Saat Marquess bersiap menghadapi serangan monster, sejujurnya ia tidak yakin dapat menghindar. Untunglah, seseorang mendorongnya menjauh. Marquess menancapkan pedangnya ke lantai dan menggunakannya untuk menopangnya berdiri. Wajahnya berpaling dan melihat gadis remaja berusia sekitar 16 tahun. Gadis dengan rambut segelap malam berdiri tak jauh dari tempatnya. Sorot matanya seperti percikan api terpusat ke arah monster. Beberapa detik kemudian, Ana berpaling dan menghampiri Marquess.
"Tuan Marquess, anda baik-baik saja?"
Marquess menatap Ana yang membantunya berdiri. Tangan kanan Marquess terangkat untuk menghentikan bantuan Ana. Meskipun luka tusukan dari ekor monster itu menembus tulang dadanya tetapi tekad bertarungnya tetap membara. Luka parah saat bertempur sudah sering ia alami. Tangan Marquess menyentuh bahu Ana.
"Nak, kau pergilah ke tempat yang aman!" perintahnya dengan tegas.
Ana memandang ke sekelilingnya. Rosseta, Lucy dan para pelayan yang lain telah berlarian menjauhi tempat itu. Tepat saat itu, kepala monster yang tertanam di lantai bergerak-gerak. Suara retakan lantai yang hancur terdengar nyaring dan debu dari runtuhan memenuhi udara pagi. Mulut monster itu terbuka lebar dan mengeluarkan pekikan yang dasyat. Ana segera menutup telinganya. Rasa kesakitan yang luar biasa terasa di kepalanya hingga membuatnya terjatuh di lantai.
"Panah!"
Suara lantang Ernan dan derap langkah para pasukan terdengar bersamaan dengan puluhan anak panah yang melesat ke titik sasaran. Kepala monster itu menoleh ke arah panah yang mengincarnya dan segera sayapnya menangkis serangan itu. Pekikan monster pun berhenti. Perlahan-lahan Ana membuka telinganya, tangannya mengusap keringat di dahinya dan mengatur pernapasannya.
Ernan dan beberapa pasukan yang tersisa menyerbu monster itu. Ia melompat tinggi dan menebaskan pedangnya ke badan monster itu. Sang Marquess menegakkan badannya kembali dan mengayunkan pedang besarnya. Serangannya berhasil mengenai salah satu mata monster. Namun, serangan balik dari monster itu mengenai Marquess dan membuatnya terpental sedangkan Ekor monster menghampaskan para pasukan yang mendekatinya.
Mata Ernan menatap monster itu dengan kemarahan, tangannya menggengam erat pedang, dan kakinya berlari. Ia melompat sambil berseru dengan kencang dan menancapkan pedangnya ke ekor monster itu. Ekor itu berhenti bergerak. Sang Monster memang sudah terluka parah tetapi kekuatannya tak melemah sedangkan Sang marquess, Ernan, dan para pasukan mulai kelelahan. Luka parah di dada Marquess membuat kekuatan bertempurnya menurun. Ernan dan para pasukan yang tersisa berusaha mati-matian menyerangnya. Siapa pun yang melihat peperangan itu bisa menduga jika mereka akan kalah. Ernan dan para pasukan masih melancarkan serangannya dengan sengit dan membuat monster terdesak hingga gerakannya melambat. Namun, monster itu berhasil mencakar Ernan dan membuat luka panjang di bagian punggung dan kakinya. Kedua kaki depan monster itu berdiri dan berusaha menginjak tubuh Ernan. Secepat kilat Ernan berguling mengindarinya dan menabrak dinding bangunan. Kesadarannya hilang bersamaan dengan cairan merah yang mengucur deras dari tubuhnya. Pasukan yang lain pun terluka parah sedangkan sang Marquess masih berdiri di depan monster itu. Keteguhan hati dan api yang berkobar masih terlihat dengan jelas di matanya.
Lelaki berbaju coklat yang mengurusi bagian dokumen di kediaman Marquess mengendap-endap dari balik reruntuhan. Saat monster mencoba menyerang Marquess kembali, lelaki berbaju coklat melompat dari tempat persembunyiannya dan berteriak,
"Awas, Tuan!"
Lelaki itu mendorong tubuh Marquess ke samping sehingga terhindar dari serangan monster. Alhasil, serangan monster itu mengarah pada Ana. Namun, Ana berhasil menghindar sehingga serangan itu hanya meninggalkan sebuah cakaran panjang menggores dinding berbatu. Monster itu merasa kesal dan mencoba melayangkan cakarnya kembali. Ana memutar tubuhnya, mengayunkan tangannya yang memegang belati dan menggores bagian tubuh monster yang terdekat dengannya. Bekas goresan dari belati Ana di kaki monster itu mengeluarkan asap kehitaman. Monster merasa kesakitan dan berhenti menyerang sejenak.
Di sisi lain, Marquess tadinya mengira diselamatkan oleh bawahannya tetapi pikiran itu segera menguap. Rasa sakit yang luar biasa menghantam perutnya. Sebuah pedang pendek menancap di tubuhnya. Matanya melotot menatap wajah lelaki berbaju coklat yang sedang tersenyum mencemoohnya.
"Kau…!!" geram Marquess sebelum ia terjatuh di lantai. Lelaki berbaju coklat itu tertawa menggila hingga membuat Ana berpaling.
"Hahahaha…. Mampus kau, Marquess!"
Badan lelaki berbaju coklat itu mendunduk ke arah tubuh Marquess. Dengan suara mencibir ia berbisik, "Matilah kau orang tua, kota Liere aku akan menjadi milikku. Aku saja yang mengurusnya!"
