Chapter 29 - 28. buku

"Vin! Di mana buku itu?!" tanya Abimanyu yang terus mengejar penjelasan lebih pada Vin. Sumber informasinya. John agak tertutup pada hal ini, membuat Abi sungkan bertanya langsung.

"Kau tanya saja pada ayahku, Bi. Aku, tidak tau!" kata Vin jengah.

Mereka masuk ke dalam rumah. Gio yang sedang menonton TV tampak acuh. Ia kesepian karena lawan debatnya tak ada di sini. John masih berkeliling.

"Biyu," panggil Ellea dari ujung tangga.

Abimanyu dan Vin mendongak ke atas. Gadis itu masih memakai piyama tidur denhan rambut berantakan. "Lihat! Kekasihmu sudah bangun. Sebaiknya kau melihatnya. Aku mau tidur!"

Abi menatap Ellea. Lalu mendekat. "Kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu? Mau makan atau apa? Biar aku ambilkan," cetus Abi, menyematkan anak rambut Ellea yang berantakan di belakang telinga.

Namun yang terjadi justru Ellea segera memeluk Abi. Membuat pria itu sedikit kikuk. Bingung harus berbuat apa. "Aku takut."

Suara Ellea membuat kedua tangan Abi, balas memeluknya. Memberikan sensasi nyaman pada gadis itu. "Ada aku, bukan? Tunggu, mau kubuatkan makan siang? Kau belum makan sejak semalam, Ell."

"Tidak perlu repot. Aku sudah memasak. Kalian makan saja. Sudah kusiapkan di meja makan," Shanum berjalan di belakang Abi dan melewati dua orang itu begitu saja.

____

Adi menyetir, sementara Elang memundurkan jok yang ia duduki ke belakang. Membuatnya lebih nyaman,  untuk setidaknya memejamkan mata sejenak.

"Lang?"

"Hm?" Pria itu menutupi wajahnya dengan penutup mata milik Shanum yang tertinggal di dashboar mobil. Sinar matahari membuatnya sulit memejamkan mata sejak tadi. Kepalanya makin berat. Ia memang butuh istirahat.

"Kau lihat, kan, simbol di tangan Abi?"

"Kenapa?" tanya Elang tanpa membuka penutup matanya. Padahal ia tetap tidak bisa tidur juga. Setidaknya matanya akan terasa aman tanpa sengatan matahari untuk beberapa jam ke depan.

"Aku seperti pernah melihatnya."

"Benar, kah? Kau pasti bermimpi."

"Tidak, Lang. Aku yakin."

Tiba-tiba penutup mata itu dibuka Elang dengan cepat. Bayangan seseorang saat bertelanjang dadi terlintas di pikiran Elang. Karena dia memiliki simbol yang sama."Astaga, Di! Kau benar! Aku baru ingat. Bukan, kah, simbol itu mirip tato Arya? Yang ada di punggungnya?"

Adi melotot dan ingatannya seolah kembali. "Kau benar!"

"Jadi ... Bagaimana bisa Arya memiliki simbol itu di tubuhnya, Di?"

"Mana kutau?!" sinis Adi masih fokus pada kemudinya.

"Bukan, kah, kalian dekat? Kau tidak bertanya asal dan arti tato sahabatmu? Itu bodoh sekali, kawan! " ejek Elang.

"Ternyata mulutmu mirip Gio kalau kuperhatikan, Lang."

Elang tertawa mendengarnya.

"Tapi, tato itu sudah lama ada di punggung Arya. Bahkan sejak awal aku bertemu dia."

"Kenapa semua orang seolah saling terhubung," gumam Elang, nampak berfikir keras.

"Bahkan bentuk dan warnanya sama!  Benar, kan, Lang?" tanya Adi yang terus meyakinkan hal itu.

"Iya benar. Bedanya, milik Abimanyu berbentuk lebih kecil

Sementara Arya sebesar punggungnya."

