"Apa maksudmu bertemu Wira?" Tanya Gio, tak habis pikir.
"Yah, Wira. Dia Salah satu penjaga pulau ini."
"Kau yakin itu Wira?" Kini Adi ikut penasaran. Berharap apa yang Elang katakan adalah kebenaran. Elang yakin, Adi juga sangat ingin bertemu Wira.
"Apakah aku suka berbohong? Kau pikir aku Gio?!"
"Hei ... memangnya aku kenapa?"
"Kau bodoh, idiot!" tukas Adi dengan tatapan jengah pada musuh bebuyutan sekaligus sahabatnya itu.
Saat Gio hendak membalas perkataan Adi, Abimanyu berdeham. "Wira? Sahabat ayahku? Mantan kekasih ibu? Benar, kah? Kata paman Gio, Paman Wira sudah mati dan menjadi black demon?!"
Elang dan Adi melirik Gio yang tersenyum dengan wajah seperti orang bodoh.
"Benar, kan, kau idiot! Hal seperti itu, kau ceritakan pada Abi?! " Adi mengapit kepala Gio dan memukulnya. Sementara Elang hanya menekan kepalanya melihat kebodohan temannya. Ia berfikir telah salah memilih penjaga untuk Abimanyu.
"Memangnya kenapa? Bukan, kah, itu kenyataan. Dia berhak tau masa lalu orang tuanya, bukan?" jerit Gio berusaha membela diri.
"Kau ini! Astaga boleh, kah, kubunuh dia, Lang?" tanya Adi yang kesal dan penuh harap.
"Terserah kau saja!" Elang pasrah.
"Paman ... Jadi maksudmu, kau bertemu Paman Wira? Dia ada di sini?"
"Iya. Dia di sini."
"Boleh, kah, aku bertemu dia?" Pertanyaan Abimanyu mampu membuat perkelahian Adi dan Gio terhenti.
"Hei, aku juga mau bertemu Wira. Lang! Antar kami ke sana!" pinta Adi.
Elang diam. Menatap mereka satu persatu. "Baiklah. Tapi kita harus melepas sukma kita untuk dapat bertemu dia," terang Elang.
"Lebih baik kalian istirahat dulu. Baru kita pergi ke sana, " suruh John.
_____
Malam makin larut. Jam sudah menunjukan pukul 22.30. Ellea dan Shanum sudah masuk ke dalam kamar mereka. Malam ini para pria akan pergi ke tugu batu saphire. Pukul 23.00 mereka sudah siap. Memakai jaket sebelum pergi. Karena angin laut mampu membuat bulu kuduk meremang dan membuat Adi bersin-bersin.
Perjalanan ke tugu batu tidak begitu jauh. Hanya saja mereka memang harus melewati pemukiman penduduk. Perkampungan di sini memang tidak banyak penghuninya. Kebanyakan orang tua dan anak kecil. Kalau pun ada pemuda pemudi, itu hanya hitungan jari saja. Kebanyakan para pemuda desa akan pergi ke kota. Mencari peruntungan di sana. Hanya yang memiliki orang tua renta saja yang bertahan di pulau ini. Mereka memutuskan menjadi nelayan. Mencari penghasilan dengan berburu ikan di laut. Dan akan dimulai saat malam hari seperti ini.
Beberapa kali rombongan Abimanyu berpapasan dengan rombongan pemuda yang akan melaut. Sambil memikul gulungan jaring, ataupun alat pancing. Mereka mengangguk saat melihat John. Karena John adalah salah satu pemuka desa. Semua orang menghormatinya.
Pemukiman penduduk sudah habis mereka lewati. Kini medan yang ada adalah hutan-hutan pinus dan ketapang. Keadaan malam terasa makin dingin. Walau tidak baik jika saat malam hari berada terlalu lama di bawah pohon. Mereka mengeluarkan karbon dioksida, otomatis oksigen menipis.
Tak lama, kaki mereka mulai menginjak bebatuan kecil yang tertata rapi. Sebuah bongkahan batu besar kini terlihat di depan mereka.
"Ini tempatnya," ucap John pada para tamunya.
"Waw, " gumam Abimanyu dengan tatapan kagum. Gio meliriknya kebingungan. "Kenapa kau bereaksi seperti itu? Itu hanya tugu batu biasa," Gio bertanya karena reaksi Abimanyu yang tergolong aneh menurutnya.
