pandagannya pada koper besar yang belum sempat ia bongkar. Lantas kemudian memaksakan tubuhnya bangun untuk mulai bekerja. Luna membuka tas tersebut, lalu mengeluarkan beberapa barang di dalamnya.

Satu, dua, tiga, empat, lima, dan enam.

Enam diary. Di mana semua itu ditulis saat dia masih SMP atau SMA, saat-saat di mana dirinya dan Rafael masih hidup dengan cukup berdampingan. Hal yang kemudian membuat mereka juga jatuh cinta, dan akhirnya berpacaran.

"Aku tak percaya masih bisa menemukan buku ini. Padahal awalnya aku sudah akan membuangnya, namun kata Ibu lebih baik disimpan saja buat kenang-kenangan. Siapa menyangka kalau sekarang ini akan menjadi sangat berguna?"

Setelah membolak-balik beberapa kali, Luna berhenti di salah satu buku. Buku paling pertama dari series diary-nya. Ditulis saat dia duduk di kelas satu SMP.

'Dulu aku mulai menulis diary saat masuk SMP, karena itu aku ingin mengingat hari-hari masa remajaku dengan baik. Walau sebenarnya tak banyak hal menarik yang terjadi.'

Luna pun mulai membuka halaman pertama. Menemukan sedikit corat-coret kekanakan di sana. Hal yang membuatnya merasa malu sendiri mengingat semuanya.

Namun sudahlah. Berhenti bernostalgia. Sekarang dia hanya perlu fokus bekerja, sehingga dia pun langsung ke isi diary yang pertama. Hal yang kemudian membuat Luna sempat terdiam sejenak. Tersenyum miris.

'Bahkan di lembaran pertama diary ini saja sudah ada nama Rafael di sini. Karena memang… kami terlah melewati banyak hal – dulunya. Sejak hari pertama aku menginjakka kaki di SMP.'

***