Ana dan orang yang menyergapnya terjatuh di tanah. Tubuh mereka berguling di tanah hingga membuat debu, tanah, dan rerumputan berhamburan ke udara, mengotori tubuh mereka. Tangan Ana mendorong orang itu menjauh dari tubuhnya dan segara melepaskan diri. Wajahnya terangkat dan melihat ke sekelilingnya. Di sampingnya, ia menemukan sebuah potongan kayu yang panjang. Ana mengambil potongan kayu itu dan segera bangkit berdiri. Ia mengatur pernapasannya dan menatap tajam orang yang menyerangnya. Saat orang itu berusaha bangkit berdiri, Ana mengayunkan tongkat kayu itu. Mata orang itu terbeliak melihat serangan secara tiba-tiba dan berusaha menghindarinya. Alhasil, tongkat kayu yang digunakan Ana untuk menyerang mengenai tanah yang kosong. Pukulan itu membuat debu menyeruak ke atas permukaan tanah dan bekas lubang yang menjorok ke dalam tanah. Orang itu berdiri di samping bekas lubang pukulan dari tongkat kayu. Tangannya terangkat dan matanya menatap Ana.
"Ana, hentikan! Kami tidak akan menyakitimu!" ujar Ernan dengan pandangan khawatir.
Ana mengambil posisi bertarung, mengerutkan alis matanya, dan menguatkan ganggaman tangannya pada kayu itu. Tongkat kayu itu terarah lurus kepada Ernan.
"Aku tidak percaya padamu," sangkalnya sambil berlari menyerang Ernan dan mengayunkan kayu itu padanya. Ernan yang tak menghilangkan kewaspadaan segera menangkis tongkat kayu itu. Ana mundur beberapa langkah kemudian merendahkan tubuhnya, menyerang bagian bawah tubuh Ernan yang terbuka. Tongkat itu mengenai kaki Ernan dengan keras dan membuat teriakan kesakitan. Ernan memandang Ana dengan tatapan mata kesal sambil berdecak perlahan.
"Ck!"
Sebelum Ana melakukan serangan, Ernan bergerak lebih dulu menyerang Ana. Badannya melesat ke samping tubuh Ana. Ana yang terkejut melayangkan serangan lebih lambat dan membuat Ernan berhasil menangkap pergelangan tangannya. Dengan cepat, Ernan merampas kayu di tangannya dan menjegal kakinya. Ana berusaha menggapai Ernan supaya tidak terjatuh. Tangannya mencengkeram baju di bagian leher Ernan tetapi terlepas karena kakinya terbelit oleh gaun yang digunakan hingga membuat keseimbangannya hilang. Beberapa kancing depan baju Ernan terlepas bersamaan dengan Ana yang terjatuh di tanah.
"Ah, gaun sialan," kutuknya kesal.
Ana mengangkat wajahnya dan melihat Ernan sudah berada di depannya sambil memegang kayu itu. Terdengar suara pasukan berlarian dan gonggongan seekor anjing mendekat. Anjing itu muncul di hadapan mereka sambil menyalak pada Ana. Ernan bersiul nyaring dan suara anjing itu pun berhenti.
"Anjing pintar," puji Ernan.
Anjing itu berjalan perlahan-lahan sambil mengibaskan ekornya menuju Ernan. Tangannya mengelus kepala sang anjing dengan lembut dan matanya menatap Ana yang masih terduduk di tanah. Para pasukan mulai berdatangan dan melihat hal itu. Mereka segera bergabung untuk mengepung Ana. Ana melihat ke sekelilingnya dengan pandangan khawatir. Ernan yang melihat wajah khawatir Ana, segera mengangkat tangan untuk melarang pasukan itu ikut campur. Tangannya pun membuang tongkat kayu itu ke tanah.
"Ayolah, Ana, bisakah kau berhenti? Aku tidak ingin melukaimu. Lihat, aku tidak bersenjata." bujuknya dengan suara yang lembut.
Ana memandang Ernan sejenak kemudian menundukkan kepalanya. Saat itu, ia merasakan ada sesuatu di tanganya. Matanya melihat ke dalam genggaman tangannya dan terlihat sebuah kalung perak kecil di dalamnya.
"Ana, aku bisa menjelaskannya."
Suara Ernan yang memanggil namanya, membuat ia kembali mengangkat wajahnya. Ia segera menyembunyikan kalung itu ke dalam lipatan bajunya dan berdiri.
"Marquess mencoba menyakitiku."
"Dia tidak akan menyakitimu, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi," bela Ernan.
"Dia membawaku supaya aku dijadikan pengganti putrinya?"
"Aku bisa menjelaskannya."
"Aku tidak bisa di sini, aku harus pergi," jelas Ana. Kedua tangan Ana terangkat sambil menatap lekat mata Ernan.
"Aku mengerti, akan kujelaskan."
Ana kembali melihat ke arah sekelilingnya. Ia terpojok. Sesaat ia menyadari jika ia seorang diri dan menghadapi banyak pasukan di hadapannya. Saat itu, sosok Nell yang sering ikut berkelahi bersamanya muncul di benaknya. Tubuh besar Nell dan senyuman usil yang sering menghiasi wajahnya terbersit di pikirannya. Ingin rasanya Nell ada saat itu dan menghadapi mereka bersama-sama dengannya. Ia mengigit bibirnya dengan perasaan getir.