"Tapi yang kulihat tidak demikian, paman. Sinarnya begitu terang, tapi tidak menyilaukan." Tangannya mencoba meraih pancaran sinar biru terang itu. "Dan terasa hangat saat menyentuhnya." Ia membolak balikan tangannya agar sinar itu menembus kulitnya, merata.
"Sinar?" Gio melirik Elang yang sedari tadi hanya diam menatap benda mati di depan mereka.
"Kau lupa dia anak siapa?" Pertanyaan Elang memang terdengar sarkas. Tapi Gio memang terkadang suka melontarkan kalimat bodoh yang sebenarnya ia sendiri sudah tau jawabannya.
"Memangnya apa yang dia lihat, Lang?"
Elang melirik ke arahnya. "Kau tanya saja sendiri!" Ia berjalan mendekati batu besar itu mengikuti John yang sudah berjalan lebih dulu.
Sementara Abimanyu masih tertegun dan menikmati pemandangan indah di depannya, Gio terus menatap Abi dan batu di hadapannya, bergantian. "Bi, apa yang kau lihat?" ia masih saja penasaran pada sesuatu yang tidak bisa ia lihat, dan hanya Abi saja yang mampu melihatnya.
Sebuah pukulan mendarat ke kepala Gio. Adi melewatinya begitu aja tanpa rasa bersalah. Sementara Gio hanya menatapnya sebal, dan tetap mencecar Abimanyu dengan semua pertanyaan yang mengganjal di pikirannya. Abimanyu terus diam tak menanggapi sesuai harapan Gio.
"Bi, jangan diam saja! Jawab pertanyaanku!"
Elang berdiri mensejajari John. Menatap batu besar itu. Jika dilihat sekilas, itu tidak terlihat istimewa. Tapi jika dilihat seksama, bentuk benda mati itu mirip bentuk tubuh manusia dengan diapit beberapa tubuh lain di sekitarnya.
Wajah seorang pria dengan detil lekuk yang mirip seseorang yang pasti mereka kenal."Aku baru sadar, patung ini adalah Wira," kata Elang terpukau.
John hanya tersenyum. "Kau, tau? Apa alasan Wira bergabung dengan black demon dulu?"
Pertanyaan itu sontak membuat Elang menoleh pada John yang masih fokus pada apa yang ada dihadapan mereka.
"Awalnya saat Wira mati ditangan black demon, itu hanya kamuflase. Ia tak benar-benar mati. Dia sengaja melakukan itu untuk menarik simpati musuh besarnya. Sengaja membuat dirinya tak berdaya dan mati di tangan mereka. Agar dia bisa masuk dan bergabung bersama mereka untuk mencari titik lemah kelompok itu."
"Tapi bukan, kah itu sangat berbahaya?"
"Ya kau benar. Itu memang berbahaya. Jika black demon tidak tertarik mengambil Wira menjadi pengikutnya, maka Wira benar-benar akan mati."
"Lalu?"
"Wira akhirnya berhasil menjadi pengikut mereka. Tapi ... Dia kembali berkorban demi kami. Wira terpaksa mengkhianati kalian. Itu sebabnya, batu ini berbentuk lekuk wajahnya, sebagai tanda penghormatan kami."
Kaki Elang lemas. Tak menyangka kalau kisah Wira sepelik ini. Tindakan Wira, rupanya untuk melindungi banyak orang. Dan kini mereka kembali dipertemukan dengan cara yang unik. "Astaga, Wira."
"Tapi kenapa dia masih di sini?" tanya Adi yang ternyata menguping pembicaraan mereka.
"Karena tugasnya belum selesai. Black demon bukanlah musuh utama kita. Mereka hanyalah kaki tangan Kalla. Mengecoh kalian agar hanya terfokus pada kelompok black demon. Saat kalian berseteru dengan black demon, kami di sini bertahan hidup dari serangan Kalla."
"Bukan, kah, kau bilang mereka tidak bisa masuk ke pulau ini? Bahkan kemarin malam kami melihat dengan mata kepala sendiri. Kalla langsung terbakar, saat menginjakan kaki di pantai ini," sahut Gio.