"Kalau simbol itu ada di punggung Arya, mengapa ia begitu mudah dibunuh Kalla?"

Elang berfikir kembali. Membayangkan bagaimana cara Arya mati saat itu. "Mungkin mereka tidak menyentuk simbol di punggung Arya. Sementara kau lihat semalam, kan? Bagaimana Kallandra hancur karena tangan Abi?"

"Kau benar, Lang. Mungkin Arya tidak tau kalau simbol itu mampu membunuh Kalla?"

"Hm, kau benar. Aku yakin Arya tidak tau. Kalau ia tau, pasti dia sudah menceritakan pada kita, bukan?"

"Seandainya Arya saat itu tau, mungkin dia masih hidup sekarang," ucap Adi. Nyeri di dadanya kembali terasa. Kematian Arya benar-benar menyakiti dirinya.

"Sudahlah, Di. Ini sudah takdir. Kau tidak boleh seperti itu. "

Laju mobil makin dipercepat. Mereka sudah sampai di kota.

_____

"Pagi, Pak, " sapa Lian saat melihat bosnya datang bersama Adi.

"Pagi!" Elang hanya melirik sekilas Lian yang berdiri di belakang meja sekretaris. Terlalu beresiko untuk Shanum berada di kota, Elang merasa Shanum lebih aman ada di pulau. Walau tidak sepenuhnya benar. Tiba-tiba langkah Elang terhenti. Sebelum masuk ke pintu ruangannya, Elang berbalik menatap Lian yang terlihat aneh.

"Kau sakit?" tanya Elang. Wajah Lian terlihat pucat dengan lingkar hitam di matanya.

"Ti ... Tidak, pak."

Adi juga melihat Lian aneh. Ada sesuatu yang gadis itu sembunyikan. Elang yang tidak percaya begitu saja, lantai mendekat ke Lian.

"Katakan, ada apa? Ada masalah apa, Lian?"

Lian menatap bosnya dan Adi bergantian. Sementara Adi menarik nafas panjang. Ia menatap koridor kantor dengan dahi berkerut.

"Lang, ada yang aneh. Kantormu ... Apa kau tidak mengendusnya?"

Elang baru menyadari bau Kalla yang sangat pekat di kantornya. Ia segera menatap Lian yang terlihat gugup.

"Kau siapa?!" tanya Elang lantang pada Lian.

"Saya Lian, pak. Apakah Pak Elang lupa?"

"Lalu kenapa kau terlihat aneh? Tidak seperti Lian yang selama ini kukenal!"

Elang menarik kerah baju Lian dan menariknya. Ia bahkan hampir mencekik gadis itu. Sebelum akhirnya Lian mengisyaratkan Elang untuk diam. Lian menunjuk ke pantry.

"To ... Toni, Pak," Lian berbisik di dekat telinga Elang. Adi juga ikut mendekat. Melihat sikap gadis itu aneh, membuat mereka berdua curiga. Terlebih Lian bukan Kalla.

"Toni siapa?"

"OB kantor. Kemarin saat di toilet lantai bawah saya ... Melihat dia berubah menjadi makhluk mengerikan. Ia membunuh Tika. Toni seperti menghisap tubuh Tika hingga habis, pak."

Elang dan Adi saling pandang. "Dan sekarang, Toni ada di ... Di pantry," tunjuk Lian ke arah kanannya.

"Kau yakin?"

Lian mengangguk cepat. "Bukan hanya Toni, tapi mereka semua. Semua orang di kantor ini. Mereka berubah." Tangis Lian tertahan. Ia benar-benar ketakutan.

Sementara Elang dan Adi bersiap. "Kau masuk ke ruanganku, kunci dari dalam, " suruh Elang.

"Pantas kantormu berbau busuk, Lang. Rupanya hanya ada 1 manusia saja di sini!" sindir Adi. Ia mengambil senjata miliknya. Elang melepas dasi di lehernya.

___