Chereads / Anasthasia and the Golden Wizard / Chapter 27 - Bab. 27 Painting Of Imelda

Chapter 27 - Bab. 27 Painting Of Imelda

Ana berlari sepanjang koridor. Ia mengetahui lorong itu memiliki dua cabang. Koridor yang mengarah ke kanan menuju ke ruang jamuan makan yang sudah ia datangi bersama Marquess, sedangkan koridor yang mengarah ke kiri menuju ruangan yang belum ia ketahui. Saat ia salah mengambil arah koridor, Ernan menghentikan langkahnya malam itu dan memintanya berbalik menuju ke kamarnya. Ana sampai di persimpangan lorong. Kakinya berbelok ke arah lorong di sebelah kiri. Lorong itu tidak terlihat menakutkan di pagi hari. Jendela-jendela besar di sepanjang koridor membuat sinar mentari pagi masuk dalam dan membuat koridor itu terang. Ia bahkan bisa melihat pemandangan taman di luar. Taman yang penuh dengan deretan bunga lili putih yang indah.

Tak beberapa lama kemudian, ia melihat sebuah pintu besar di akhir koridor. Kakinya berhenti berlari. Dibukanya pintu itu dan terlihat ruangan besar dengan sebuah piano yang berada di tengah-tengahnya. Pandangan mata Ana menyapu seluruh ruangan dan melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu. Ia melihat sebuah meja yang dihiasi vas bunga lili dan kursi panjang berada di pojok ruangan. Di sampingnya, terdapat sebuah rak tinggi yang berisi botol anggur. Dua buah lentera menempel di dinding ruangan itu. Ruangan itu terlihat sangat bersih dan terawat dengan baik.

Kakinya melangkah menuju piano di tengah ruangan dan tangannya menyentuh piano itu. Meskipun ia tidak bisa memainkan alat musik, tetapi saat melihat piano itu, dorongan kuat untuk menyentuh piano itu muncul di hati. Bunyi musik piano itu terdengar sangat jernih. Ana tersenyum dan mendongakkan wajahnya. Matanya menatap lukisan besar yang ada di dinding. Lukisan wajah seorang gadis muda yang sedang tersenyum cerah. Kedua mata hijau besarnya yang mirip dengan milik Ana membalas tatapannya seolah-olah hidup. Kedua bola mata itu sedang memandang Ana. Rambut hitam bergelombangnya yang panjang sama dengan gaya rambut Ana saat ini. Baju berwarna biru berenda putih yang dikenakannya mirip dengan model baju yang Ana pakai tadi malam. Sebuah kalung liontin bunga lili menghiasi lehernya yang jenjang. Gadis yang ada di lukisan itu mirip dengan penampilan Ana. Tidak. Terbalik. Penampilan Analah yang saat ini menyerupai gadis yang ada di lukisan itu. Ana termenung.

[Ah, ini pasti putri Imelda,] pikirnya.

Alis mata Ana berkerut. Jika dilihat baik-baik, wajahnya tidak mirip dengan Imelda. Namun, dari warna rambut, mata, gaya rambut, dan penampilannya saat ini sangat mirip dengannya. Ia menatap lukisan itu kemudian memandang dirinya sendiri. Matanya tiba-tiba terbelalak saat menyadari suatu hal.

[Apa ia dirias agar mirip putri Imelda?] serunya dalam hati.

Segera ia menggelengkan kepala. Mungkin hanya baju-baju seperti putri Imelda yang ada di kastil ini. Ia meyakinkan dirinya sendiri. Menurutnya, pasti tidak ada baju sederhana seperti yang biasa digunakannya. Kakinya melangkah menuju pintu keluar di sudut ruangan. Ia keluar dari ruangan itu dan terhubungan dengan taman yang penuh dengan bunga lili putih. Di tengah-tengah taman terdapat sebuah gazebo dengan atap melengkung yang teduh. Sebuah meja bundar dan empat buah kursi mengelilingi meja itu. Ana melihat Rosseta berjalan menuju meja bersama dua orang pelayan yang sedang menyiapkan jamuan pagi. Matanya menoleh melihat Ana dan menghampirnya.

"Ana, aku antarkan ke ruanganmu kembali. Kita harus menyiapkanmu untuk jamuan pagi dengan Tuan," seru Rosseta dengan khawatir.

"Tapi aku baru saja mau berkeliling taman," protes Ana.

"Nanti kau bisa berjalan-jalan di taman dengan Tuan Marquess."

Rosseta meminta Ana kembali ke kamar. Ana mendengus kesal dan mengikuti Rosseta kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar, air hangat untuk membersihkan diri sudah disiapkan. Gaun berwarna pink lembut dengan dihiasi renda putih sudah disiapkan. Perhiasan yang akan digunakannya sudah berada di atas meja riasnya. Setelah membersihkan badannya, Rosseta dan pelayanan lainnya kembali membuat rambut lurusnya menjadi bergelombang. Ia mengenakan baju berwarna pink yang telah disiapkan. Kalung, anting, dan sepatu dikenakannya.