"Aku akan berbicara dengan Tuan jika kau ingin pergi. Saat ini kembalilah ke kamarmu," Ernan mengulur tangannya pada Ana. "Mari," lanjutnya.
Ana terdiam dan melihat tangan Ernan yang terulur serta pasukan yang mengepungnya. Ia menghela napas panjang.
"Baiklah," ucapnya singkat.
Ernan melihat kaki Ana yang banyak tergores oleh bebatuan dan rumput serta tidak menggunakan alas kaki. Ia kemudian melepaskan sepatunya, meletakan di depan Ana dan kembali mengulurkan tanganya. Ana memandang sepatu itu sejenak.
"Tidak perlu." ujarnya sambil melangkahkan kaki maju ke depan tanpa menyambut tangan itu dan membiarkan sepatu itu tergeletak di atas tanah. Ernan menarik tangannya yang terulur. Ana berjalan melewati Ernan sambil memberikan pandangan mata tajam ke arahnya sekilas. Ernan menganggukan kepalanya, memakai sepatunya kembali dan mengikuti Ana. Anjing itu mengibaskan ekornya mengikuti Ernan sementara para pasukan yang mengepung Ana tadi ikut mengikutinya dari belakang. Mereka kembali masuk ke bangunan kastil dan melewati koridor menuju kamarnya. Selama perjalanan kembali ke kamar, Ana hanya terdiam dan tidak menghiraukan Ernan yang berbicara meyakinkannya bahwa ia akan berbicara pada Marquess. Sesampai di depan kamarnya, Ana memalingkan wajahnya memandang Ernan.
"Aku mau bajuku yang dibawa Rosseta."
"Baiklah. Aku akan mengambilnya dan akan aku kirimkan obat untuk luka di kakimu. Saat ini beristirahatlah, aku jelaskan besok pagi."
"Terima kasih," ujar Ana bersikap sopan dan menutup pintu kamarnya. Ia bersandar pada pintu dan sempat mendengar Ernan berkata pada para pengawal.
"Kalian berdua, jaga di depan pintu dan kau ambikan dia obat."
Kedua pasukan yang ditunjuk mengangguk. Seorang lagi pergi mengambilkan obat luka luar dan para pasukan yang lain mengikuti Ernan menginggalkan kamar itu. Suara derap langkah orang-orang dari luar kamarnya perlahan-lahan menjauh. Rasa perih kakinya yang tergores mulai ia rasakan. Ia melihat ke arah kakinya dan membuang napas kesal. Ana melangkahkan kakinya dan mencari tas kecil miliknya. Didapati tas itu tergeletak di atas tempat tidur. Ana segera mengambilnya dan mengeluarkan belati kecil itu. Ditempelkannya belati itu di depan dadanya. Ia bersyukur karena masih bisa mengambil belati satunya-satunya benda peninggalan dari ayahnya.
[Bagaimana aku bisa meninggalkannya di sini? Aku akan selalu membawanya,] pikirnya.
Ia akan berusaha membawanya mulai sekarang. Tanganya meraih ke dalam lipatan rok di bagian pinggang dan mengambil kalung perak kecil. Kalung itu pasti milik Ernan yang terputus dari lehernya saat ia berusaha menggapainya supaya tidak terjatuh. Ia mengamati keindahan kalung perak dengan liontin berbentuk bunga lili itu.
[Ah, kalung pada lukisan putri itu,] monolognya dalam hati.
Ingatan lukisan putri Imelda yang mengenakan kalung itu muncul di benaknya. Akhirnya, ia memasukannya ke dalam tas kecilnya. Ia bangkit dari duduknya dan membuka almari baju. Digantinya gaun yang telah membuatnya kesal seharian dengan gaun tidur yang nyaman di gunakan. Diletakkannya gaun yang telah ia gunakan pada sandaran kursi. Baju itu sudah kotor dan berdebu. Ana berjalan ke ruang mandi, mencuci wajahnya, dan melihat luka goresan yang ada di kakinya kemudian mencucinya hingga bersih. Terdengar suara ketukan di pintu. Ana berjalan ke arah pintu dan membukanya sebagian. Dua orang pengawal masih terlihat berjaga di depan kamarnya dan seorang pengawal lain datang membawakan obat oles untuknya. Setelah mengucapkan terima kasih, Ana segera menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Diolesnya salep itu sambil menahan perih di kakinya. Ana tahu bahwa ia tidak akan berdiam diri saja. Ia harus kabur dari tempat itu secepatnya. Kakinya melangkah membuka jendela kamarnya dan menuju balkon. Ia mencoba melihat ke bawah dan mengukur ketinggian ruangannya yang berada di lantai tiga. Jika dua orang pasukan masih berjaga di depan kamarnya, ia bisa keluar melalui balkon. Dilihatnya ke sekeliling kamar dan mencari benda seperti tali yang bisa digunakan untuk turun. Namun, ia tidak menemukan apapun. Tiba-tiba matanya terbuka lebar. tangannya mengambil belati dari ayahnya dan merobek selimut yang digunakannya untuk tidur.