"Bagaimana ini? Kita lanjutkan perjalanan atau kembali saja?"
"Kalau kalian mau kembali, silakan. Tapi aku tetap akan ke pulau itu. Kalian jangan mengkhawatirkan keselamatanku." Vin menepuk bahu Adi dan Gio bersamaan. Lantas membuka pintu mobil.
Baik Adi dan Gio diam. Menatap Vin yang sudah mendekati dermaga dan akan naik ke sebuah perahu. Tatapan beberapa orang di sekitar Vin, membuat Gio segera membuka pintu mobilnya. "Kita harus menemaninya!"
Terpaksa Adi juga menyusulnya.
Perahu ini membawa sekitar 10 orang penumpang. Adi menatap tajam satu persatu orang-orang ini. Hidungnya menghirup sebanyak-banyaknya udara, sembari mencari bau yang ia cari. Bau tubuh Kalla.
Namun, berkali-kali ia mengendus, tidak satu pun dari orang-orang di sini yang ia curigai. Alias mereka adalah manusia.
Perjalanan di atas air tidak memakan waktu lama. Hanya 15 menit saja mereka sampai. Sebuah pulau dengan barisan pasir putih dan beberapa batu karang, nampak indah dipandang mata. Baik Gio maupun Adi terkesima. Mereka memang jarang sekali pergi ke pesisir. Selalu berkutat dengan hiruk pikuk kehidupan kota. Adi memang menyukai suasana alam. Dan gunung adalah tujuannya. Jika ia tidak terlihat beberapa hari, artinya ia tengah mendaki sebuah gunung, seorang diri. Atau dia ikut kelompok MAPALA yang memang satu tujuan dengannya. Baginya gunung adalah moodbooster bagi Adi.
Sementara Gio, ia lebih suka berkutat dengan segala perlengkapan komputernya. Menelusuri situs-situs dark dan mencari penghasilan dari meretas banyak situs itu. Ia cukup cerdik. Bahkan ia mampu melihat segala macam kehidupan orang hanya melalui komputernya. Matanya ada di mana-mana. Tapi, semua tidak berfungsi saat ia harus mencari di mana kehidupan Kalla yang paling mendominasi. Berkali-kali ia mencoba, namun hasilnya nihil. Komputernya akan mengalami gangguan, seolah ada portal yang mampu menyembunyikan keberadaan mereka.
Aroma pantai masuk ke rongga pernafasan. Bau asin dari ikan yang dijemur dipantai sudah mulai tercium. Percikan air laut terasa menyegarkan dan mampu menetralisir bau asin dari ikan. Tidak memuakan, justru membuka kenangan di pikiran setiap orang. Semua orang mempunyai kenangan jika menyebut ... pantai.
Jangkar sudah diturunkan. Satu persatu penumpang turun. Menginjak pasir pantai yang lembut jika terinjak oleh kaki telanjang. Ombak menyapu kaki-kaki ketiga pria itu. Menatap bawah dan melihat air laut yang datang sesaat ke pantai, lalu kembali lagi ke laut lepas. Beberapa hewan laut terdampr di pesisir, ubur-ubur maupun kerang dan kepiting kecil menggelitik hati untuk mengambilnya. Tapi mereka bukan anak kecil yang peduli dengan hal-hal remeh itu.
Setelah pantai terlewati, kini barisan pohon-pohon ketapang bagai payung yang menahan terik matahari. Suasana yang rindang membuat mereka nyaman berjalan di bawahnya. Vin berjalan di depan. Sementara dua kawannya mengikuti sambil mengamati sekitar.
"Aneh!" cetus Adi masih menatap kanan, kiri, dan belakangnya.
"Apanya?"
"Tadi di pelabuhan sebelumnya, banyak sekali bau tubuh Kalla. Bahkan aku bisa menghitung mereka yang benar-benar cukup banyak di sana. Tetapi... "
"Tetapi apa, Di. Jangan berkata sepotong-sepotong," hardik Gio yang penasaran serta sebal karena Adi memperlambat ucapannya.
"Saat kita naik kapal, mereka tidak ada satupun di sana, di kapal tadi. Semua manusia. Anehnya lagi, saat kita masuk ke desa tadi, bau tubuh kalla tidak tercium, tapi... Ada yang aneh di sana. Aura kehidupan di sana seolah gelap."
"Maksudmu?"
