Ana segera pergi dari taman bunga lili untuk mencari Rosseta. Kakinya melangkah keluar dari taman dan masuk ke sebuah jalan berbatu dengan pagar tanaman berwarna merah di sekelilingnya. Ia menyusuri jalan setapak yang menuju ke arah kastil di gedung sayap barat. Bangunan kastil itu terlalu besar baginya. Ia berhenti melangkah, menggelengkan kepalanya, dan membuang napas. Tepat saat itu, ia melihat seorang pelayan melintasi taman. Segera Ana mencoba menghentikannya. Sang pelayan melihatnya dengan heran.
"Maaf, apa kau melihat Rosseta?"
Pelayan itu berpikir sejenak sebelum menjawabnya, "Sepertinya Nyonya Rosseta ada di ruangan perjamuan besar. Kau bisa lurus saja kemudian berbelok ke kiri. Kau akan menemukan bangunan di samping menara," jelasnya sambil menunjuk ke arah jalan di depan mereka.
Ana mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Pelayan itu melanjutkan tugasnya sedangkan Ana berjalan menuju tempat yang ditunjukannya. Tak butuh waktu lama, ia menemukan sebuah bangunan di samping menara. Bangunan itu masih menyambung dengan bangunan di sayap barat kastil dan mempunyai pintu yang besar. Bebepa orang pengawal berjaga di depan bangunan itu. Saat Ana sampai di depannya, para pengawal berpaling ke arahnya sejenak tetapi tidak beranjak dari posisinya. Mereka tidak mencegah Ana melewati mereka. Ana tersenyum pada mereka dengan canggung kemudian mengulurkan tangan akan membuka pintu besar itu. Sebelum tangan Ana mencapai pintu, Rosseta keluar dari pintu itu dengan wajah yang kusut. Ia menatap wajah Ana dengan heran.
"Sedang apa kau disini, Ana?"
"Boleh aku berbicara sebentar?"
Rosseta terdiam. Ia membuang napas kemudian mengangguk. Ana mendekat menghampirinya.
"Bolehkan aku kembali penginapan?" tanya Ana.
Rosseta menaikan alis matanya. Raut wajah Rosseta yang sebelumnya kusut menjadi berubah melembut. Tangannya menyentuh ke dua lengan Ana kemudian tersenyum.
"Kenapa terburu-buru? Kau bisa menginap di sini sampai kapanpun," bujuknya.
"Tapi sepertinya aku harus pulang ke penginapan,"
"Aku akan membicarakan terlebih dahulu dengan Marquess."
"Aku rasa Tuan Marquess tidak akan punya waktu untuk hal itu," ragu Ana.
"Coba aku nanti bicarakan dulu ya."
"Baiklah." Ana menyetujuinya.
Rosseta tersenyum memandang Ana, tangannya melepaskan kedua lengan Ana. Ia pergi meningggalkan Ana tetapi saat baru tiga langkah, tiba-tiba berhenti.
"Oh, jangan lupa, nanti makan malam dengan Marquess."
***
Matahari sudah mulai terbenam, semburat awan kemerahan menghiasi cakrawala. Ana membuka pintu kamarnya dengan mendengus kesal. Dua orang pelayan sudah berada di depannya. Dibiarkannya pelayan itu masuk di kamarnya. Kembali Ana merasakan siksaan saat mengenakan gaun indah yang bertumpuk dan berat dan korset yang membuatnya sesak napas. Ana mengenakan gaun berwarna putih bermotif bunga berwarna pink di sekeliling tepian baju. Gaun itu memang terlihat cantik saat ia kenakan. Pelayan itu membuat model rambut yang sama dengan yang dibuat kemarin. Mereka memasang anting dan kalung berliontin batu berwarna pink di telinga dan leher Ana. Cahaya pada batu liontin bersinar di dalam keremangan lampu gantung yang berada di atap ruangan itu.
Tangan Ana mengambil sebuah cermin di depan meja. Ia menatap wajah cantiknya di cermin dan menghela napas. Ia tahu betul penampilan siapa yang ia kenakan saat ini.
"Sudah selesai," seru kedua pelayan itu riang.
Setelah mengucapkan terima kasih pada mereka, ia segera meninggalkan ruangannya. Ana keluar dari kamarnya, berjalan melewati koridor yang mengantarkannya ke ruang makan. Namun, ia tidak mendapati Marquess di sana. [Mungkin Tuan Marquess Liere belum datang,] pikirnya.
Ruangan makan yang besar itu sangat hening. Sudah 30 menit berlalu tetapi Sang Marquess masih belum datang, bahkan Rosseta juga tidak menunjukan batang hidungnya. Padahal rencananya, ia akan berpamitan pada Marquess. Sia-sialah rencananya. Makanan yang ada di meja sudah mulai mendingin. Perut Ana juga sudah mulai bernyanyi riang meminta diberi makan. Ana mengerutkan alisnya. Ia menggaruk-garuk kepalanya berpikir apakah ia bisa mengambil makanan yang ada di meja terlebih dahulu. Saat itu terdengar suara kaki seseorang datang ke ruangan. Ana menatap ke arah pintu ruangan dan terlihat Rosseta berjalan ke arahnya menggunakan gaun berwarna gelap. Ana berdiri dari tempat duduknya. Rosseta menghampiri Ana dan tersenyum lembut.