Butuh waktu yang cukup lama untuk mendandaninya hingga perutnya berbunyi. Rasa lapar perlahan-lahan memenuhi perutnya. Ia menghela napas panjang.

[Aaaah, sungguh berat menjadi gadis di kalangan atas,] pikirnya.

Tiap hari mereka harus mengenakan baju yang berat dan diatur dalam berbagai hal. Tidak seperti dirinya yang bebas memakai apa yang dia mau dan tidak peduli komentar orang lain. Mungkin hanya Jenice yang mengomentari penampilannya yang tidak anggun. Namun, ia tidak pernah merasa bermasalah dengan penampilannya.

Ana menatap wajahnya di cermin dan kembali melihat penampilan seperti Imelda. "Sudah selesai?" tanya Ana malas.

Rosseta mengangguk. Mereka keluar dari kamarnya dan menuju koridor yang dilewati tadi. Sesampainya di ruangan berpiano, ia menghentikan langkahnya, berpaling melihat Rosseta dan menunjuk lukisan itu.

"Apa dia Putri Imelda?"

Rosseta mengangguk. " Benar."

"Aku dengar dia sudah meninggal. Bagaimana dia bisa meninggal?"

Ana memandang wajah Rosseta dengan rasa ingin tahu. Rosseta tidak menjawab pertanyaan Ana dan mengalihkan pembicaran saat sang Marques berjalan menuju gazebo yang ada di tengah taman.

"Tuan sudah datang, ayo ke sana."

Ana hanya cemberut. Ia mengikuti Rosseta berjalan. Sang Marquess sudah duduk di kursi. Di belakangnya, berdiri Pengawal Ernan dengan tegap. Rosseta dan pelayan lain memberi hormat padanya. Ana mengikuti memberi hormat padanya.

"Selamat pagi, Tuan."

"Selamat pagi, datanglah kemari,"

Ana berjalan dan duduk di depan kursi Marquess.

"Makanlah," ujar Marquess dengan santai sambil memperhatikan Ana dengan seksama.

"Terima kasih, Tuan Marquess."

Ana yang memang sudah kelaparan sedari tadi, memakan jamuan yang ada di meja dengan lahap. Tak lupa ia sangat menyukai makanan pencuci mulut yang manis dan teh bunga chamomille di pagi hari. Melihat cara Ana makan, Marquess tersenyum senang.

"Apa sangat enak?"

"Benar sekali, Tuan. Sangat enak."

"Kau pasti suka makanan manis."

"Sebenarnya aku suka makanan apa saja, Tuan, yang penting enak." Ana menghabiskan makanannya.

"Baguslah," seru Marquess tersenyum. Ia mulai makan dengan perlahan. Matanya kemudian memandang sekeliling kemudian melihat Ana.

"Bukankah taman ini sangat indah? Kau pasti akan menyukai bunga lili yang ada di taman ini, semua terawat dengan baik dan indah." Sang Marquess menunjuk bunga-bunga lili di sekitar taman itu.

"Benar, Tuan, taman ini sangat indah."

Sebenarnya, Ana berencana berpamitan pagi ini, karena ia harus kembali ke penginapan untuk berangkat ke ibu kota. Ia sudah meninggalkan Fleur kemarin dan tidak mengetahui kabarnya. Mungkin saja Fleur sudah berangkat lebih dulu ke ibu kota. Ana membuka mulutnya.

"Tuan Marquess, bolehkah aku-"

Sebelum ia menyelesaikan perkataannya, seorang prajurit datang menghampiri Marquess dengan tergesa-gesa. Marquess mengangkat tangannya meminta Ana untuk berhenti berbicara sejenak. Prajurit itu memberi hormat padanya sejenak kemudian membisikan sesuatu di telinga Marquess. Ia pun menghentikan makannya dan berdiri.

"Oh, aku minta maaf Ana. Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan makan pagi bersama. Kita bisa menikmatinya lain waktu. Saat ini, bersantai-santailah dahulu, kau bisa berjalan-jalan menikmati indahnya taman."

Wajah tua Tuan Marquess tersenyum kemudian pergi meninggalkan Ana yang terbengong.

"Tapi Tuan- " Ana mencoba berbicara kembali. Ernan yang mendengar perkataan Ana melirik ke arahnya dengan tajam kemudian mengikuti sang Marquess meninggalkan taman itu.

"Aku kan hanya ingin bertanya apakah aku bisa kembali…" monolognya sendiri dengan lirih. Ia membuang napas kesal kemudian menggambil kue yang ada di meja dan memasukan ke dalam mulutnya. Tangannya mengambil satu kue lain dan berdiri dari tempat duduknya. Ia berpikir akan berpamitan dengan Rosseta, jika ia tidak mendapatkan kesempatan berpamitan dengan Marquess. Seorang Marquess pasti sangat sibuk dan tidak memiliki waktu senggang untuk memperdulikan keperluannya. Soal kepergiannya pun pasti tidak dihiraukannya. Kaki Ana melangkah keluar dari taman itu.