Lelaki berbaju coklat itu kembali tersenyum dengan puas. Ia mengingat perjumpaannya dengan orang berambut merah yang berjanji akan memberikan kota Liere padanya, jika ia berhasil menempatkan mantra pemanggil yang sudah dibuatnya di dalam kediaman Marquess. Ia menyetujui hal itu dan akan mengambil kesempatan dalam pertempuran untuk membunuhnya. Marquess tidak memiliki pewaris untuk melanjutkan, sehingga saat ia meninggal kota Liere menjadi kota tak bertuan. Kota itu segera akan menjadi miliknya mulai saat ini. Keserakahan yang dimilikinya menggelapkan hatinya.
Ana segera berlari dan melayangkan kakinya ke arah lelaki berbaju coklat. Lelaki itu berupaya menghidari tendangan Ana dan menggeser tubuhnya ke samping kanan. Namun, dari arah itu belati di tangan Ana menggores lengan kanannya. Lelaki itu berteriak kesakitan. Ia mengacungkan pedang pendeknya mencoba menusuk Ana. Tangan kiri Ana memegang pergelangan tangan lelaki itu dan belati di tangan kanannya menangkis pedang pendek lelaki itu. Pedang pendek yang berlumuran darah Marquess terjatuh ke lantai. Raut wajah kesal memenuhi muka lelaki itu. Ia berusaha menerjang Ana tetapi tiba-tiba gerakannya berhenti. Tubuhnya membatu. Matanya yang semula menatap Ana beralih memandang tubuhnya dan perlahan-lahan menengok ke belakang. Ia melihat Marquess berdiri, pedangnya menusuk tubuh lelaki itu.
"Bermimpilah akan hal itu!" suara dingin Marquess terdengar diantara hembusan napas yang berat. Lelaki berbaju coklat itu terduduk di lantai dengan darah yang mengalir sedangkan Marquess segera rebah ke lantai dengan mata tertutup.
Ana segera memeriksa tubuh Marquess yang terlentang di lantai. Napas lemah masih terasa. Tangannya menyobek gaun tidurnya dengan belati untuk menghentikan pendarahannya. Tepat saat itu monster yang sempat menghentikan serangannya sejenak karena kesakitan mulai menyerang kembali. Monster itu berjalan mendekatinya dengan lemah. Luka goresan di kaki yang dibuat Ana terlihat membesar dengan sendirinya. Ana bangkit dari samping Marquess dan berlari menjauh. Matanya nanar melihat ke sekelilingnya. Tak ada seorang pun yang berdiri. Para pengawal terluka parah dan berserakan di lantai. Hati Ana bergetar, keringat dingin menetes, tubuhnya menggigil, kemarahan, kesedihan, dan ketakutan bercampur dalam hatinya. Ia berlari dan bersembunyi di balik reruntuhan bangunan. Tangannya menggengam erat belati dan napasnya memburu. Monster mengejarnya dan berusaha menghantamkan kakinya ke tempat persembunyiannya. Ana terlonjak kaget. Reruntuhan yang menutupi tubuhnya mulai roboh dan ia harus keluar dari tempat itu. Monster itu meloncat dengan mulutnya yang terbuka lebar dan berusaha menerkam Ana.
Ana menjatuhkan tubuhnya dan berguling untuk menghindarinya sehingga mulut monster itu menghantam lantai berbatu. Melihat ada kesempatan, Ana mengumpulkan keberaniannya. Secepat kilat, ia bangkit berdiri lalu melompat tinggi sampai di kepala monster. Tangan Ana menusuk kepala monster dengan belatinya.
Tiba-tiba sinar keperakan yang menyilaukan mata timbul dari belati itu. Asap hitam pekat keluar dari kepala monster. Sang monster menjerit kesakitan sambil menggelepar-geleparkan tubuhnya. Ana yang akan kehilangan kesimbangan meraih rambut monster untuk berpegangan. Monster itu kebingungan. Ia menabrak bangunan di samping kanan dan kirinya kemudian menggepakkan satu sayapnya dan melompat ke atas bangunan. Saat sampai di atap bangunan tubuh monster itu berhenti bergerak. Dengan suara desisan lirih tubuh monster roboh jatuh ke tanah. Ana melepaskan pegangannya dan terjun ke bawah dari atap bangunan.
"BAM..!!"
Monster besar itu tumbang. Suara benturan keras bersamaan dengan debu di udara berhamburan menutupi tempat itu. Ana terjatuh, tangannya berusaha menggapai tepian bangunan tetapi tidak berhasil. Tubuhnya meluncur terjun dari atap dan tiba-tiba sinar keemasan menangkapnya. Ana melayang di udara dan diselimuti oleh kehangatan sinar itu. Perlahan-lahan sinar keemasan menghilang dan munculah seorang pemuda tampan berambut emas tangan kedua tangan yang menangkap tubuhnya. Mata Ana terbelalak dan ia terbengong.
Pemuda itu menatap Ana dengan raut wajah kesal.
"Wow, kenapa kau selalu dalam bahaya? Apa itu bakatmu?" sindirnya.
Tubuh Ana terpaku beberapa saat.
"Ka… kamu… kenapa kau bisa ada di sini?" ucapnya terbata-bata.
Serasa tak percaya, Ana melihat pemuda itu tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia bertemu kembali dengannya. Harapannya terjadi. Ingatannya melayang saat pemuda itu mengatakan jika ia mengetahui cara mendapatkan buku sihir yang dicarinya. Namun, yang dilihatnya saat ini pemuda itu bahkan bisa menggunakan sihir.