"Baiklah. Saya akan menerima tawaran dari Anda."
Luna akhirnya mengatakan itu beberapa hari setelahnya, di hari yang dijanjikan dengan Bertha untuk membicarakan soal kerja sama.
Wanita di depannya tampak tersenyum tipis saat mendengar hal itu. "Bagus. Tentu saja… kalau kamu pintar kamu nggak akan menolaknya."
Sejujurnya Luna tak yakin dengan semua ini. Meskipun pekerjaan ini bukan sesuatu yang membuatnya berdosa atau melakukan pelanggaran hukum, namun tetap saja terasa begitu berisiko saja. Bagaimana kalau misalnya dia tak berhasil mengembalikan ingatan Rafael? Bertha mungkin akan sangat mengamuk dan malah membuat hidupnya semakin sengsara.
"Kalau begitu kamu silakan siapkan semuanya. Keluar dulu dari pekerjaan kamu yang sekarang, lalu pindahlah ke rumah saya."
Luna tampak kaget. Dia langsung melirik wanita itu dengan tak percaya. "P-Pindah ke rumah Anda? Tapi hal itu tak ada di kontrak."
"Memang tidak ada. Saya berubah pikiran baru-baru ini, melihat betapa semakin mengkhawatirkannya kondisi Rafael. Jangan khawatir, saya akan tambahkan lima juta untuk kompensasi hal ini. Lagipula bukankah penawaran ini sebenarnya menguntungkan untuk kamu? Kamu bisa tinggal di rumah mewah saya, di mana segala fasilitas hingga makanan tersedia. Jadi itu bukan masalah sama sekali, bukan?"
Hm… sebenarnya Luna sangsi. Di satu sisi memang terdengar menggiurkan, tapi dia tak lupa kalau dia ke sana untuk bekerja dan bukannya liburan. Dia tak akan bisa menikmati segala fasilitas itu. Selain itu kalau sampai harus pindah rumah berarti dia juga harus memikirkan alasannya kepada kedua orang tuanya. Kira-kira apa yang akan dia katakan agar mereka tak kepikiran ataupun khawatir?
"Kalau kamu memikirkan alasan… jangan khawatir."
Bertha membuat kode kepada asistennya Ratna. Saat dia mengulurkan tangan, sebuah map diberikan oleh wanita itu padanya.
"Ini sejenis surat panggilan pekerjaan. Di dalamnya tertulis kalau kamu diterima untuk bekerja di cabang perusahaan Abraham Corp di Batam, sehingga kamu harus berpindah ke luar kota. Tunjukkan ini kepada orang tua kamu, sehingga mereka tidak khawatir. Dengan begitu kamu juga lebih mudah untuk berpindah ke rumah kami."
Luna terdiam. Dia kehabisan kata-kata saat memeriksa dokumen tersebut. Sama sekali tak menyangka dengan segala persiapan yang ada.
"Selain itu ini juga dapat menjelaskan pada mereka tentang asal gaji yang kamu dapatkan. Mereka pasti curiga kalau seorang pekerja tak jelas seperti kamu tiba-tiba menghasilkan banyak uang untuk membiayai kehidupan kalian, namun nanti kamu bisa jelaskan kalau Abraham Corp memiliki sejenis program membantu karyawannya. Kamu bisa bilang kalau kami akan memberi pinjaman beberapa puluh juta, sehingga kamu bisa menjelaskan hal itu pada mereka."
Sudahlah. Luna sepertinya tak bisa mengatakan apapun.
"Sekali lagi… terima kasih atas segala kemudahan yang Anda berikan." Luna menundukkan kepalanya sungkan.
"Ya, kami boleh ambil semuanya… tapi kamu harus pastikan semua ini berhasil. Kamu harus bisa membuat Rafael sembuh, dan bahkan kembali mengingat siapa dirinya. Oh ya, saya tekankan juga kalau kamu harus selalu bersikap profesional. Kamu nggak boleh memasukkan perasaan… dalam pekerjaan ini. Kamu nggak boleh mendekatinya dengan alasan selain dari untuk penyembuhannya."
Luna mengangguk dengan cepat. Dia sangat yakin akan hal itu, karena memang hubungan mereka telah berlalu. Sekarang dia tak memiliki perasaan apapun lagi pada Rafael. Lagipula sekarang dia tahu kalau Rafael telah memiliki calon istri, sehingga tak mungkin baginya melakukan hal-hal yang dilarang.