"Aku minta maaf Ana, Marquess sedang tidak sehat."
"Kalau begitu boleh aku mulai makan?" matanya penuh permohonan. Rosseta tertawa kecil melihat tingkah Ana.
"Tentu saja. Aku akan menemanimu."
Ana tersenyum kemudian mulai mengambil makanan yang ada di meja. Roti daging, buah, dan minuman segar sudah tersedia di meja.
"Aku akan memanaskan tehnya," ucap Rosseta sambil mengambil teko teh di meja dan berjalan di sudut ruangan untuk menghangatkannya.
Ana makan dengan lahap sambil bergumam, "Semua makanan di sini enak, bagaimana jika aku tidak bisa makan makanan biasa setelah mencicipi makanan dari kastil ini?"
Meskipun gumaman Ana lirih tetapi Ana dapat mendengarnya dan tertawa.
"Hahaha, kau bisa makan di sini," ujar Rosseta.
Ana tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara lolongan seseorang yang menyayat hati hingga membuatnya berhenti makan.
"Suara apa itu, Rosseta?"
Rosseta memandang Ana dengan santai dan tersenyum.
"Bukan suara apa-apa, kau tidak perlu khawatir tentang hal itu."
Rosseta memintanya melanjutkan makan dengan santai. Setelah selesai makan, ia berpamitan pada Rosseta. Kakinya melangkah keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju koridor. Rasa malas untuk kembali ke kamar memenuhi hatinya. Mungkin ia akan duduk di taman sambil melihat bulan purnama yang besar. Kakinya mengarah ke lorong yang bukan menuju kamarnya melainkan ke ruangan berpiano di depan taman. Lentera di dinding menerangi lorong itu dengan cahayanya yang temaram. Kakinya mulai sakit karena menggunakan sepatu berhak tinggi. Ia menengok ke kanan dan ke kiri tidak tetapi melihat siapa pun. Dilepaskan sepatunya dan dibawanya sambil berjalan menyusuri lantai lorong yang dingin. Sampai di ujung lorong, tangannya terulur membuka pintu ruangan. Lentera di ruangan itu menyala lebih redup dari pada di lorong koridor. Namun, ia masih bisa melihat keseluruhan ruangan.
Wajahnya berpaling melihat taman yang berada di depan ruangan itu. Bulan purnama masih terlihat jelas di atas langit yang gelap. Ia teringat akan Fleur yang berada di penginapan dan pemilik penginapan pernah mengatakan akan ada Festival Purnama di kota itu.
[Apa festival itu sudah mulai? Apa Fleur sudah pergi dari kota ini?] pikirnya.
Ia tidak dapat pergi keluar dan tidak dapat mengirim pesan pada Fleur. Ana membuang napasnya sambil melangkah menuju taman. Tiba-tiba matanya terbelalak. Sesosok bayangan hitam menyergapnya dari belakang. Ana spontan berusaha menghindar dan memutar tubuhnnya, melayangkan tangannya yang masih memegang sepatu ke arah orang itu. Orang itu mengerang dengan suara beratnya. Saat kesempatan terbuka, kaki Ana melayang menyentuh lutut orang itu dengan keras. Orang itu pun terjatuh. Ana mundur beberapa langkah. Ia menatap orang yang menyerangnya. Matanya terbuka, dan mulutnya terbuka lebar.
"Oh, Tuan Marquess!" seru Ana.
Marquess Liere terduduk di lantai yang dingin dengan rambut yang acak-acakan, kemeja putih yang dikenakannya terlihat lusuh dan kotor, matanya merah dan tidak fokus. Ia menyeringai mengerikan sambil berusaha berdiri. Ana mengerutkan alis matanya melihat Marquess yang sangat berbeda dengan Marquess yang sering dilihatnya.
Marquess berdiri di depan Ana sambil mengulurkan tangan akan menjangkau Ana.
"Imelda… Imelda… " suara seraknya terdengar.
"Aku bukan Imelda, Tuan."
Ana mundur beberapa langkah. Mata merah Marquess Liere melotot kemudian berteriak dengan keras seperti lolongan hewan yang terluka.
"Imelda! Jangan coba-coba kau pergi!" teriak Marquess Liere kembali sambil mencoba menangkap Ana.
"Aku bukan Imelda!" balas Ana mencoba menghindarinya. Ana menunduk menghindari tangkapan Marquess dan berpindah tempat. Tubuh Marquess yang terus menerjang menabrak meja di sudut ruangan dan vas bunga lili pun pecah. Ana akan melarikan diri dari ruangan itu tetapi secepat kilat Marquess telah ada di depannya dengan seringai tajam.
"Mau pergi kemana? Aku tak akan membiarkan kau pergi! Melalui kamu, Imelda akan hidup kembali!"
Dia gila!
Ana menyiapkan pukulannya dan bersiap berlari tetapi Marquess yang lebih berpengalaman dalam bertarung mendapatkan Ana terlebih dahulu dan membanting tubuh Ana ke lantai. Ana tersungkur ke lantai.
"Oh, aku benci baju ini!" gerutu Ana yang merasa terganggu saat bertarung menggunakan gaun berenda. Ana segera bangkit tetapi Marquess sudah menghadangnya kembali.