"Yah itu yang kurasakan di desa tadi, tubuhku terasa mudah lelah, berat, dan kepalaku terasa nyeri, lalu semua itu hilang saat kita menginjakkan kaki di pantai ini. Bahkan udara di sini terasa sangat bersih. Semua sakit yang awalnya kurasakan hilang sepenuhnya."
"Benar juga! Pantas saja aku merasa sakit disekujur tubuhku saat kita masuk desa ini, tapi sekarang hilang, " Gio menanggapi dengan keheranan.
Vin nampak berfikir keras atas penuturan dua kawannya. "Lebih baik kita segera ke rumah orang tua Gwen," ucapnya segera kembali berjalan.
Desa ini didominasi pohon ketapang. Beberapa kali mereka menginjak biji ketapang saat berjalan. Bahkan bungan ketapang sering mereka temui berjatuhan.
Mereka sampai di sebuah rumah kayu. Rumah panggung di depan adalah rumah orang tua Gwen. Seorang pria keluar dari dalam. Ia berperawakan tinggi besar dengan ikat kepala. Kumis serta jenggotnya cukup tebal. Saat melihat Vin datang, pria itu melebarkan senyumnya.
"Ayah!" sapa Vin lalu segera mendekat pada pria itu. Mereka saling berpelukan erat. Seolah sudah lama tidak bertemu. Dua kawannya hanya melihat di belakang Vin. Namun sontak mata mereka melotot sempurna. Gio dan Adi secara bersamaan menatap punggung tangan mereka. Tak lama, saling tatap seolah pikiran mereka sama.
"Argenis?!" seru Adi dan Gio bersamaan.
Pria yang sedang berada dipelukan Vin lantas menoleh. Mengerutkan keningnya lalu melepas tubuh Vin.
"Apa kalian bilang?" tanyanya dengan suara berat dan terdengar sangat berwibawa. Vin yang menyadari ada keanehan segera meminta penjelasan pada dua kawannya itu. Alisnya naik berkali-kali, dan dua pria itu justru, mengerutkan keningnya.
"Maaf, anda... Tato itu.... " Adi bingung bagaimana harus memulai percakapan.
"Tunggu! Mana Gwen?" tanya pria itu yang menyadari ada keanehan di rombongan tamunya. Ia mencari anak gadisnya yang tidak terlihat sejauh ini.
Vin merunduk. Gio menekan kepalanya dan melihat arah lain. Sementara Adi terus menatap pria itu.
"Maaf, Ayah. Aku tidak bisa menjaga Gwen." Suara Vin bergetar. Ia mencoba menyembunyikan setitik air bening yang mulai bermuara di kelopak matanya.
"Maksudmu?"
"Dia tewas. Bahkan aku tidak tau di mana jasadnya." Vin makin merasa bersalah. Ia benar-benar gagal menjadi seorang suami. Ia gagal menepati janjinya pada John.
"Vin?"
"Pak, apakah anda... Argenis?"
John menatap Adi dengan rasa penasaran yang besar. Banyak sekali pertanyaan di kepalanya. "Bagaimana kamu tau nama itu?"
"Karena kami juga anggota Argenis. Begitupula dengan menantumu. Jadi aku yakin kau sudah tau, bagaimana anak perempuanmu meninggal, " jelas Adi.
John sedikit goyah. Tubuhnya bergetar hebat. Ia menatap menantunya yang sudah banjir air mata. "Apakah benar, Vin? Gwen ...."
Vin hanya mengangguk dan makin kencang menangis. John mendekati menantunya, seketika ia kembali memeluk Vin erat. "Sudah, Vin. Ayah tidak akan menyalahkanmu. Ini sudah takdir. Bahkan saat Gwen meminta ijin pergi ke kota, ayah sudah merasakan firasat buruk ini. Tapi Gwen tetap bersikeras. Dan kau tau, kan, bagaimana watak istrimu."
John menepuk bahu Vin berkali-kali, setidaknya rasa bersalah yang terus ia rasakan, sedikit berkurang.
Mereka masuk ke dalam. Rumah ini sederhana, beberapa figura foto-foto keluarga tertempel di dinding kayu. Dua wanita yang ada di foto keluarga, sudah tiada. Ibu Gwen, dan Gwen sendiri.
Ada sofa dengan tv di depannya. Ruang tamu yang dijadikan ruang keluarga cukup nyaman untuk bersantai. Rumah ini ada 3 kamar, sebuah dapur, garasi yang letaknya dibawah, serta ruang bawah tanah, tempat menyimpan banyak perkakas milik John.