"Jangan khawatir, Nyonya. Itu nggak bakalan terjadi. Saya benar-benar hanya akan bekerja… serta TIDAK AKAN pernah melibatkan perasaan dalam prosesnya nanti."
Apakah Luna benar-benar memenuhi ucapannya ini, atau… apa dia bakal sesumbar sehingga termakan ucapannya sendiri?
***
Keesokan harinya Luna kembali bekerja seperti biasanya. Dengan kadar giat yang sama dengan sebelumnya, dia menikmati sisa waktu yang dia punya sebagai seorang penyiar radio. Karena mungkin hanya beberapa hari lagi sampai dia bisa melakukan pekerjaan yang menyenangkan ini.
"Apa? Kamu mau mengundurkan diri? Kenapa tiba-tiba?"
Itulah reaksi dari salah satu seniornya saat Luna menyampaikan keinginannya. Sedikit tak enak karena semuanya menjadi mendadak, padahal tentu saja dia butuh seorang pengganti sebelum meninggalkan posisinya.
"Karena ada tawaran pekerjaan lain, Mbak. Karena seperti yang Mbak tahu… saya lagi butuh banyak uang untuk pengobatan Ayah saya." Luna menjawab sambil tersenyum kecil padanya. "Tapi Mbak nggak usah khawatir. Saya bakal tetap siaran sampe kalian menemukan penggantinya. Jadi saya beritahukan sekarang agar kalian bersiap-siap."
"Memangnya kamu mau bekerja apa? Pasti kamu dapat tawaran yang lebih menggiurkan sampai rela melepaskan pekerjaan yang sekarang."
Staf radio lain yang kebetulan ada di sana ikut bertanya. Dia berjalan mendekati mereka berdua.
Luna terdiam mendengar hal itu. Dia tak yakin akan menjawab apa. Karena tak mungkin bukan dia mengaku telah mendapat tawaran sebagai 'pancingan' untuk mantan kekasihnya yang tengah amnesia. Di mana dia akan dipekerjakan untuk menstimulus ingatan pria itu lagi dengan kenangan-kenangan di antara mereka di masa lalu.
Jadi harus dijawab apa? Karena entah mengapa mereka sedikit memandangnya curiga. Mungkin setelah tahu cerita hidup Luna yang begitu kesulitan dalam hal finansial karena penyakit parah sang ayah, pasti akan menarik dari mana gadis itu bisa mengumpulkan uang. Mereka mungkin curiga dia akan menjual diri karena mustahil mendapatkannya dengan mudah.
"Ada deh pokoknya. Yang jelas… halal ya."
Akhirnya hanya itu yang Luna katakan. Karena berbeda dengan kedua orang tuanya, dia mungkin saja akan bertemu dengan para mantan rekan kerjanya ini nanti di saat telah mengabdi pada Bertha mengingat mereka tetap berada di kota yang sama. Sehingga pada akhirnya Luna terpaksa memberikan jawaban yang ambigu seperti itu.
***
Saat Bertha sampai di rumahnya, ia melihat Rafael tengah berada di halaman belakang. Pemuda itu tampak termenung lagi sambil memandang air kolam berenang yang sangat tenang. Mengabaikan buku yang tengah dia baca.
"Putraku…."
Rafael menoleh. Ia bahkan tak bisa memaksakan senyuman untuk menyambut sang Ibu. Ekspresi wajahnya tampak sangat lesu seakan tanpa kehidupan sama sekali.
"Apa yang kamu lakukan di sini? Serra mana? Kenapa Mama tak melihatnya?"
"Dia kusuruh pulang. Ada urusan dengan pekerjaannya, sehingga dia pamit dulu untuk mengurusnya."
Bertha menganggukkan kepala paham. Lalu semakin mendekati sang putra, lalu duduk di sampingnya.
"Kamu udah makan?" tanya sang Ibu penuh perhatian.
"Sudah. Walaupun hanya beberapa suap lagi karena nggak selera."
Bertha menganggukkan kepalanya. Dia terdiam sejenak, sambil terus memantau setiap ekspresi dari putra tunggal kebanggaannya itu. Berusaha mencari momen yang pas untuk memberikan kabar besar ini kepada dirinya. Sesuatu yang Bertha percayai akan membantunya untuk dapat pulih kembali.
"Raf, Mama punya kabar untukmu nih. Dan Mama yakin… kamu pasti akan sangat senang mendengarnya."
***